BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Media
massa adalah istilah untuk menggambarkan bentuk komunikasi yang dilakukan lewat
media massa untuk umum. Media massa yang dikategorikan sebagai alat, instrument
komunikasi yang memungkinkan kita untuk merekam serta mengirim informasi dan
pengalaman – pengalaman dengan cepat kepada khalayak luas.
Semakin
canggihnya teknologi, hal ini bukan hanya memberikan dampak positif, tapi juga
dampak negative yang sangat vatal, yaitu tergesernya budaya dan etika
masyarakat pengguna sosial media, dalam hal ini internet dan yang lainnya
berperan penting dalam mengugurkan budaya dan mengikis berbagai kebudayaan yang
positif. Manusia banyak yang mempunyai sikap individualism karena keanggihan
teknologi dengan membentuk masyarakat maya.
Makadari
itu, penyusun menyusun makalah ini semoga dapat di baca dengan seksama dan
pastinya dapat bermanfaat.
1.2.
TUJUAN
§ Untuk
memaparkan permasalahan media sebagai penggeser budaya.
§ Pengaruh
besar media terhadap budaya.
§ Mengetahui
inilah masyarakat berbudaya yang sudah terpengaruh oleh media.
1.3.
BATASAN MASLAH
Makalah
ini terbatas pada permasalahan yaitu kasus perubahan budaya dalam masyarakat
yang di sebabkan oleh media massa sebagai pelaku terbesar terhadap perubahan
budaya dalam masyarakat.
1.4.
RUMUSAN MASALAH
§ Apa
itu media yang di sebut sebut sebagai penyebab perubahan budaya.?
§ Bagaimana
cara media mempengaruhi masyarakat berbudaya.
§ Apa
itu budaya.?
§ Kenapa
budaya begitu mudah untuk di pengaruhi.?
BAB 2 PEMBAHASAN
MEDIA MASSA DAN PERUBAHAN BUDAYA
Media massa adalah istilah untuk menggambarkan
bentuk komunikasi yang dilakukan lewat media massa untuk umum. Media massa yang
dikategorikan sebagai alat, instrument komunikasi yang memungkinkan kita untuk
merekam serta mengirim intormasi dan pengalaman-pengalaman dengan cepat kepada
khalayak luas, terpencar-pencar dan heterpgen.
Media
massa dengan dukungan teknologi telah membantu mematahkan jarak antara
makrososial dan mikrososial. Media massa membawa tema-tema publik ke dalam
lingkungan privat tempat ia memasuki dan dipengaruhi oleh kondisi, orientasi
dan kebiasaan lokal. Olehnya itu tidak salah jika Thomson mengatakan: Dunia
publik telah dibangun kembali dalam zaman elektronika, baik secara teknologi,
maupun secara sosial (dalam Lull, 1998: 71).
Media
massa dengan perpaduan komputer dan telekomunikasi (ITC: Information Tecnonogy
Communication) menghasilkan gerakan informasi dengan kecepatan cahaya kepada
khalayak yang jumlahnya luar biasa, menyalurkan berita dan kata, yang baik dan
yang buruk, yang benar dan yang salah, ke seluruh tempat di dunia ini. Teknologi
komunikasi yang telah menciptakan “Jalan bebas hambatan” (Writson, 1996: 3)
tidak hanya menciptakan ekonomi global, tetapi juga mengaburkan batas-batas
sosial budaya, karena dunia yang kita bangun sekarang ini, tidak mungkin
dipertahankan kedaulatan atas informasi, sebab “informasi dan alurnya juga
meliputi lanngit bebas, dipergunakan secara bersama-sama. Budaya, sebagai
identitas sebuah masyarakat, tidak luput dari pengaruh media massa.
2.2. PERTUMBUHAN MEDIA MASSA
2.2.1.
Pengertian Media Massa
Media massa diartikan sebagai alat, instrumen
komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk merekam serta mengirim informasi
dan pengalaman-pengalaman dengan cepat kepada khalayak yang luas,
terpencar-pencar dan heterogen (Achmad, 1992: 10). Rowland Lorimer dan Paddi
Scannel (1994: 22) mendefinisikan media massa secara lebih luas dengan
mengaitkan dengan fungsi dan peran media. Media massa sebagai alat komunikasi
massa, digambarkan oleh Loriel dan Paddy Scannel dengan elemen-elemen seperti
dikemukakan oleh McQuail (1993) sebagai berikut: (1) Media massa merupakan
aktifitas komunikasi massa yang berorientasi berdasarkan isi media; (2) Media
massa menggunakan konfigurasi teknologi (televisi, radio, videoteks, majalah dan
buku); (3) Sistem media massa, apakah formal atau non-formal (menyangkut sistem
media, kantor pusat, sistem publikasi dan sebagainya); (4) Dioperasikan
berdasarkan ketentuan hukum dan kesepakatan antara para professional dan
praktisi, khalayak dan kecenderungan sosial masyarakat; (5) Diterbitkan oleh
kelompok yang terdiri atas: Pemilik modal, redaktur, distributor, periklanan
dan pelanggan; (6) Menyampaikan informasi, hiburan, pikiran-pikiran dan
simbol-simbol; (7) Ditujukan kepada audience yang banyak (Rowland, 1994: 25).
