Tuesday, January 10, 2017

Contoh Makalah Media Massa dan Perubahan Budaya


BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.         LATAR BELAKANG

Media massa adalah istilah untuk menggambarkan bentuk komunikasi yang dilakukan lewat media massa untuk umum. Media massa yang dikategorikan sebagai alat, instrument komunikasi yang memungkinkan kita untuk merekam serta mengirim informasi dan pengalaman – pengalaman dengan cepat kepada khalayak luas.

Semakin canggihnya teknologi, hal ini bukan hanya memberikan dampak positif, tapi juga dampak negative yang sangat vatal, yaitu tergesernya budaya dan etika masyarakat pengguna sosial media, dalam hal ini internet dan yang lainnya berperan penting dalam mengugurkan budaya dan mengikis berbagai kebudayaan yang positif. Manusia banyak yang mempunyai sikap individualism karena keanggihan teknologi dengan membentuk masyarakat maya.

    Makadari itu, penyusun menyusun makalah ini semoga dapat di baca dengan seksama dan pastinya dapat bermanfaat.

1.2.         TUJUAN

§  Untuk memaparkan permasalahan media sebagai penggeser budaya.
§  Pengaruh besar media terhadap budaya.
§  Mengetahui inilah masyarakat berbudaya yang sudah terpengaruh oleh media.

1.3.         BATASAN MASLAH

Makalah ini terbatas pada permasalahan yaitu kasus perubahan budaya dalam masyarakat yang di sebabkan oleh media massa sebagai pelaku terbesar terhadap perubahan budaya dalam masyarakat.

1.4.         RUMUSAN MASALAH
§  Apa itu media yang di sebut sebut sebagai penyebab perubahan budaya.?
§  Bagaimana cara media mempengaruhi masyarakat berbudaya.
§  Apa itu budaya.?
§  Kenapa budaya begitu mudah untuk di pengaruhi.?




BAB 2 PEMBAHASAN

MEDIA MASSA DAN PERUBAHAN BUDAYA
Media massa adalah istilah untuk menggambarkan bentuk komunikasi yang dilakukan lewat media massa untuk umum. Media massa yang dikategorikan sebagai alat, instrument komunikasi yang memungkinkan kita untuk merekam serta mengirim intormasi dan pengalaman-pengalaman dengan cepat kepada khalayak luas, terpencar-pencar dan heterpgen.

Media massa dengan dukungan teknologi telah membantu mematahkan jarak antara makrososial dan mikrososial. Media massa membawa tema-tema publik ke dalam lingkungan privat tempat ia memasuki dan dipengaruhi oleh kondisi, orientasi dan kebiasaan lokal. Olehnya itu tidak salah jika Thomson mengatakan: Dunia publik telah dibangun kembali dalam zaman elektronika, baik secara teknologi, maupun secara sosial (dalam Lull, 1998: 71).

Media massa dengan perpaduan komputer dan telekomunikasi (ITC: Information Tecnonogy Communication) menghasilkan gerakan informasi dengan kecepatan cahaya kepada khalayak yang jumlahnya luar biasa, menyalurkan berita dan kata, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, ke seluruh tempat di dunia ini. Teknologi komunikasi yang telah menciptakan “Jalan bebas hambatan” (Writson, 1996: 3) tidak hanya menciptakan ekonomi global, tetapi juga mengaburkan batas-batas sosial budaya, karena dunia yang kita bangun sekarang ini, tidak mungkin dipertahankan kedaulatan atas informasi, sebab “informasi dan alurnya juga meliputi lanngit bebas, dipergunakan secara bersama-sama. Budaya, sebagai identitas sebuah masyarakat, tidak luput dari pengaruh media massa.

2.2. PERTUMBUHAN MEDIA MASSA

2.2.1. Pengertian Media Massa
Media massa diartikan sebagai alat, instrumen komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk merekam serta mengirim informasi dan pengalaman-pengalaman dengan cepat kepada khalayak yang luas, terpencar-pencar dan heterogen (Achmad, 1992: 10). Rowland Lorimer dan Paddi Scannel (1994: 22) mendefinisikan media massa secara lebih luas dengan mengaitkan dengan fungsi dan peran media. Media massa sebagai alat komunikasi massa, digambarkan oleh Loriel dan Paddy Scannel dengan elemen-elemen seperti dikemukakan oleh McQuail (1993) sebagai berikut: (1) Media massa merupakan aktifitas komunikasi massa yang berorientasi berdasarkan isi media; (2) Media massa menggunakan konfigurasi teknologi (televisi, radio, videoteks, majalah dan buku); (3) Sistem media massa, apakah formal atau non-formal (menyangkut sistem media, kantor pusat, sistem publikasi dan sebagainya); (4) Dioperasikan berdasarkan ketentuan hukum dan kesepakatan antara para professional dan praktisi, khalayak dan kecenderungan sosial masyarakat; (5) Diterbitkan oleh kelompok yang terdiri atas: Pemilik modal, redaktur, distributor, periklanan dan pelanggan; (6) Menyampaikan informasi, hiburan, pikiran-pikiran dan simbol-simbol; (7) Ditujukan kepada audience yang banyak (Rowland, 1994: 25).

