BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak dahulu hingga
sekarang, kajian atau tulisan-tulisan mengenai etnisitas selalu menjadi tulisan
yang menarik untuk dibaca. Ditengah kemajuan zaman dan pesatnya pembangunan
-yang berdampak pada berubahnya pola kehidupan masyarakat menjadi lebih maju-
kajian keetnisan seolah menjadi “oase” bagi masyarakat untuk menelusuri dan memahami jati dirinya sebagai
bagian dari sebuah etnis dari sekian ribu etnis yang berada di Kepulauan
Nusantara.
Seiring dengan pesatnya
pembangunan yang merubah pola kehidupan dari masyarakat desa menjadi masyarakat
kota, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, dari masyrakat
konservatif menjadi masyrarakat yang terbuka dan berbagai perubahan lainnya yang
bersifat progresif atau regresif, fenomena tersebut sangat berdampak pada pola
kehidupan sebuah etnis.
Sunda, sebagai etnis
terbesar kedua di Nusantara,dan sebagai bahasa yang dituturkan tidak kurang
dari 40 juta mayoritas penduduk Jawa Barat khususnya, juga berbagai wilayah
yang ditempati oleh masyarakat Sunda di luar Jawa Barat, menjadi etnis yang
menarik untuk dikaji dalam berbagai disiplin ilmu, tak terkecuali disiplin ilmu
Sosiologi Komunikasi.
Masyarakat Sunda dengan
nilai-nilai luhur tradisinya tentu memiliki budaya berkomunikasi yang baik
sebagaimana tercermin pada berbagai hal yang ditampilkan dalam kehidupan
sehari-harinya. Lalu seperti bagaimana budaya komunikasi masyarakat Sunda ? Berdasarkan latar belakang diatas,
maka kami menulis makalah ini dengan
judul Budaya Komunikasi Masyarakat
Sunda.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk
mengetahui mengenai hal tersebut, kami menyusun 3 rumusan masalah sebagai
berikut :
1) Seperti apakah komunikasi masyarakat Sunda secara verbal ?
2) Bagaimana komunikasi masyarakat Sunda secara nonverbal ?
3) Seperti apa komunikasi massa masyarakat Sunda ?
1.3 Tujuan Dan Manfaat Makalah
1.3.1
Tujuan Penulisan Makalah
1) Untuk mengetahui pola komunikasi masyarakat Sunda secara verbal
2) Untuk mengetahui pola komunikasi masyarakat Sunda secara nonverbal
3) Untuk mengetahui perihal komunikasi massa masyarakat Sunda.
1.3.2
Manfaat Penulisan Makalah
1.3.2.1
Manfaat Teoritis
Agar mahasiswa mampu mengembangkan kegiatan
akademis –sebagaimana yang dipelajari di kampus- melalui teori-teori para ahli
dan tulisan ilmiah lainnya terutama pada
kajian Sosiologi Komunikasi.
1.3.2.2
Manfaat Praktis
Agar mahasiswa mampu mempraktikan
pengetahuannya guna mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama pada kajian
Sosiologi Komunikasi dan dapat dijadikan referensi mengetahui Budaya Komunikasi
Masyarakat Sunda.
1.4 Sistematika Penulisan
Sebelum pada bab
berikutnya, untuk mengetahui gambaran lebih jelas mengenai hal yang diuraikan
pada makalah ini, kami sampaikan sistematika penulisan makalah ini yang dimulai
dari LEMBAR PERSEMBAHAN, KATA PENGANTAR, DAFTAR ISI, ABSTRAK dan dilanjutkan
dengan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Komunikasi Verbal
Simbol atau pesan verbal dalam perspektif ilmu komunikasi
adalah semua jenis simbol yang
disampaikan menggunakan kata-kata. Semua rangsangan bicara yang kita
sadari termasuk dalam kategori komunikasi verbal. Dan suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan
simbol-simbol tersebut untuk digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa
verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud dari
seseorang.