Media massa yang ada saat ini berusaha
mengkonstruksi realitas baru kepada khalayak, walau khalayak dapat saja
memberikan interpretasi dan sikap yang mendukung atau bersikap sebaliknya
terhadap isi media. Dalam upaya konfigurasi media massa membantu membangun
media itu sendiri. Misalnya perusahaan “Sony” yang tidak hanya memproduksi
televisi tetapi juga walkman dan compact disc (CD), yang kemudian diikuti oleh
banyak perusahaan lainnya.
Pengelolaan media menentukan orientasi media. Kepemilikan
sektor privat, berorientasi provit, sedang kepemilikan sektor publik disubsidi
oleh Negara atau penggabungan antara privat dan publik. Sementara,
operasionalisasi media massa berdasarkan ketentuan hukum, peraturan dan
kesepakatan. Hal ini menjaga agar tidak terjadi bias negatif, seperti
pelanggaran hak cipta dan intelektual. Ketentuan hukum juga berguna untuk
mengatur pajak, distribusi dan subsidi.
Media massa dipengaruhi oleh berbagai segmen, di
antaranya adalah pertimbangan bisnis, pengaruh pemerintah dengan orientasi
masalah politik, pengaruh undang-undang yang berlaku, pengaruh kecenderungan
khalayak dan pengaruh pemilik serta professional media. Media massa, selain
menyampaikan informasi, hiburan, kesan-kesandan juga simbol berdasarkan
orientasi media. Namun, pada prinsipnya, media massa diperuntukkan bagi
khalayak massa yang tersebar, besar dan luas (Rowland Lorimer dan Paddy
Scannel, 1994: 25-37).
2.2.2. Pertumbuhan Media Massa
Everett M. Rogers (1978) membagi perkembangan
komunikasi manusia dalam empat era, dimulai dari tahun 34000 SM, periode
CroMagnon, hingga memasuki era komunikasi interaktif. Tabel berikut menjelaskan
tahaptahap perkembamgam komunikasi manusia:
1: Pertumbuhan Media Massa
Era
Komunikasi Tulisan/4000 SM ke depan
- Tulisan Bangsa Sumeria di Clay Tablets
- Pi Seng (China) menemukan jenis cetakan buku yang digerakka
- Lempengan logam pengganti clay digunakan di Kore
Era Komunikasi
Tulisan/1456 M ke depan
- ·Bible Guttenberg dicetak
- · Sirkuliasi mass media dimulai dengan Surat Kabar Penny Pers oleh New York Sun
- ·Metode fotografi ditemukan oleh Daguere yang digunakan oleh surat-surat kabar
Era Telekomunikasi/
1844 ke depan
- ·Samuel Morse mengirimkan telegrap pertama
- ·Gambar bergerak ditemukan dan film pertama dipertontonkan kepada public
- ·Guglielmo Marconi menyiarkan pesan-pesan radio
- ·Lee De Forest menemukan pengerasan dari vacuum tube
- ·Jadwal resmi penyiaran radio pertama oleh KDKA di Pittshburg
- ·Televisi didemonstrasikan oleh RCA
- · Penyiaran pertama televisi komersial
Era Komunikasi
Interaktif
- ·Komputer mainframe pertama, ENIAC dengan 18.000 vacuumtube ditemukan di Universitas Pennysilvia
- ·Transistor ditemukan oleh William Shockley, Jhon Berden, dan Wolter Brattain di Laboratorium Bell
- ·Video Tape ditemukan oleh Ampax Company, di Kedwood City, California
- ·Rusia meluncurkan satelit pertama, Sputnik
- ·NASA untuk pertama kalinya melakukan penerbangan setelah ditemukan mini komputer yang ukurannya 3000 kali lebih kecil dari ENIAC
- ·Penemuan mocroprocesor unit control komputer (the Central Procesor Unit atau CPU) pada chip semi konduktor, oleh Ted Hoff di Intel Corporation, perusahaan mikro elektronik Silicon Valley)
- ·Mikro komputer pertama Altair 8800 dipasarkan
- ·HBO (Home Box Office) memulai penyiaran program sistem TV kabel menandai TV kabel di Amerika Serikat
- ·Sistem teletex untuk pertama kalinya disediakan oleh dua jaringan televisi Inggeris (BC dan ITU)
- ·Qube,sistem televisi kabel interaktif pertama, mulai dioperasikan di Columbus, Ohio
- ·Site videotext untuk pertama kalinya disiapkan oleh Kantor Pos Inggeris
Sumber: Everett M
Rogers, 1978: 22
Seperti
tertera di atas, Rogers membagi perkembangan komunikasi manusia dalam empat
era, yakni: (1) Era Komunikasi Tul.isan; (2) Era Komunikasi Cetak; (3) Era
Telekomunikasi dan (4) Era Komunikasi Interaktif. Riwayat perkembangan
komunikasi di atas menunjukkan, bahwa ternyata semakin belakangan, ternyata
semakin cepat jarak dari inovasi teknologi komunikasi. Kemajuan yang dianggap
penting adalah era komunikasi cetak yang ditandai dengan penemuan huruf cetak
yang dapat dipindah-pindahkan oleh Johanes Guttenberg (1450), memulai era
industri media, khususnya media cetak. Selain itu, kemajuan selanjutnya yang
dianggap penting adalah pengoperasian telegrap, yang difungsikan pertama kali
pada tahun 1836. Sejarawan Daniel Czitrom (1982) menyebut telegrap sebagai
lighting lines untuk kecepatan, untuk gerakan, dan pengaruh transformasi
seperti lampu yang menyolok (Joseph Staubhaar, 1996: 57).