Media massa yang ada saat ini berusaha mengkonstruksi realitas baru kepada khalayak, walau khalayak dapat saja memberikan interpretasi dan sikap yang mendukung atau bersikap sebaliknya terhadap isi media. Dalam upaya konfigurasi media massa membantu membangun media itu sendiri. Misalnya perusahaan “Sony” yang tidak hanya memproduksi televisi tetapi juga walkman dan compact disc (CD), yang kemudian diikuti oleh banyak perusahaan lainnya.

Pengelolaan media menentukan orientasi media. Kepemilikan sektor privat, berorientasi provit, sedang kepemilikan sektor publik disubsidi oleh Negara atau penggabungan antara privat dan publik. Sementara, operasionalisasi media massa berdasarkan ketentuan hukum, peraturan dan kesepakatan. Hal ini menjaga agar tidak terjadi bias negatif, seperti pelanggaran hak cipta dan intelektual. Ketentuan hukum juga berguna untuk mengatur pajak, distribusi dan subsidi.

Media massa dipengaruhi oleh berbagai segmen, di antaranya adalah pertimbangan bisnis, pengaruh pemerintah dengan orientasi masalah politik, pengaruh undang-undang yang berlaku, pengaruh kecenderungan khalayak dan pengaruh pemilik serta professional media. Media massa, selain menyampaikan informasi, hiburan, kesan-kesandan juga simbol berdasarkan orientasi media. Namun, pada prinsipnya, media massa diperuntukkan bagi khalayak massa yang tersebar, besar dan luas (Rowland Lorimer dan Paddy Scannel, 1994: 25-37).

2.2.2. Pertumbuhan Media Massa

Everett M. Rogers (1978) membagi perkembangan komunikasi manusia dalam empat era, dimulai dari tahun 34000 SM, periode CroMagnon, hingga memasuki era komunikasi interaktif. Tabel berikut menjelaskan tahaptahap perkembamgam komunikasi manusia:

1: Pertumbuhan Media Massa      

Era Komunikasi Tulisan/4000 SM ke depan
      1. Tulisan Bangsa Sumeria di Clay Tablets
      2. Pi Seng (China) menemukan jenis cetakan buku yang digerakka
      3.  Lempengan logam pengganti clay digunakan di Kore


Era Komunikasi Tulisan/1456 M ke depan    
      1. ·Bible Guttenberg dicetak
      2. · Sirkuliasi mass media dimulai dengan Surat Kabar Penny Pers oleh New York Sun
      3. ·Metode fotografi ditemukan oleh Daguere yang digunakan oleh surat-surat kabar

         
Era Telekomunikasi/ 1844 ke depan
    1. ·Samuel Morse mengirimkan telegrap pertama
    2. ·Gambar bergerak ditemukan dan film pertama dipertontonkan kepada public
    3. ·Guglielmo Marconi menyiarkan pesan-pesan radio
    4. ·Lee De Forest menemukan pengerasan dari vacuum tube
    5. ·Jadwal resmi penyiaran radio pertama oleh KDKA di Pittshburg
    6. ·Televisi didemonstrasikan oleh RCA
    7. · Penyiaran pertama televisi komersial

                  
Era Komunikasi Interaktif
  1. ·Komputer mainframe pertama, ENIAC dengan 18.000 vacuumtube ditemukan di Universitas Pennysilvia
  2. ·Transistor ditemukan oleh William Shockley, Jhon Berden, dan Wolter Brattain di Laboratorium Bell
  3. ·Video Tape ditemukan oleh Ampax Company, di Kedwood City, California
  4. ·Rusia meluncurkan satelit pertama, Sputnik
  5. ·NASA untuk pertama kalinya melakukan penerbangan setelah ditemukan mini komputer yang ukurannya 3000 kali lebih kecil dari ENIAC
  6. ·Penemuan mocroprocesor unit control komputer (the Central Procesor Unit atau CPU) pada chip semi konduktor, oleh Ted Hoff di Intel Corporation, perusahaan mikro elektronik Silicon Valley)
  7. ·Mikro komputer pertama Altair 8800 dipasarkan
  8. ·HBO (Home Box Office) memulai penyiaran program sistem TV kabel menandai TV kabel di Amerika Serikat
  9. ·Sistem teletex untuk pertama kalinya disediakan oleh dua jaringan televisi Inggeris (BC dan ITU)
  10. ·Qube,sistem televisi kabel interaktif pertama, mulai dioperasikan di Columbus, Ohio
  11. ·Site videotext untuk pertama kalinya disiapkan oleh Kantor Pos Inggeris