Maka bahasa Sunda, sebagai bahasa
verbal komunitas orang Sunda, adalah bahasa yang menjadi sarana orang Sunda
dalam berkomunikasi. Bahasa Sunda membentuk norma yang paling mencakup untuk
membedakan ciri dengan etnis lain. Jika ciri khas (baca: bahasa) suatu
komunitas hilang, maka unsur-unsur pembeda dengan etnis yang lain menjadi
kabur. Jika etnisitas tidak ada lagi, maka bahasa kelompok etnis tersebut akan
lenyap. Berikut kami uraikan secara singkat mengenai Bahasa Sunda.
2.1.2 Sejarah Bahasa Sunda
Bahasa Sunda –dan
beberapa bahasa lain di Pulau Jawa khususnya- merupakan turunan dari
bahasa-bahasa yang sebelumnya sempat eksis dituturkan oleh penduduk di
kepulauan Nusantara seperti Bahasa Sanskerta, Bahasa Kawi, Bahasa Melayu,
Sunda, dan Jawa Kuno. Dalam perkembangannya, Bahasa Sunda bertansformasi
menjadi sebuah bahasa yang lengkap dengan berbagai kata serapan dari
bahasa-bahasa lain sebagaimana Bahasa Sunda yang dituturkan sekarang.
Bahasa Sunda yang sekarang dituturkan
masyarakat Sunda pada umumnya, merupakan hasil pemekaran seiring dengan
berkembangnya suasana tempat dan waktu yang telah dilalui oleh sejarah etnis
Sunda. Abud Prawirasumantri dkk (1990) mengklasifikasikan sejarah perkembangan
bahasa Sunda kedalam lima periode :
1.
Periode pertama (sebelum tahun 1600 M)
2.
Periode kedua (tahun 1600-1800 M)
3.
Periode ketiga (tahun 1800-1900 M)
4.
Periode keempat (tahun
1900-1945 M)
5.
Periode kelima (tahun 1945 M - sekarang)
Dalam kurun waktu tersebut Sunda
mengalami berbagai peradaban sejarah yang berdampak pada kehidupan
masyarakatnya tak terkecuali pada bahasa.
Pada
periode pertama, pasca runtuhnya Kerajaan Pajajaran, Sunda sebagai
sebuah ideologi berangsur-angsur lenyap. Ideologi Sunda (yang terbentuk pada
awal abad ke-8 hingga menjelang akhir abad 19) yang berwujud aksara, bahasa,
etika, adat-istiadat, kepercayaan dan lembaga kemasyarakatan, lambat laun
tergerus dan terpinggirkan oleh ideologi baru yang datang dari luar. Hingga
puncaknya ketika Kerajaan Mataram Islam yang bercorak Jawa (1559 M) melakukan
invasi (penaklukan daerah-daerah luar untuk memperluas kekuasaan) ke wilayah
Priangan saat itu. Penaklukan ini berpengaruh besar terhadap pola kehidupan
masyarakat Sunda pada saat itu. Dari mulai kehidupan sosial, kesenian, sistem
pertanian, sistem pemerintahan, dan tak terkecuali bahasa Sunda, semuanya
mendapat corak dari kebudayaan Jawa.
Pengaruh yang paling signifikan
adalah bahasa, bahasa Sunda pada prinsipnya merupakan bahasa yang demokratis
(tidak mengenal stratifikasi/tingkatan bahasa) kemudian menjadi mengenal
tingakatan atau yang dikenal dengan istilah “undak-usuk basa” adalah pengaruh dari invasi Mataram yang bercorak
Jawa. Karena Bahasa Jawa lebih dahulu menerapkan stratifikasi Bahasa hingga
akhirnya sitem inipun masuk dalam tata bahasa Sunda.
Namun terlepas dari sejarahnya yang
panjang, Masyarakat sunda selalu menamampilkan gaya bahasa yang santun.
Lemah-lembutnya tutur bahasa yang muncul ketika satu sama lain berkomunikasi,
mencerminkan karakteristik kebudayaan yang dianutnya.
2.2 Komunikasi Nonverbal
Komunikasi
nonverbal merupakan
salah satu bentuk komunikasi,
yang pada umumnya digunakan untuk memperkuat atau memperjelas pesan-pesan verbal. Sederhananya, komunikasi nonverbal adalah semua isyarat
yang bukan kata-kata. Sebagai contoh : A meyampaikan informasi
kepada B,
sahabatnya, bahwa ia kehilangan dompet. Selama menyampaikan informasi tersebut air
mata A selalu teruari, sehingga B tahu bahwa A sangat sedih atas kondisinya saat ini.