Peluncuran satelit komunikasi pertama dalam tahun
1962, menandai kelahiran teknologi satelit. Sinyal-sinyal satelit ditangkap
oleh antenna berbentuk piring yang disebut stasiun bumi. Stasiun ini pada
mulanya hanya mampu dimiliki oleh perusahaan komunikasi kabel. Kini, makin
banyak jumlah pemilik stasiun-stasiun bumi secara individual sejalan dengan
harganya yang semakin turun dan wujudnya yang makin praktis. Piring-piring
penerima ini juga memungkinkan pemirsa untuk menonton televisi langsung dari
stasiun itu (A.S. Achmad, 2002: 52). Pada awal perkembangan teknologi komunikasi
ini, satelit yang ada diintegrasikan ke dalam infrastruktur telekomunikasi
seperti PPT, perusahaan telepon dan lain-lain. Perkembangan ini menandai
Revolusi Satelit I. Saat ini, kita telah memasuki Revolusi Satelit II ditandai
dengan komunikasi satelit dapat memotong jalur infrastruktur yang ada, seperti
Direct Broadcast Satelit (DBS), Mobile Communication dan Private Network.
Selain meningkatkan pilihan pemirsa, satelit juga
membuat mungkin terciptanya jaringan-jaringan pribadi yang sangat banyak dan
masing-masing dapat disesuaikan menurut kebutuhan pemakai. Dengan menggunakan
teknologi satelit, orang dapat melakukan komunikasi melalui hubungan telepon
atau faksimili sementara dalam perjalanan di mana saja berada, dapat berbelanja
jarak jauh (teleshopping), dapat melakukan konferensi pers (teleconference)
yang meliputi seluruh Negara (nation- wide)atau seluruh dunia, tanpa harus
meninggalkan rumah atau kantor, sehigga videoconference atau sistem networking
telah menjadi bagian dari kehidupan manusia saat ini.
2.3 BUDAYA DAN PERUBAHAN BUDAYA
2.3.1. Mengenal Budaya
Budaya, berasal dari kata Sanskerta buddhaya, yaitu
bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal (Koetjaraningrat, 1990:
181). Ada pendapat yang membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah
“daya dari budi” yang berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan adalah
hasil dari cipta, rasa dan karsa itu (Koentjaraningrat, 1990: 181). Dalam
tulisan ini, budaya dan kebudayaan digunakan dalam arti yang sama.
Kebudayaan didefinisikan oleh Edward Tylor (1871)
sebagai: that complex wich includes knowledge, belief, art, moral, costum, and
any other capabilities acquired by man as a member society (dalam Randall
Stokes, t,th.: 68). (Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang meliputi
kepercayaan, seni, moral, hukum, dan kemampuan lainnya, dan kebiasaan yang
didapatkan seseorang dari masyarakat).
The American Heritage Dictionary memberi definisi
budaya dan cuture sebagai “the totality of sosial transmitted behavior pattern,
art, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought
characteristics of a community or population. (Totalitas perilaku, seni,
keyakinan, lembaga dan semua hasil karya manusian serta ciri-ciri pikiran suatu
masyarakat atau populasi yang ditransmisikan secara sosial).
Kilman, Saxton dan Serpa (1986) mendefenisikan
kebudayaan sebagai “culture can be definet as the philosophies, ideologis,
values, assumptions, expectations, attitudes and norms that knit acommunity
together. (Budaya dapat dirumuskan sebagai serangkaian falsafah, ideologi,
nilai, asumsi, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama yang mengikat
suatu masyarakat). Menurut Ilmu Antropologi, budaya adalah: keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik dari manusia untuk belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180).
Sementara, Haviland menjelaskan bahwa kebudayaan terdiri dari niali-nilai,
kepercayaan, dan persepsi yang abstrak tentang jagad daya yang berada di balik
perilaku manusia, dan yang tercermin di dalam perilaku. Semuanya adalah milik
bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu,
maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat. Kebudayaan
dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan
unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan yang terpadu (William
A. Haviland, 1995: 331).
Beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas,
dapat dipahami bahwa kebudayaan menyangkut sebuah kesepakatan kelompok, baik
eksplisit maupun implisit, tentang bagaimana seseorang mengambil keputusan dan
menyelesaikan masalah secara bersama dalam kelompoknya.
Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat, mengacu
pada J.J.Hongmann (1959: 11), terdiri atas tiga, yakni: (1) wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebaagai suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari masyarakat; (3) wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia (Koentjarangrat, 1990: 186-187).
Wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak
dapat diraba, dan lokasinya berada dalam alam pikiran warga masyarakat, tempat
kebudayaan itu hidup. Wujud ideal kebudayaan, disebut juga adat atau adat
istiadat. Wujud kedua dari kebudayaan, disebut dengan sistem sosial, mengenai
tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan serta
bergaul satu dengan lainnya dari hari ke hari menurut pola-pola tertentu
berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu
masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita
sehari-hari, dapat diobservasi, difoto dan didokumentasi. Wujud ketiga dari
kebudayaan disebut dengan kebudayan fisik berupa benda-benda yang dapat diraba,
dilihat dan difoto (Koentjaraningrat, 1990: 187-188).
Unsur-unsur kebudayaan universal, disebut juga
sebagai isu pokok dari tiap kebudayaan di dunia, adalah: (1) Bahasa; (2) Sistem
pengetahuan; (3) Organisasi sosial; (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi;
(5) Sistem mata pencaharian hidup; (6) Sistem religi; (7) Kesenian. Tiap-tiap
unsur kebudayaan universal menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan, misalnya
unsur universal kesenian, wujud idealnya adalah gagasan-gagasan,
ciptaan-ciptaan dan syair-syair indah. Wujud berpola dapat berupa interaksi
antar seniman-pencipta, seniman-penyelenggara, sponsor, pendengar dan penonton.
Dan, wujud kesenian sebagai benda seni dapat berupa benda-benda indah, candi,
kain tenun, dan lain sebagainya.
Hal penting lainnya dari kebudayaan adalah
karakteristik kebudayaan. George P. Mudrock dalam The Cross-Culture Survey
(American Review 5, 1940: 361-370), membagi tujuh karakteristik budaya: (1)
Kualitas Mempelajari Budaya; budaya diperoleh dari proses sosial pada kelompok,
tempat individu-individu belajar sesudah ia lahir dan berlangsung dalam proses
sosial; (2) Kualitas Transmisi Budaya; budaya tidak hanya cukup untuk
dipelajari tetapi dibutuhkan kemampuan untuk mentransmisikan dari satu orang ke
orang lain dari satu generasi ke generasi berikutnya; (3) Kualitas Sosial
Budaya; individu-individu mempelajari format kebiasaan-kebiasaan pada sikap-sikap
personal, ia juga belajar bentuk-bentuk kebiasaan dan sikap-sikap kelompok yang
tumbuh dari hubungan sosial; (4) Kualitas Ide Budaya; budaya terdiri atas
konsep norma-norma ideal dan pola sikap. Ini artinya, budaya berkenan dengan
pola ide anggota kelompok dalam bersikap dan menjadikan sandaran untuk
menyesuaikan diri; (5) Kualitas Kepuasan Budaya; budaya juga dapat memuaskan
keinginan manusia, secara biologi dan sosial. Kebiasaan individu yang
berlangsung lama hanya dilakukan bila mereka puas dan memuaskan keinginannya;
(6) Kualitas Adaptasi Budaya; dua elemen yang termasuk dalam karakter budaya
ini, yakni: pertama, perubahan budaya; kedua, perubahan ini membawa kekuatan
adaptasi di luar budaya; (7) Kualitas Integrasi Budaya; kualitas integrasi
terlihat dengan mudah pada budaya terisolasi, ketika elemen-elemen pokoknya
tidak dapat beruab dengan cepat. Integrasi tidak nampak dalam budaya heterogen
dan budaya yang saling bergantung, ketika elemen-elemen berada secara
terus-menerus masuk pada budaya dan unsur pokoknya secara terus-menerus dan
berubah dalam proses dinamis.
2.3.1.
Perubahan Budaya
Haviland berpendapat, bahwa dalam jangka waktu
tertentu, semua kebudayaan berubah sebagai tanggapan atas hal-hal seperti
masuknya orang luar, atau terjadinya modivikasi perilaku dan nilai-nilai di
dalam kebudayaan (Haviland, 1995: 351). Proses perubahan dan pergeseran budaya,
dibedakan Koentjaraningrat dalam: (1) Proses belajar kebudayaan sendiri, yang
terdiri dari: Internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi; (2) Proses
perkembangan kebudayaan atau evolusi kebudayaan (cultural evolution); (3)
Proses penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan
bangsa-bangsa di bumi, yakni proses difusi (diffusion); (4) Proses belajar
unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga masyarakat, yakni proses akulturasi
(acculturation), dan proses asimilasi (assimilation); dan (5) Proses inivasi
(innovation) dan penemuan baru (discoveri dan invention) (Kontjaraningrat,
1990: 227-228).