Sumber: Everett M Rogers, 1978: 22

          Seperti tertera di atas, Rogers membagi perkembangan komunikasi manusia dalam empat era, yakni: (1) Era Komunikasi Tul.isan; (2) Era Komunikasi Cetak; (3) Era Telekomunikasi dan (4) Era Komunikasi Interaktif. Riwayat perkembangan komunikasi di atas menunjukkan, bahwa ternyata semakin belakangan, ternyata semakin cepat jarak dari inovasi teknologi komunikasi. Kemajuan yang dianggap penting adalah era komunikasi cetak yang ditandai dengan penemuan huruf cetak yang dapat dipindah-pindahkan oleh Johanes Guttenberg (1450), memulai era industri media, khususnya media cetak. Selain itu, kemajuan selanjutnya yang dianggap penting adalah pengoperasian telegrap, yang difungsikan pertama kali pada tahun 1836. Sejarawan Daniel Czitrom (1982) menyebut telegrap sebagai lighting lines untuk kecepatan, untuk gerakan, dan pengaruh transformasi seperti lampu yang menyolok (Joseph Staubhaar, 1996: 57).

Peluncuran satelit komunikasi pertama dalam tahun 1962, menandai kelahiran teknologi satelit. Sinyal-sinyal satelit ditangkap oleh antenna berbentuk piring yang disebut stasiun bumi. Stasiun ini pada mulanya hanya mampu dimiliki oleh perusahaan komunikasi kabel. Kini, makin banyak jumlah pemilik stasiun-stasiun bumi secara individual sejalan dengan harganya yang semakin turun dan wujudnya yang makin praktis. Piring-piring penerima ini juga memungkinkan pemirsa untuk menonton televisi langsung dari stasiun itu (A.S. Achmad, 2002: 52). Pada awal perkembangan teknologi komunikasi ini, satelit yang ada diintegrasikan ke dalam infrastruktur telekomunikasi seperti PPT, perusahaan telepon dan lain-lain. Perkembangan ini menandai Revolusi Satelit I. Saat ini, kita telah memasuki Revolusi Satelit II ditandai dengan komunikasi satelit dapat memotong jalur infrastruktur yang ada, seperti Direct Broadcast Satelit (DBS), Mobile Communication dan Private Network.

Selain meningkatkan pilihan pemirsa, satelit juga membuat mungkin terciptanya jaringan-jaringan pribadi yang sangat banyak dan masing-masing dapat disesuaikan menurut kebutuhan pemakai. Dengan menggunakan teknologi satelit, orang dapat melakukan komunikasi melalui hubungan telepon atau faksimili sementara dalam perjalanan di mana saja berada, dapat berbelanja jarak jauh (teleshopping), dapat melakukan konferensi pers (teleconference) yang meliputi seluruh Negara (nation- wide)atau seluruh dunia, tanpa harus meninggalkan rumah atau kantor, sehigga videoconference atau sistem networking telah menjadi bagian dari kehidupan manusia saat ini.

2.3 BUDAYA DAN PERUBAHAN BUDAYA

2.3.1. Mengenal Budaya

Budaya, berasal dari kata Sanskerta buddhaya, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal (Koetjaraningrat, 1990: 181). Ada pendapat yang membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu (Koentjaraningrat, 1990: 181). Dalam tulisan ini, budaya dan kebudayaan digunakan dalam arti yang sama.

Kebudayaan didefinisikan oleh Edward Tylor (1871) sebagai: that complex wich includes knowledge, belief, art, moral, costum, and any other capabilities acquired by man as a member society (dalam Randall Stokes, t,th.: 68). (Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang meliputi kepercayaan, seni, moral, hukum, dan kemampuan lainnya, dan kebiasaan yang didapatkan seseorang dari masyarakat).

The American Heritage Dictionary memberi definisi budaya dan cuture sebagai “the totality of sosial transmitted behavior pattern, art, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought characteristics of a community or population. (Totalitas perilaku, seni, keyakinan, lembaga dan semua hasil karya manusian serta ciri-ciri pikiran suatu masyarakat atau populasi yang ditransmisikan secara sosial).

