Saturday, April 16, 2016

IDEOLOGI DI TENGAH GLOBALISASI



Wacana  tentang ideologi mencuat kembali seiring dengan arus globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di tanah air nasib ideologi pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat di sakral tapi kemudian dicampakkan. Karena itu pula, pancasila tidak membumi bagi kehidupan bangsa. Sakral sasi telah menyebabkan pancasila seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak bangsa. Akibat itu pula, pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tidak menarik untuk di aktualisasi. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi muda yang, paling tidak, tahu lima sila pancasila. Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi muda dari kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar dari mereka tidak bisa menyebutkan isi pancasila dengan lengkap. Ini menjadi indikator sederhana dari semakin terasing nya pancasila dari napas kehidupan anak bangsa.


Pada peringatan hari lahirnya Pancasila semua orang tersentak untuk kembali pada Pancasila. Semua, terutama elite politik, merasa paling prihatin terhadap nasib Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah menjadi bagian dari penyebab “matinya” Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila hanya dijadikan payung penyelamat untuk kepentingan politik kaum elite. Pancasila seperti agama, ia di khotbah kan di mimbar-mimbar politik citra sebagai benteng atas ancaman terhadap diri dan kelompoknya untuk kemudian mencari simpati agar di klaim sebagai sosok pancasilais.


Kenyataan ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah globalisasi yang tak henti-hentinya menghampiri. Dan tidak berlebihan apabila seorang intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar “the end of ideology”

“Memasarkan” Pancasila


Untuk menjadikan Pancasila sebagai “living ideology” merupakan fenomena yang cukup unik di tengah hampir seluruh anak bangsa teralienasi dari Pancasila dan sebagian elite merasa sungkan untuk “memasarkan” Pancasila. Jika dilihat dari perspektif sempit sejak presiden BJ Habibie membuka kran ideologi selain Pancasila sebagai asas organisasi, eksistensi Pancasila semakin terperosok. Bahkan di tengah hujatan terhadap segala atribut orde baru, Pancasila betul-betul berada di titik nadir. Hal ini terlihat dari TAP MPR RI nomor 18/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Setelah itu, Pancasila ramai-ramai dikubur dan para penggagas reformasi merasa berdosa untuk menyebutkannya. Pancasila ditahbiskan sebagai monumen anti reformasi. Ini pula yang memperpanjang daftar kegagalan para pemimpin di negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan kebangsaan yang marketable bagi rakyatnya.



Kenyataan ini secara tidak langsung menjadi ancaman bagi upaya revitalisasi dan rejuvinasi Pancasila sebagai the way of live. Di samping itu, tantangan lain dari revitalisasi dan rejuvinasi ideologi adalah terbentuknya tawaran ideologi luar yang menyatu dalam arus globalisasi. Di tengah open market democracy tawaran ideologi semakin terbuka dan semuanya menjanjikan kesejahteraan. Di sinilah Pancasila dipertaruhkan. Kalau secara historis bangsa indonesia tidak pernah merasakan kesejahteraan dan kedamaian di bawah naungan ideologi Pancasila. Maka secara logika, ia tidak akan menarik bagi kalangan generasi bangsa. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem bisa muncul kesadaran bahwa negara tanpa ideologi pun tetap ada.


Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan bukan proses doktrin apalagi ideologi sasi Pancasila. Pancasila harus dijadikan medium paling mudah untuk merekat kebersamaan yang akhir-akhir ini mulai retak. Layaknya makanan cepat saji, Pancasila harus diturunkan menjadi tata cara hidup yang mudah (cepat) dipahami dan enak (comfortable) dilaksanakan. Dan hal ini bisa dilakukan melalui keteladanan para pemimpin dalam mengelola negeri ini secara bermartabat. Langkah ini memang tidak mudah, karena para pemimpin negeri ini belum mampu mewariskan Pancasila sebagai way of live. Mereka berhenti pada proses ideologi sasi, sakral sasi, dan berakhir dengan politisasi.

Globalisasi dan Politik Endism


Arus globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan proses ideologi sasi baru. hal ini biasanya diiringi dengan politik endism. Yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi-ideologi besar dunia akibat gerusan kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalisme nya menyusup melalui stigma endism. Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh para pemikir endist yang tertuang dalam berbagai karyanya, the end of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama) dan lainnya.


Dengan kata lain, ideologi sasi globalisasi merupakan bentuk paling nyata dari upaya pengakhiran ideologi-ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara maju. Dan tidak menutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah globalisasi akibat ketidak perdayaan anak bangsa merespons berbagai godaan global.


Di tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi Pancasila sangat rentan terjangkit penyakit endism. Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan memanfaatkan seluruh potensi dan peluang (opportunity) yang ada dalam masyarakat. Salah satu peluang tersebut adalah adanya potensi-potensi “perlawanan” terhadap arus globalisasi yang belakangan marak terjadi khususnya di negara-negara berkembang, termasuk indonesia. Fenomena ini biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali budaya lokal (local wisdom) khas indonesia yang plural dan toleran. Inilah modal penting dan cukup strategis bagi membumi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan warga negara tanpa doktrin  yang sering berbuah alienasi.


Peluang tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara mengembalikan Pancasila sebagai wacana publik yang toleran dan aktual, diiringi kebijakan dan perilaku politik yang inklusif dan artikulasi. Semoga.

Popular Posts