Proses internalisasi, adalah proses belajar
kebudayaan yang panjang, sejak individu dilahirkan sampai ia meninggal. Ia
belajar menanamkan dalam kepribadiaanya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta
emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Proses sosialisasi, adalah proses
ketika seorang individu sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya belajar
pola-pola tindakan dalam interaksi dengan berbagai macam individu di
sekelilingnya yang menduduki berbagai peran sosial yang mungkin ada dalam
kehidupan sehari-hari. Proses enkulturasi atau proses pembudayaan, adalah
proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup
dalam kebudayaannya.
Proses evolusi kebudayaan, adalah proses perubahan
kebudayaan bila dilihat dari interval waktu yang panjang, akan terlihat
perubahan-perubahan besar dalam kebudayaan. Sementara, proses difusi
kebudayaan, disebabkan oleh proses migrasi kelompok manusia di bumi. Dengan
migrasi tersebut, tersebar pula unsur-unsur kebudayaan di penjuru dunia.
Akulturasi atau acculturation atau culture contac, adalah proses sosial yang
timbul bila suatu kelompok manusia dalam suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur-unsur kebuudayaan asing. Lambat laun, unsur-unsur kebudayaan asing
itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Asimilasi atau assimilation, adalah proses sosial
yang timbul bila: (a) golongan-golongan manusia dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda-beda; (b) saling bergaul langsung secara intensif untuk
waktu yang lama; sehingga (c) kebudayaan-kebudayaan golongan tadi masing-masing
berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah
wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran (Kontjaraningrat, 1990:
221-260).
Teori lain tentang perubahan budaya dikemukakan
James Lull adalah teori meme (baca: mem). Jika gerak dalam fisika sementara ini
dapat dijelaskan dengan atom atau partikel, evolusi (biologi) dengan gene
(baca: gen), maka perubahan budaya dengan meme (James Lull, 1998: xv). Istilah
meme pertama kali diperkenalkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish
Gene (1976). Menurut pengakuannya, istilah ini muncul karena Dawkins menganggap
bahwa Teori Darwin terlalu luas untuk hanya dibatasi pada peranan gene. Teori
Evolusi Darwin dapat juga mencakup evolusi di luar biologi, seperti bahasa dan
sosial budaya. Dua-duanya berfungsi sebagai pengganda diri sendiri
(replicator). Jika gene diketahui bersifat mementingkan diri sendiri (selfish),
maka hampir pasti demikian juga dengan meme. Meme sebagai unit perubahan sosial
budaya, bergerak mengejar suksesnya sendiri. Sukses meme terdiri dari tiga hal:
yaitu: (1) usia sepanjang-pangjangnya (longevity); (2) tersebar seluas-luasnya
(fecundity); dan (3) berketurunan seasli-aslinya (copying fidelity). Dawkins,
mendefinisikan meme sebagai: “segala hal yang dapat berpindah dari satu benak
ke benak lain (Dawkins, dalam James Lull, 1998: xvii).
Pengembangan teori ini juga dilakukan oleh Richard
Bordie, dalam Virus of The Mind: The New Science of The Meme (1996). Menurut
Bordie, meme adalah suatu unit informasi yang tersimpan dalam benak seseorang,
yang mempengaruhi kejadian di lingkungannya, sedemikian rupa, sehingga makin
tersebar luas di benak orang lain. Bordie membagi semua meme kepada tiga jenis:
distinction nene; strategy meme dan association meme. Pada hakikatnya, peran
meme adalah: Meme dapat berkembang untuk mewujudkan tiga suksesnya sendiri,
tanpa menghiraukan kepentingan manusia yang benaknya dimanfaatkan. Inilah yang
dapat menjelaskan, mengapa siaran kekerasan misalnya, terus saja diproduksi dan
dinikmati, kendati setiap orang mengetahui bahayanya.
Terdapat tiga jalur utama yang digunakan oleh meme
untuk menulari benak manusia: (1) Pengulangan (repetition); (2) Ketegangan
(cognitive dissonance) dan (3) Menunggangi (free riding) (Lull, 1998: xviii).
Iklan, dikategorikan sebagai repetition, beberapa pengertian yang mengganggu
ketenangan hati termasuk cognitive dissonance dan segala gagasan yang
menanggulangi naluri manusia, seperti: lapar, seks, dan mempertahankan diri
termasuk free riding.