Kilman, Saxton dan Serpa (1986) mendefenisikan kebudayaan sebagai “culture can be definet as the philosophies, ideologis, values, assumptions, expectations, attitudes and norms that knit acommunity together. (Budaya dapat dirumuskan sebagai serangkaian falsafah, ideologi, nilai, asumsi, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama yang mengikat suatu masyarakat). Menurut Ilmu Antropologi, budaya adalah: keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia untuk belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180). Sementara, Haviland menjelaskan bahwa kebudayaan terdiri dari niali-nilai, kepercayaan, dan persepsi yang abstrak tentang jagad daya yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin di dalam perilaku. Semuanya adalah milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat. Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan yang terpadu (William A. Haviland, 1995: 331).

Beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa kebudayaan menyangkut sebuah kesepakatan kelompok, baik eksplisit maupun implisit, tentang bagaimana seseorang mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah secara bersama dalam kelompoknya.

Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat, mengacu pada J.J.Hongmann (1959: 11), terdiri atas tiga, yakni: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebaagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari masyarakat; (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjarangrat, 1990: 186-187).

Wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dan lokasinya berada dalam alam pikiran warga masyarakat, tempat kebudayaan itu hidup. Wujud ideal kebudayaan, disebut juga adat atau adat istiadat. Wujud kedua dari kebudayaan, disebut dengan sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dari hari ke hari menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat diobservasi, difoto dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut dengan kebudayan fisik berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan difoto (Koentjaraningrat, 1990: 187-188).
         
Unsur-unsur kebudayaan universal, disebut juga sebagai isu pokok dari tiap kebudayaan di dunia, adalah: (1) Bahasa; (2) Sistem pengetahuan; (3) Organisasi sosial; (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) Sistem mata pencaharian hidup; (6) Sistem religi; (7) Kesenian. Tiap-tiap unsur kebudayaan universal menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan, misalnya unsur universal kesenian, wujud idealnya adalah gagasan-gagasan, ciptaan-ciptaan dan syair-syair indah. Wujud berpola dapat berupa interaksi antar seniman-pencipta, seniman-penyelenggara, sponsor, pendengar dan penonton. Dan, wujud kesenian sebagai benda seni dapat berupa benda-benda indah, candi, kain tenun, dan lain sebagainya.

Hal penting lainnya dari kebudayaan adalah karakteristik kebudayaan. George P. Mudrock dalam The Cross-Culture Survey (American Review 5, 1940: 361-370), membagi tujuh karakteristik budaya: (1) Kualitas Mempelajari Budaya; budaya diperoleh dari proses sosial pada kelompok, tempat individu-individu belajar sesudah ia lahir dan berlangsung dalam proses sosial; (2) Kualitas Transmisi Budaya; budaya tidak hanya cukup untuk dipelajari tetapi dibutuhkan kemampuan untuk mentransmisikan dari satu orang ke orang lain dari satu generasi ke generasi berikutnya; (3) Kualitas Sosial Budaya; individu-individu mempelajari format kebiasaan-kebiasaan pada sikap-sikap personal, ia juga belajar bentuk-bentuk kebiasaan dan sikap-sikap kelompok yang tumbuh dari hubungan sosial; (4) Kualitas Ide Budaya; budaya terdiri atas konsep norma-norma ideal dan pola sikap. Ini artinya, budaya berkenan dengan pola ide anggota kelompok dalam bersikap dan menjadikan sandaran untuk menyesuaikan diri; (5) Kualitas Kepuasan Budaya; budaya juga dapat memuaskan keinginan manusia, secara biologi dan sosial. Kebiasaan individu yang berlangsung lama hanya dilakukan bila mereka puas dan memuaskan keinginannya; (6) Kualitas Adaptasi Budaya; dua elemen yang termasuk dalam karakter budaya ini, yakni: pertama, perubahan budaya; kedua, perubahan ini membawa kekuatan adaptasi di luar budaya; (7) Kualitas Integrasi Budaya; kualitas integrasi terlihat dengan mudah pada budaya terisolasi, ketika elemen-elemen pokoknya tidak dapat beruab dengan cepat. Integrasi tidak nampak dalam budaya heterogen dan budaya yang saling bergantung, ketika elemen-elemen berada secara terus-menerus masuk pada budaya dan unsur pokoknya secara terus-menerus dan berubah dalam proses dinamis.

2.3.1. Perubahan Budaya

Haviland berpendapat, bahwa dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan berubah sebagai tanggapan atas hal-hal seperti masuknya orang luar, atau terjadinya modivikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam kebudayaan (Haviland, 1995: 351). Proses perubahan dan pergeseran budaya, dibedakan Koentjaraningrat dalam: (1) Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari: Internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi; (2) Proses perkembangan kebudayaan atau evolusi kebudayaan (cultural evolution); (3) Proses penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di bumi, yakni proses difusi (diffusion); (4) Proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga masyarakat, yakni proses akulturasi (acculturation), dan proses asimilasi (assimilation); dan (5) Proses inivasi (innovation) dan penemuan baru (discoveri dan invention) (Kontjaraningrat, 1990: 227-228).