Airmata yang dikeluarkan A
merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang
mengindikasikan bahwa dia sangat sedih.
Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi. Dan
kebanyakan isyarat nonverbal terikat oleh budaya yang dianut sebuah kelompok
masyarakat.
2.2.1 Simbol-Simbol Nonverbal
2.2.1.1 Ikat Kepala
Hampir semua etnis
di Indonesia pada umumnya memiliki ciri khas berupa ikat kepala. Dari mulai
Aceh hingga ke Papua, mayoritas etnis memiliki ikat kepala dengan bentuk yang
berbeda-beda sesuai dengan kebudayaanya.
Dalam masyarakat Sunda, ikat kepala
biasa disebut iket atau totopong. Ikat
kepala tersebut terbuat dari kain segitiga atau segiempat yang dilingkarkan di
kepala. Pada mulanya iket adalah
kelengkapan busana yang mencerminkan kelas dalam masyarakat disamping fungsinya
sebagai pelindung dari cuaca terik, angin atau lainnya. Dahulu iket merupakan
sebuah kehormatan bagi orang Sunda. Dalam beberapa literatur sejarah, dikatakan
bahwa orang Sunda pada zaman dahulu, jika bepergian atau menghadiri pertemuan
resmi/tidak resmi tanpa menggunakan iket, maka hal tersebut merupakan hal yang
janggal bahkan tercela. Seiring dengan perkembangan zaman, kini iket mengalami
perubahan fungsi menjadi mode dan pelangakap busana tradisional saja.
2.2.1.2 Kujang
Salah satu simbol
yang paling menojol dari Masyarakat
Sunda adalah kujang. Dari mulai logo Pemerintahan di lingkungan Provinsi
Jawa Barat, logo organisasi-organisasi yang bernuansa etnis, hingga aksesoris
sehari-hari semuanya menggunakan simbol kujang. Opini yang beredar di masyrakat
bahwa kujang adalah senjata kebanggaan masyarakat Sunda.
Ajip Rosidi mengemukakan, di awal
tahun 1950-an, muncul kecemburuan sosial orang Sunda terhadap orang Jawa yang
prestasinya secara nasional lebih dominan. Maka lahirlah gerakan-gerakan,
pemikiran-pemikiran dan gagasan untuk membangkitkan kembali semangat kesundaan bagi
orang Sunda itu sendiri. Maka kisah-kisah seperti Perang Bubat, Carita Dipati
Ukur dan lain sebagainya dihidupkan kembali melalui media-media saat itu.
Jika ditelusuri secara historis, Dalam cerita Dipati Ukur itulah
pertama kali ditulis bahwa orang Sunda
berperang dengan menggunakan senjata khusus yang disebut kujang. Sejak itu
dimitoskan bahwa kujanglah senjata orang Sunda, Sedangkan keris adalah senjata
orang Jawa. Pendeknya orang Sunda tidak kalah oleh orang Jawa. Kalau orang jawa
punya senjata keris, orang Sunda punya senjata kujang. Padahal keris juga
sebenarnya senjata orang Sunda, seperti juga senjata orang melayu, karena itu ada keris yang disebut
"keris Padjadjaran". Namun karena pada waktu itu ada semangat bahwa
orang Sunda itu lain dari orang Jawa, dan tidak kalah hebat, pemitosan kujang
sebagai senjata khas Sunda kian keras
Dalam naskah Sunda Kuno, diuraikan yang menjadi senjata orang
Sunda masa itu adalah
pedang, panusuk, golok, peso, dan keris. Kujang tidak terdaftar sebagai senjata. Namun Kujang disebut dalam alat bertani. Kemudian di
daearah Banten ada peribahasa yang berbunyi "bentang kidang, turun kujang"
(kalau bintang telah tampak, kujang pun diturunkan). Bintang turun menjadi tanda bahwa musim tanam/panen sudah tiba, waktunya turun ke ladang. Dari peribahasa itu jelas bahwa kujang itu
alat bertani. Setelah dimitoskan sebagai senjata
orang Sunda, wajar apabila di kemudian hari tumbuh kebanggaan terhadap kujang sebagai simbol
dari masyarakat Sunda.