2.4. IMPLIKASI PERTUMBUHAN MEDIA
TERHADAP PERUBAHAN BUDAYA
2.4.1. Pengaruh Media
Massa terhadap Perubahan Budaya
Harrold Innis dan Marshal McLuhan adalah sarjana
modern yanbg mengkaji hubungan antara alat komunikasi yang terdapat di
masyarakat dan bagaimana alat komunikasi itu berperan membentuk kararkter serta
bidang sosial mereka, seperti bidang politik dan social budaya. McLuhan yang
banyak belajar dari Innis, mengembangkan ide pada periode modern. Ia mulai
melihat, bahwa pengaruh sistem percetakan dapat menyebarkan ide-ide serta
pengetahuan (Rowland, 1994: 2). Ini terlihat, saat Guttenberg (1450) menemukan
huruf cetak yang dapat dipindah-pindahkan, secara langsung memacu percetakan
buku di Eropa. Pada tahun 1500, jutaan buku dicetak atas permintaan (Staubhaar
dan LaRose, 1996: 49). Dari kenyataan ini, McLuhan menyatakan bahwa media
elektronik modern, khususnya radio, televisi, fotografi dan film dapat
membentuk pola pikir masyarakat modern. Ide itu berpengaruh di Amerika Utara
dan Eropa. Apa yang dilakukan media dan implikasinya dalam konteks global,
media telah membuat--sesuatu yang pertama dalam sejarah--mungkinya sistem
komunikasi yang cepat (instant) antara sejumlah titik di dunia yang disebut
McLuhan sebagai the global village (desa global) (McLuhan dalam Rowlan Lorrimer
dan Paddi Scannel, 1994: 2).
Fenomena percepatan transformasi ide disebut
Konetjaraningrat sebagai difusi, ketika unsur-unsur kebudayaan yang timbul di
salah satu tempat di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali, bahkan
seringkali tanpa kontak antar individu-individu. Ini disebabkan karena adanya
alat-alat penyiaran yang bekerja efektif, seperti surat kabar, majalah, radio,
buku, film dan televisi (Koentjaraningrat, 1990: 246-247).
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan, juga ditimbulkan
oleh peralihan pekerjaan yang diakibatkan oleh Revolusi Industri. Di akhir
tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an, orang-orang dalam kelompok besar
bermigrasi dari pekerjaan sektor pertanian pertanian di desa-desa ke pekerja
industri di sejumlah kota. Urbanisasi ini ditumbulkan oleh media massa, karena
secara serempak mereka mendapatkan informasi tentang apa yang akan mereka
lakukan pada masa akan datang bagi kehidupan mereka melalui media massa
(Staubhaar dan LaRose, 1996: 50). Migrasi ini menyebabkan pertemuan antara
kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya,
individu-individu dalam kelompok-kelompok itu dihadapkan dengan unsur-unsur
kebudayaan asing. Proses yang dapat terjadi dari pertemuan budaya ini adalah
akulturasi budaya, dan sekaligus proses asimilasi (Kontjaraningrat, 1990:
247-255)
Saat ini, pertemuan budaya tidak lagi terbatas pada
integrasi kelompok masyarakat yang berbeda, tetapi lebih banyak diakibatkan
oleh media massa. Membanjirnya citra-citra simbolis pada dekade ini, telah
menimbulkan perubahan-perubahan radikal pada sintetis-sintetis budaya di
seluruh dunia (Lull, 1998: 78). Pertemuan budaya dan proses mempelajari budaya
disebabkan juga oleh banyaknya waktu digunakan manusia untuk berinteraksi
dengan media massa. Media komunikasi dan teknologi dalam tulisan Staubhaar
(1996: 4) adalah komponen yang amat penting dalam kehidupan manusia. Hasil
penelitian menunjukkan, orang dewasa Amerika menghabiskan empat jam sehari
untuk menonton televisi, tiga jam untuk mendengarkan radio, setengah jam untuk
membaca surat kabar. Orang-orang Amerika juga menghabiskan waktu setengah jam
setiap hari untuk berbicara lewat telepon, dan dua jam sehari untuk komputer
pribadinya. Belum terhitung waktu yang dihabiskan untuk menonton film, menonton
video di rumah, mendengarkan musik, membaca buku-buku dan majalah, dan
komunikasi tertulis. Dari sini dapat dilihat, bahwa lebih dari separuh waktu
seseorang dalam sehari, dihabiskan untuk pertukaran informasi. McLuhan, dengan
mengembangkan ide Innis menghasilkan kesimpulan, bahwa media massa adalah
perpanjangan alat indra manusia. Dengan media massa, orang dapat memperoleh
informasi tentang benda, orang atau tempat, dengan tidak perlu mengalaminya
secara langsung. Dengan media itu pula, manusia dapat mengembangkan pola pikir
dan perilaku mereka (McLuhan dalam Rowland Lorrimer dan Paddy Scannel, 1994:
12).
2.4.2.
Bentuk-bentuk Perubahan Budaya
Budaya dalam pandangan antropolog, adalah seluruh
yang disetujui oleh masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Kontribusi pewarisan tingkah laku dalam masyarakat biasanya
dilakukan oleh institusi formal, seperti gereja dan Negara, dan saat ini
dilakukan oleh media (Wilson, 2002: 4). Dikaitkan dengan perkembangan media
massa, Wilson (2002), membagi tahapan-tahapan perkembangan budaya pada:
§ Tahap
Elitis.