Proses internalisasi, adalah proses belajar kebudayaan yang panjang, sejak individu dilahirkan sampai ia meninggal. Ia belajar menanamkan dalam kepribadiaanya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Proses sosialisasi, adalah proses ketika seorang individu sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan berbagai macam individu di sekelilingnya yang menduduki berbagai peran sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Proses enkulturasi atau proses pembudayaan, adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

Proses evolusi kebudayaan, adalah proses perubahan kebudayaan bila dilihat dari interval waktu yang panjang, akan terlihat perubahan-perubahan besar dalam kebudayaan. Sementara, proses difusi kebudayaan, disebabkan oleh proses migrasi kelompok manusia di bumi. Dengan migrasi tersebut, tersebar pula unsur-unsur kebudayaan di penjuru dunia. Akulturasi atau acculturation atau culture contac, adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dalam suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebuudayaan asing. Lambat laun, unsur-unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Asimilasi atau assimilation, adalah proses sosial yang timbul bila: (a) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda; (b) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama; sehingga (c) kebudayaan-kebudayaan golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran (Kontjaraningrat, 1990: 221-260).

Teori lain tentang perubahan budaya dikemukakan James Lull adalah teori meme (baca: mem). Jika gerak dalam fisika sementara ini dapat dijelaskan dengan atom atau partikel, evolusi (biologi) dengan gene (baca: gen), maka perubahan budaya dengan meme (James Lull, 1998: xv). Istilah meme pertama kali diperkenalkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene (1976). Menurut pengakuannya, istilah ini muncul karena Dawkins menganggap bahwa Teori Darwin terlalu luas untuk hanya dibatasi pada peranan gene. Teori Evolusi Darwin dapat juga mencakup evolusi di luar biologi, seperti bahasa dan sosial budaya. Dua-duanya berfungsi sebagai pengganda diri sendiri (replicator). Jika gene diketahui bersifat mementingkan diri sendiri (selfish), maka hampir pasti demikian juga dengan meme. Meme sebagai unit perubahan sosial budaya, bergerak mengejar suksesnya sendiri. Sukses meme terdiri dari tiga hal: yaitu: (1) usia sepanjang-pangjangnya (longevity); (2) tersebar seluas-luasnya (fecundity); dan (3) berketurunan seasli-aslinya (copying fidelity). Dawkins, mendefinisikan meme sebagai: “segala hal yang dapat berpindah dari satu benak ke benak lain (Dawkins, dalam James Lull, 1998: xvii).

Pengembangan teori ini juga dilakukan oleh Richard Bordie, dalam Virus of The Mind: The New Science of The Meme (1996). Menurut Bordie, meme adalah suatu unit informasi yang tersimpan dalam benak seseorang, yang mempengaruhi kejadian di lingkungannya, sedemikian rupa, sehingga makin tersebar luas di benak orang lain. Bordie membagi semua meme kepada tiga jenis: distinction nene; strategy meme dan association meme. Pada hakikatnya, peran meme adalah: Meme dapat berkembang untuk mewujudkan tiga suksesnya sendiri, tanpa menghiraukan kepentingan manusia yang benaknya dimanfaatkan. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa siaran kekerasan misalnya, terus saja diproduksi dan dinikmati, kendati setiap orang mengetahui bahayanya.

Terdapat tiga jalur utama yang digunakan oleh meme untuk menulari benak manusia: (1) Pengulangan (repetition); (2) Ketegangan (cognitive dissonance) dan (3) Menunggangi (free riding) (Lull, 1998: xviii). Iklan, dikategorikan sebagai repetition, beberapa pengertian yang mengganggu ketenangan hati termasuk cognitive dissonance dan segala gagasan yang menanggulangi naluri manusia, seperti: lapar, seks, dan mempertahankan diri termasuk free riding.