2.2.2 Bahasa Tubuh Masyarakat Sunda
2.2.2.1 Budaya Rengkuh
Budaya rengkuh
adalah ungkapan menghormati orang lain terutama yang dianggap lebih tua dengan
cara membungkukan badan. Sebagai contoh ketika seseorang berjalan melintasi
kerumunan, maka orang tersebut akan membungkukkan badan seraya berkata punten dan lain sebagainya. Kemudian
ketika hendak bersalaman atau memulai percakapan dengan orang yang tidak
dikenal sebelumnya, maka kecenderungan yang terjadi adalah orang tersebut
membungkukkan badannya sebagai bentuk penghormatan bagi orang lain. Kemudian
contoh lain ketika berbicara terhadap orang yang lebih tua seperti dengan
orangtua, guru, atau kyai, maka tidak hanya membungkukkan badan, tetapi
intonasi suara pun ikut direndahkan. Dalam sebuah artikelnya Prof.Dr.Mikihiro
Moriyama (seorang berkebangsaan Jepang yang menulis Disertasi tentang Satra
Sunda) menuturkan, bahwa ia mendapatkan kesan pertama yang sangat baik terhadap
orang Sunda. Orang Sunda pada umumnya tak sungkan untuk mengajak bertamu bahkan
menyuguhkan makanan kepada orang yang
baru dikenal. Hal ini tentu tidak lazim atau bahkan dianggap berbahaya
oleh kebudayaan di negara-negara Asia atau Eropa. Hal ini terjadi semata-mata
karena perbedaan budaya.
2.2.2.2 Budaya Someah
Selain budaya
rengkuh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yang tergambar dalam sosok orang Sunda adalah
orang yang apabila berbicara, bergerak, dan bersikap menyiratkan kehangatan dan
rasa hormat. Kemudian citra lain yang melekat pada orang Sunda adalah ramah,
rendah hati, dan mudah menerima kehadiran orang lain. Konsep ini tercermin
dalam sebuah peribahasa “someah hade ka
semah” (ramah terhadap tamu/orang lain). Secara garis besar konsep tersebut
bersifat akomodatif dan apresiatif terhadap orang lain. Bagi masyarakat Sunda,
sikap tersebut merupakan kewajiban yang memiliki makna kesalehan sosial. Budaya
someah telah memberikan manfaat yang
luar biasa. Banyak orang-orang dari luar darah bahkan dari mancanegara yang
tertarik dan mengagumi keramahan orang sunda sehingga berbondong-bondong ingin
mengunjungi tatar Sunda.
2.3 Sunda dan Media Massa
Media massa dalam
perspektif Ilmu Jurnalistik adalah alat bantu utama dalam proses komunikasi
massa. Komunikasi massa, secara sederhana berarti kegiatan komunikasi yang
menggunakan media yang disampaikan pada sejumlah orang yang tersebar pada tempat yang tidak ditentukan.
Media massa selalu terkait dengan proses
komunikasi. Karena itu, untuk melihat potret Kebudayaan Sunda seperti tercermin
dalam media, salah satunya dapat dilakukan dengan menempatkan kebudayaanya
dalam perspektif hubungan antara komunikasi dengan kebudayaan. Hubungan antara
komunikasi dengan kebudayaan menjadi penting dipahami terutama untuk
menggambarkan perilaku komunikasi masyarakat Sunda.
2.3.1 Media Cetak Sunda
Sekurang-kurangnya
terdapat tiga jenis media cetak yang populer di masyarakat, antara lain surat
kabar, majalah, dan buku.
Pada wal abad ke 20, dapat dikatakan
sebagai titik awal kebangkitan budaya cetak masyarakat Sunda. Pada tahun 1914,
muncul novel berbahasa Sunda pertama terbitan Balai Pustaka Baruang ka nu ngarora karangan D.K
Ardiwinata yang kemudian disusul oleh novel-novel dan karya sastra Sunda
lainnya.