Beberapa kurun waktu yang lampau, budaya masih
dibedakan dalam kategori jelas, yaitu Budaya Elit (Elite Culture) yakni budaya
dari orang-orang terdidik, aristokrat dan orang-orang kaya. Budaya elit
kadang-kadang dikategorikan sebagai budaya tinggi (high culture). Hingga kurang
dari 200 tahun yang lalu, terdapat perbedaan dan pemisahan antara high culture
dan budaya lainnya yakni budaya kelas petani, yang dikenal dengan folk culture
(budaya rakyat). Kelas elit, adalah orang-orang yang hidupnya dikelilingi seni,
buku-buku dan musik klasik. Para petani dengan folk culture, berhubungan
langsung dengan karnaval di jalan-jalan, lagu-lagu dan dongeng-dongeng rakyat.
§ Tahap
Populer
Pada abad ke-19, perbedaan antara Budaya Elit dan
Budaya Rakyat menjadi kabur dengan dibangunnya demokrasi politik, pendidikan
masyarakat secara massa dan Revolusi Industri. Kekuatan ini yang menciptakan
Budaya Populer dan Budaya Massa. Keberadaan media massa juga merangsang Budaya
Populer (Staubhaar dan La Rose, 1996: 4). Budaya Populer, didefinisikan Ray B.
Browne sebagai:
The cultural world around us. Our attitudes, habits
and actions; how we act why we act. What we eat, wear, buildings, roads and
means to travel, out entertainment, sport, our politicts, religion, medical practices,
our beliefs and activities and what shapes and control them. It is, in other
words, to us what water is to fish; it is the worlds, we live in? (Wajah dunia
di sekeliling kita. Sikap kita, kebiasaan dan perilaku; bagaimana kita
bertindak dan mengapa kita bertindak. Apa yang kita makan, pakai, bangunan,
jalan-jalan dan apa maksud perjalanan kita, hiburan-hiburan kita, olah raga,
politik kita, dan aktivitas-aktivitas, bagaimana bentuk dan cara mengontrolnya.
Dengan kata lain, seperti air dan ikan yang tidak dapat dipisahkan, seperti
dunia yang kita tinggali).
Penggunaan istilah Budaya Populer dilukiskan sebagai
segala yang mengelilingi kehidupan kita setiap hari. Budaya Populer adalah
budaya yang dengannya kita berpedoman terhadap busana, mode, dan seluruh
kegiatan yang kita lakukan (Stan Le Roy Wilson, 2000: 5). Budaya Populer yang
juga disebut dengan Budaya Massa, dimungkinkan oleh kombinasi teknologi
industri dan ekonomi, memasuki produksi massa budaya untuk sejumlah besar
audience. Budaya yang dipelihara sejak lama oleh orang-orang yang terpelajar
dan orang-orang elit kaya, menjadi produk budaya massal lewat buku-buku,
surat-surat kabar, majalah-majalah, rekaman-rekaman, CDs, bioskop, radio, dan
media massa lainnya. Karena industrialisasi media pada dasarnya terciptanya
budaya massa (Staubhaar dan LaRose, 1996: 54-56).
Paul Willis (1990), menamakan media massa sebagai
“media budaya”, karena media massa mengimplikasikan sebuah sumber “menghasilkan
secara missal” pesan-pesan yang dikirimkan kepada “khalayak massa”. Dalam benak
sejumlah kritikus, kondisi ini telah menciptakan “budaya massa” yang lebih
rendah mutunya (Paul Willis dalam James Lull, 1998: 194). Kekuatan media massa
yang besar dalam melakukan transformasi pesan-pesan ini, sehingga tidak
berlebihan bila McLuhan menyebut “the medium is massage” (media adalah pesan)
(McLuhan dalam Rowland Lorimer, 19904: 4).
§ Tahap
Spesialisasi
Tahap spesialisasi dimulai di akhir abad XX ditandai
dengan banyaknya terobosan media massa Amerika Serikat dalam mencapai tahap
ini. Tahap ini digambarkan futurolog Alvin Toffler sebagai ”demassifikasi media
massa”. Pada tingkatan ini, media massa dikonsumsi sepotong-sepotong oleh
populasi, tiap-tiap orang dengan ketertarikan dan aktivitas budaya sendiri.
Kondisi ini dimungkinkan dengan banyaknya pilihan masyarakat terhadap media,
serta untuk televisi misalnya, orang dapat memilih program yang disenangi hanya
dengan menekan remote kontrol. Walaupun, konteks ini tidak merata pada seluruh
Negara di dunia. Untuk Negara-negara yang belum mencapai tahap perkembangan
seperti Negara Amerika, tahapannya masih berada pada tahap populer (Stan Le Roy
Wilson, 1993: 4-6).