2.4. IMPLIKASI PERTUMBUHAN MEDIA TERHADAP PERUBAHAN BUDAYA
2.4.1. Pengaruh Media Massa terhadap Perubahan Budaya
Harrold Innis dan Marshal McLuhan adalah sarjana modern yanbg mengkaji hubungan antara alat komunikasi yang terdapat di masyarakat dan bagaimana alat komunikasi itu berperan membentuk kararkter serta bidang sosial mereka, seperti bidang politik dan social budaya. McLuhan yang banyak belajar dari Innis, mengembangkan ide pada periode modern. Ia mulai melihat, bahwa pengaruh sistem percetakan dapat menyebarkan ide-ide serta pengetahuan (Rowland, 1994: 2). Ini terlihat, saat Guttenberg (1450) menemukan huruf cetak yang dapat dipindah-pindahkan, secara langsung memacu percetakan buku di Eropa. Pada tahun 1500, jutaan buku dicetak atas permintaan (Staubhaar dan LaRose, 1996: 49). Dari kenyataan ini, McLuhan menyatakan bahwa media elektronik modern, khususnya radio, televisi, fotografi dan film dapat membentuk pola pikir masyarakat modern. Ide itu berpengaruh di Amerika Utara dan Eropa. Apa yang dilakukan media dan implikasinya dalam konteks global, media telah membuat--sesuatu yang pertama dalam sejarah--mungkinya sistem komunikasi yang cepat (instant) antara sejumlah titik di dunia yang disebut McLuhan sebagai the global village (desa global) (McLuhan dalam Rowlan Lorrimer dan Paddi Scannel, 1994: 2).

Fenomena percepatan transformasi ide disebut Konetjaraningrat sebagai difusi, ketika unsur-unsur kebudayaan yang timbul di salah satu tempat di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali, bahkan seringkali tanpa kontak antar individu-individu. Ini disebabkan karena adanya alat-alat penyiaran yang bekerja efektif, seperti surat kabar, majalah, radio, buku, film dan televisi (Koentjaraningrat, 1990: 246-247).

Penyebaran unsur-unsur kebudayaan, juga ditimbulkan oleh peralihan pekerjaan yang diakibatkan oleh Revolusi Industri. Di akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an, orang-orang dalam kelompok besar bermigrasi dari pekerjaan sektor pertanian pertanian di desa-desa ke pekerja industri di sejumlah kota. Urbanisasi ini ditumbulkan oleh media massa, karena secara serempak mereka mendapatkan informasi tentang apa yang akan mereka lakukan pada masa akan datang bagi kehidupan mereka melalui media massa (Staubhaar dan LaRose, 1996: 50). Migrasi ini menyebabkan pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya, individu-individu dalam kelompok-kelompok itu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Proses yang dapat terjadi dari pertemuan budaya ini adalah akulturasi budaya, dan sekaligus proses asimilasi (Kontjaraningrat, 1990: 247-255)

Saat ini, pertemuan budaya tidak lagi terbatas pada integrasi kelompok masyarakat yang berbeda, tetapi lebih banyak diakibatkan oleh media massa. Membanjirnya citra-citra simbolis pada dekade ini, telah menimbulkan perubahan-perubahan radikal pada sintetis-sintetis budaya di seluruh dunia (Lull, 1998: 78). Pertemuan budaya dan proses mempelajari budaya disebabkan juga oleh banyaknya waktu digunakan manusia untuk berinteraksi dengan media massa. Media komunikasi dan teknologi dalam tulisan Staubhaar (1996: 4) adalah komponen yang amat penting dalam kehidupan manusia. Hasil penelitian menunjukkan, orang dewasa Amerika menghabiskan empat jam sehari untuk menonton televisi, tiga jam untuk mendengarkan radio, setengah jam untuk membaca surat kabar. Orang-orang Amerika juga menghabiskan waktu setengah jam setiap hari untuk berbicara lewat telepon, dan dua jam sehari untuk komputer pribadinya. Belum terhitung waktu yang dihabiskan untuk menonton film, menonton video di rumah, mendengarkan musik, membaca buku-buku dan majalah, dan komunikasi tertulis. Dari sini dapat dilihat, bahwa lebih dari separuh waktu seseorang dalam sehari, dihabiskan untuk pertukaran informasi. McLuhan, dengan mengembangkan ide Innis menghasilkan kesimpulan, bahwa media massa adalah perpanjangan alat indra manusia. Dengan media massa, orang dapat memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat, dengan tidak perlu mengalaminya secara langsung. Dengan media itu pula, manusia dapat mengembangkan pola pikir dan perilaku mereka (McLuhan dalam Rowland Lorrimer dan Paddy Scannel, 1994: 12).

2.4.2. Bentuk-bentuk Perubahan Budaya

Budaya dalam pandangan antropolog, adalah seluruh yang disetujui oleh masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kontribusi pewarisan tingkah laku dalam masyarakat biasanya dilakukan oleh institusi formal, seperti gereja dan Negara, dan saat ini dilakukan oleh media (Wilson, 2002: 4). Dikaitkan dengan perkembangan media massa, Wilson (2002), membagi tahapan-tahapan perkembangan budaya pada:
§      Tahap Elitis.
Beberapa kurun waktu yang lampau, budaya masih dibedakan dalam kategori jelas, yaitu Budaya Elit (Elite Culture) yakni budaya dari orang-orang terdidik, aristokrat dan orang-orang kaya. Budaya elit kadang-kadang dikategorikan sebagai budaya tinggi (high culture). Hingga kurang dari 200 tahun yang lalu, terdapat perbedaan dan pemisahan antara high culture dan budaya lainnya yakni budaya kelas petani, yang dikenal dengan folk culture (budaya rakyat). Kelas elit, adalah orang-orang yang hidupnya dikelilingi seni, buku-buku dan musik klasik. Para petani dengan folk culture, berhubungan langsung dengan karnaval di jalan-jalan, lagu-lagu dan dongeng-dongeng rakyat.