Sampai masa kependudukan Jepang,
media cetak Sunda masih semarak. Balai Pustaka, sebagai percetakan resmi
pemerintah kolonial saat itu, setiap tahunnya menerbitkan puluhan buku bahasa
Sunda. Selain buku bacaan, terbit pula surat kabar berbahasa Sunda yang terbit
harian, mingguan, dan bulanan seperti Sipatahoenan,
Mangle, Langensari, Kalawarta Kudjang, Wangsit, Sangkoeriang, Campaka,
Siliwangi, Warga. Bahkan terbit pula surat kabar dakwah sebagai media Islam
bahasa Sunda seperti Al-Imtisal,
Al-Moechtar, dan Mitra.
Namun dewasa ini, media cetak Sunda menurun
drastis. Dalam satu tahun, hanya 2-3 buku bacaan bahasa Sunda yang diterbitkan.
Begitupun dengan surat kabar dan majalah Hanya Mangle dan Cupumanik dan beberapa koran lokal seperti Galura, Sunda Midang dan Sarakani yang masih bertahan ditengah gempuran zaman. Penyebabnya
adalah apresiasi yang rendah terhadap sastra Sunda disamping bahasa Sunda itu
sendri yang sudah mulai ditinggalkan oleh penuturnya sehingga media cetak
bahasa Sunda enggan mencetak bacaan-bacaan berbahasa Sunda.
2.3.2 Media Elektronik Sunda
Pada periode 1960-1990an masih sangat ramai media
komunikasi berbahasa Sunda dalam bentuk siaran Radio seperti dakwah Bahasa
Sunda, pertunjukan wayang golek, dan dongeng-dongen Sunda yang disiarkan secara
berkesinambungan. Kini siaran berbahasa Sunda pada saluran-saluran radio
regional hanya menjadi bagian kecil dan bukan menjadi prioritas pada siaran
radio secara utuh.
Kecuali saluran televisi lokal,
saluran televisi regional dan nasional seperti TVRI acara-acara bermuatan
budaya dan bahasa daerah tak terkecuali Sunda, sudah semakin berkurang. Sampai
tahun 2004, dua saluran televisi nasional, TVRI dan TPI aktif menampilkan
tayangan Wayang Golek setiap akhir pekan.
Kini seiring tuntutan perkembangan
zaman, media elektronik berbahasa Sunda seolah tenggelam dimakan zaman. Hanya
masyrakat Sunda itu sendiri lah yang dapat menentukan nasib media Sunda di
kemudian hari.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Setelah membaca
pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Bahasa adalah unsur yang paling dominan dalam kebudayaan
suatu etnis/masyarakat. Dalam hal ini, Bahasa Sunda adalah bahasa verbal yang
digunakan masyarakat Sunda untuk berkomunikasi. Dalam sejarahnya bahasa Sunda
mengalami tranformasi melalui sejarah yang panjang hingga menjadi sebuah bahasa
yang lengkap sebagaimana yang dituturkan sekarang.
2.
Pesan-pesan
nonverbal sangat berpengaruh dalam sebuah komunikasi. Dan kebanyakan pesan nonverbal terikat oleh budaya yang dianut
sebuah kelompok masyarakat. Dalam hal ini, kami memfokuskan dua simbol
nonverbal yang menjadi ciri paling identik dengan masyarakat Sunda, yaitu ikat
kepala dan kujang. Ikat kepala pada mulanya adalah penanda kelas dalam kelompok
masyarakat dan sebuah kelengkapan yang “mutlak” dalam pakaian sehari-hari. Kini
ikat kepala khas Sunda hanya menjadi aksesoris/pelengkap busana tradisional
saja. Begitu pun dengan Kujang, banyak opini yang mengemukakan bahwa kujang
adalah senjata khas Masyarakat Sunda. Namun jika ditelaah secara historis,
kujang bukanlah perkakas perang, namun perkakas pertanian. Seiring dengan opini
yang kian berkembang, maka kujang menjadi simbol yang identik dengan masyarakat
Sunda. Selain dua simbol tersebut, adapula pesan nonverbal yang melekat pada
masyarakat Sunda, yaitu budaya rengkuh dan budaya someah. Budaya rengkuh adalah budaya menghormati orang lain/yang
lebih tua dengan cara membungkukkan badan atau merendahkan intonasi suara
ketika berkomunikasi. Dan budaya someah adalah
sebuah sikap yang akomodatif dan apresiatif terhadap orang-orang yang baru saja
dikenal atau terhadap tamu yang datang. Kesemua pesan/simbol nonverbal tersebut
membawa manfaat yang sangat penting terhadap kehidupan Masyarakat Sunda.