Bentuk lain dari perubahan budaya yang diakibatkan
oleh media massa adalah bahwa media massa menciptakan imperialisme budaya dan
kekuasaan budaya (Staubhaar, 1996: 138-139). Hal ini dimungkinkan karena media
massa dewasa ini mudah menerobos batas-batas nasional dan budaya (Lull, 1998:
136). Dengan kekuatan ini, kekuatan media massa Barat yang dimotori oleh
perusahaan-perusahaan transnasional Amerika, telah memonopoli komunikasi dunia
sampai sedemikian rupa, sehingga amat merugikan ekonomi dan identitas
bangsa-bangsa yang kalah kuat (James Lull, 1998: 136). Monopoli ini
dimungkinkan oleh Negara-negara kuat terhadap Negara-negara yang kalah kuat,
antara lain juga disebabkan oleh minimnya subsidi dari pemerintah setempat
untuk program siaran televisi. Solusi dari masalah ini adalah Negara tersebut
mengimpor siaran dengan harga yang lebih murah dibanding memproduksi sendri,
dan jadilah film seri seperti Dallas, dikonsumsi hampir di seluruh dunia
(Joseph Staubhaar, 1996: 138-139).
Domunasi budaya juga dikemukakan oleh Lull, bahwa
penjualan “budaya pop” dengan cepat menjadi sebuah industri besar, terutama di
Amerika Serikat. Menjelang dasawarsa 1990-an ketika kemajuan teknologi
komunikasi maju dengan pesat, perusahaan-perusahaan transnasional kembali
memperoleh keuntungan paling banyak secara materi dengan meningkatnya kapasitas
untuk menghimpun, menyimpan, mengelola dan mengirim informasi.
Korporasi-korporasi transnasional melahap semua saluran satelit, computer
mainframe yang kuat, dan konfigurasi multi media hingga mesin faksimili, sistem
surat suara dan telepon mobile. Dengan menggunakan teknologi komunikasi
tercanggih, perusahaan-perusahaan transnasional memonopoli arus informasi
internasional, mengkolonikan kebudayaan Dunia Ketiga yang tidak berdaya dengan
cara itu (James Lull, 1998: 143-145).
Peran media massa dalam perubahan budaya,
selanjutnya dikemukakan oleh Lull (1998: 186-192), sebagai peran
transkulturasi, hibridasi dan pribumisasi. Transkulturasi, mengacu pada sebuah
proses ketika bentuk-bentuk budaya secara harfiah bergerak melalui ruang dan
waktu untuk berinteraksi dengan kebudayaan lain, saling mempengaruhi dan
menghasilkan bentuk-bentuk budaya baru. Proses transkulturasi dihasilkan oleh
proses perpindaham fisik orang-orang dari satu lokasi geografis ke lokasi
geografis lainya. Tetapi kini, pelintasan budaya lebih banyak dimungkinkan oleh
media massa dan industri kebudayaan. Teknologi modern membangun kembali
pemotong jarak budaya yang esensial, yakni ruang dan waktu. Dengan teknologi
informasi, transmisi, penerimaan informasi dan hiburan dari satu bagian dunia
ke bagian dunia lain menghasilkan sintetis-sintetis budaya baru.
Sementara, transkulturasi menghasilkan hibrida
budaya, yakni penyatuan (fusi) bentuk-bentuk budaya. Bentuk-bentuk dan
genre-genre hibrida menurut definisi dapat dikatakan Budaya Pop (Lull, 1998:
187). Pribumisasi, merupakan bagian dari hibridasi. Pribumisasi berarti bahwa
bentuk-bentuk budaya impor menerima unsur-unsur lokal yang menonjol. Ini dapat
terlihat misalnya pada jenis musik tertentu yang masuk ke Indonesia dan tampil
sebagai musik jenis baru. Misalnya musik rap, yang liirknya sudah mengacu pada
kepribadian, kondisi dan situasi lokal Indonesia.
BAB 3 PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Media massa merupakan alat komunikasi yang dalam
perkembangannya telah merubah berbagai elemen dalam kehidupan masyarakat,
antaranya budaya. Sebagai perpanjangan dari kehadiran seseorang atau entitas
budaya di lingkungan dan jarak yang tidak dapat terjangkau sebelumnya.
Kehadiran media massa memberikan nuansa baru dalam kehidupan manusia melalui
keterhubungan antara bangsa-bangsa dengan budaya yang berbeda. Kehadirannya
juga telah menggeser sendi-sendi kehiduoan masyarakat, khususnya perubahan
budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Rivers,
William L. 2008. Media massa dan masyarakat moderen. Cetakan 3; Jakarta;
Prenada Media Grup.
Liliweri,
Alo. 1991. Komunikasi Massa Dalam Masyarakat. Cetakan 1. Bandung; P.T . CITRA
ADITYA BAKTI.
Lull,
James. 1998. Media, Communication and Culture: A Global Approach. Diterjemahkan
oleh Setiawan Abadi:’Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global’.
Cetakan I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[1]
Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, e-mail:
nuriyatisamatan@gmail.com
Diposkan oleh Dr.
Nuriyati Samatan, Dra. M.Ag di 22.13 Tidak ada komentar:
Beranda
Langganan: Entri (Atom)
No comments:
Post a Comment