§     Tahap Populer

Pada abad ke-19, perbedaan antara Budaya Elit dan Budaya Rakyat menjadi kabur dengan dibangunnya demokrasi politik, pendidikan masyarakat secara massa dan Revolusi Industri. Kekuatan ini yang menciptakan Budaya Populer dan Budaya Massa. Keberadaan media massa juga merangsang Budaya Populer (Staubhaar dan La Rose, 1996: 4). Budaya Populer, didefinisikan Ray B. Browne sebagai:

The cultural world around us. Our attitudes, habits and actions; how we act why we act. What we eat, wear, buildings, roads and means to travel, out entertainment, sport, our politicts, religion, medical practices, our beliefs and activities and what shapes and control them. It is, in other words, to us what water is to fish; it is the worlds, we live in? (Wajah dunia di sekeliling kita. Sikap kita, kebiasaan dan perilaku; bagaimana kita bertindak dan mengapa kita bertindak. Apa yang kita makan, pakai, bangunan, jalan-jalan dan apa maksud perjalanan kita, hiburan-hiburan kita, olah raga, politik kita, dan aktivitas-aktivitas, bagaimana bentuk dan cara mengontrolnya. Dengan kata lain, seperti air dan ikan yang tidak dapat dipisahkan, seperti dunia yang kita tinggali).

Penggunaan istilah Budaya Populer dilukiskan sebagai segala yang mengelilingi kehidupan kita setiap hari. Budaya Populer adalah budaya yang dengannya kita berpedoman terhadap busana, mode, dan seluruh kegiatan yang kita lakukan (Stan Le Roy Wilson, 2000: 5). Budaya Populer yang juga disebut dengan Budaya Massa, dimungkinkan oleh kombinasi teknologi industri dan ekonomi, memasuki produksi massa budaya untuk sejumlah besar audience. Budaya yang dipelihara sejak lama oleh orang-orang yang terpelajar dan orang-orang elit kaya, menjadi produk budaya massal lewat buku-buku, surat-surat kabar, majalah-majalah, rekaman-rekaman, CDs, bioskop, radio, dan media massa lainnya. Karena industrialisasi media pada dasarnya terciptanya budaya massa (Staubhaar dan LaRose, 1996: 54-56).

Paul Willis (1990), menamakan media massa sebagai “media budaya”, karena media massa mengimplikasikan sebuah sumber “menghasilkan secara missal” pesan-pesan yang dikirimkan kepada “khalayak massa”. Dalam benak sejumlah kritikus, kondisi ini telah menciptakan “budaya massa” yang lebih rendah mutunya (Paul Willis dalam James Lull, 1998: 194). Kekuatan media massa yang besar dalam melakukan transformasi pesan-pesan ini, sehingga tidak berlebihan bila McLuhan menyebut “the medium is massage” (media adalah pesan) (McLuhan dalam Rowland Lorimer, 19904: 4).

§    Tahap Spesialisasi

Tahap spesialisasi dimulai di akhir abad XX ditandai dengan banyaknya terobosan media massa Amerika Serikat dalam mencapai tahap ini. Tahap ini digambarkan futurolog Alvin Toffler sebagai ”demassifikasi media massa”. Pada tingkatan ini, media massa dikonsumsi sepotong-sepotong oleh populasi, tiap-tiap orang dengan ketertarikan dan aktivitas budaya sendiri. Kondisi ini dimungkinkan dengan banyaknya pilihan masyarakat terhadap media, serta untuk televisi misalnya, orang dapat memilih program yang disenangi hanya dengan menekan remote kontrol. Walaupun, konteks ini tidak merata pada seluruh Negara di dunia. Untuk Negara-negara yang belum mencapai tahap perkembangan seperti Negara Amerika, tahapannya masih berada pada tahap populer (Stan Le Roy Wilson, 1993: 4-6).