3.
Media massa sebagai salahsatu saluran komunikasi diantara
para pembacanya, tidak bisa lepas dari lingkungan budaya dimana media itu
berada. Karena itu, media massa baik itu cetak maupun elektronik, menjadi
bagian penting dari karakter dan perilaku masyarakatnya
3.2 Saran
Setelah memahami
bagaimana Budaya Komunikasi Masyarakat Sunda, kami menyarankan :
1.
Agar mahasiswa dan masyarakat Sunda pada umumnya mampu
memelihara, melestarikan, dan mengembangkan bahasa Sunda sebagai bahasa verbal
masyarakat Sunda dalam berkomunikasi, mengingat bahasa adalah unsur yang paling
dominan dari kebudayaan suatu masyarakat. Agar Masyrakat Sunda tidak kehilangan
identitas dan eksistensinya sebagai sebuah etnis di Indonesia.
2.
Agar mahasiswa dan masyarakat Sunda pada umumnya, mampu
mengembangkan pesan-pesan nonverbal yang melekat pada masyrakat Sunda.
Simbol-simbol nonverbal yang kini berada, patut kita kritisi secara ilmiah demi
memahami makna dibalik simbol tersebut. Simbol-simbol nonverbal yang berupa
gerak tubuh, perilaku, dan sikap positif masyrakat Sunda perlu kita terapkan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai luhur
sebuah kebudayaan.
3.
Agar mahasiswa dan masyarakat Sunda pada umumnya, mampu
beradaptasi dengan kemajuan teknologi
sebagai dasar untuk mengembangkan media massa masyarakat Sunda.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi
Komunikasi. Jakarta : Kencana
Djiwapradja, Dodong. 2007. Polemik
Undak-Usuk Basa Sunda. Bandung : Kiblat.
Ekadjati, Edi S. 2004. Kebangkitan Kembali
Orang Sunda. Bandung : Kiblat.
Komunitas Dangiang : Lonceng
Kematian Bahasa Sunda.2002. Bandung
Lubis, Nina H. 2000. Tradisi dan
Transforrmasi Sejarah Sunda. Bandung : Humaniora Utama
Moriyama, Mikihiro. 2013. Semangat Baru.
Jakarta : Komunitas Bambu.
Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi
: Suatu Pengantar. Bandung : Rosda.
Muhtadi, Asep Saeful. 2016. Pengantar Ilmu Jurnalistik. Bandung
: Simbiosa
Perhimpunan KB-PII Jawa Barat : Ngamumule
Budaya Sunda Nanjeurkeun Komara Agama. 2006. Bandung.
Prawirasumantri, Abud. 2007. Kamekaran, Adegan,
Jeung Kandaga Kecap Basa Sunda. Bandung :
Geger Sunten.
Rakhmat, Deddy Mulyana dan
Jalauddin. 2010. Komunikasi Antar Budaya. Bandung : Rosda.
Rosidi, Ajip. 2010. Mencari Sosok Manusia Sunda. Bandung
: Pustaka Jaya
Sambas, Syukriadi. 2015. Sosiologi
Komunikasi. Bandung : Pustaka Setia.
Setiawan, Otong. 2001. Panduan Membuat
Karya Tulis. Bandung : Yrama Widya.
Artikel dalam Surat Kabar dan Majalah :
-
Prof. Dr.Mikihiro Moriyama. “Kagembang ku Kasomeahan Urang Sunda”
Mangle tahun 2011
-
Prof. Ajip Rosidi “Kujang Bukan Senjata” Harian Pikiran Rakyat
|
No comments:
Post a Comment