Bentuk lain dari perubahan budaya yang diakibatkan oleh media massa adalah bahwa media massa menciptakan imperialisme budaya dan kekuasaan budaya (Staubhaar, 1996: 138-139). Hal ini dimungkinkan karena media massa dewasa ini mudah menerobos batas-batas nasional dan budaya (Lull, 1998: 136). Dengan kekuatan ini, kekuatan media massa Barat yang dimotori oleh perusahaan-perusahaan transnasional Amerika, telah memonopoli komunikasi dunia sampai sedemikian rupa, sehingga amat merugikan ekonomi dan identitas bangsa-bangsa yang kalah kuat (James Lull, 1998: 136). Monopoli ini dimungkinkan oleh Negara-negara kuat terhadap Negara-negara yang kalah kuat, antara lain juga disebabkan oleh minimnya subsidi dari pemerintah setempat untuk program siaran televisi. Solusi dari masalah ini adalah Negara tersebut mengimpor siaran dengan harga yang lebih murah dibanding memproduksi sendri, dan jadilah film seri seperti Dallas, dikonsumsi hampir di seluruh dunia (Joseph Staubhaar, 1996: 138-139).

Domunasi budaya juga dikemukakan oleh Lull, bahwa penjualan “budaya pop” dengan cepat menjadi sebuah industri besar, terutama di Amerika Serikat. Menjelang dasawarsa 1990-an ketika kemajuan teknologi komunikasi maju dengan pesat, perusahaan-perusahaan transnasional kembali memperoleh keuntungan paling banyak secara materi dengan meningkatnya kapasitas untuk menghimpun, menyimpan, mengelola dan mengirim informasi. Korporasi-korporasi transnasional melahap semua saluran satelit, computer mainframe yang kuat, dan konfigurasi multi media hingga mesin faksimili, sistem surat suara dan telepon mobile. Dengan menggunakan teknologi komunikasi tercanggih, perusahaan-perusahaan transnasional memonopoli arus informasi internasional, mengkolonikan kebudayaan Dunia Ketiga yang tidak berdaya dengan cara itu (James Lull, 1998: 143-145).

Peran media massa dalam perubahan budaya, selanjutnya dikemukakan oleh Lull (1998: 186-192), sebagai peran transkulturasi, hibridasi dan pribumisasi. Transkulturasi, mengacu pada sebuah proses ketika bentuk-bentuk budaya secara harfiah bergerak melalui ruang dan waktu untuk berinteraksi dengan kebudayaan lain, saling mempengaruhi dan menghasilkan bentuk-bentuk budaya baru. Proses transkulturasi dihasilkan oleh proses perpindaham fisik orang-orang dari satu lokasi geografis ke lokasi geografis lainya. Tetapi kini, pelintasan budaya lebih banyak dimungkinkan oleh media massa dan industri kebudayaan. Teknologi modern membangun kembali pemotong jarak budaya yang esensial, yakni ruang dan waktu. Dengan teknologi informasi, transmisi, penerimaan informasi dan hiburan dari satu bagian dunia ke bagian dunia lain menghasilkan sintetis-sintetis budaya baru.

Sementara, transkulturasi menghasilkan hibrida budaya, yakni penyatuan (fusi) bentuk-bentuk budaya. Bentuk-bentuk dan genre-genre hibrida menurut definisi dapat dikatakan Budaya Pop (Lull, 1998: 187). Pribumisasi, merupakan bagian dari hibridasi. Pribumisasi berarti bahwa bentuk-bentuk budaya impor menerima unsur-unsur lokal yang menonjol. Ini dapat terlihat misalnya pada jenis musik tertentu yang masuk ke Indonesia dan tampil sebagai musik jenis baru. Misalnya musik rap, yang liirknya sudah mengacu pada kepribadian, kondisi dan situasi lokal Indonesia.


BAB 3 PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

Media massa merupakan alat komunikasi yang dalam perkembangannya telah merubah berbagai elemen dalam kehidupan masyarakat, antaranya budaya. Sebagai perpanjangan dari kehadiran seseorang atau entitas budaya di lingkungan dan jarak yang tidak dapat terjangkau sebelumnya. Kehadiran media massa memberikan nuansa baru dalam kehidupan manusia melalui keterhubungan antara bangsa-bangsa dengan budaya yang berbeda. Kehadirannya juga telah menggeser sendi-sendi kehiduoan masyarakat, khususnya perubahan budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Rivers, William L. 2008. Media massa dan masyarakat moderen. Cetakan 3; Jakarta; Prenada Media Grup.

Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Massa Dalam Masyarakat. Cetakan 1. Bandung; P.T . CITRA ADITYA BAKTI.

Lull, James. 1998. Media, Communication and Culture: A Global Approach. Diterjemahkan oleh Setiawan Abadi:’Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global’. Cetakan I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

[1] Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, e-mail: nuriyatisamatan@gmail.com
Diposkan oleh Dr. Nuriyati Samatan, Dra. M.Ag di 22.13 Tidak ada komentar:
Beranda
Langganan: Entri (Atom)


No comments:

Post a Comment

Popular Posts