PRINSIP 11
Suatu perilaku adalah suatu
peristiwa. Oleh karena merupakan peristiwa, perilaku berlangsung dalam waktu
dan tidak dapat “diambil kembali.” Bila Anda memukul wajah seseorang dan
meretakkan hidungnya, peristiwa tersebut dan konsekuensinya telah “terjadi”; Anda
tidak dapat memutar kembali jarum jam dan berpura-pura seakan-akan hal itu
tidak terjadi. Paling-paling Anda akan menampilkan perilaku tambahan dengan
berkata misalnya, Maafkan Saya. Saya tidak sengaja melakukannya” perilaku baru
(meminta maaf) tidak mengubah perilaku sebelumnya (pemukulan wajah). Alih-alih,
permintaan maaf itu menambahkan suatu peristiwa baru kedalam suatu urutan
peristiwa yang sedang berlangsung. Maka hal itu menjadi bagian urutan yang
mungkin mendefinisikan ulang peristiwa sebelumnya sehingga dimaknai secara
berbeda. Jadi Anda dapat mengubah “realitas” semantik (makna yang Anda berikan
pada peristiwa itu), namun tidak sama sekali efek atau konsekuensinya. Anda
tidak dapat mengubah peristiwa yang sebenarnya. Anda dapat meminta maaf, namun
hidung orang itu tetap retak.
Senada dengan peristiwa di
atas, dalam komunikasi, sekali Anda mengirim pesan, Anda tidak dapat
mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak, apalagi menghilangkan efek
pesan tersebut sama sekali. Sama halnya dengan ketika Anda menembakkan sebutir
peluru dari sepucuk pistol atau melepaskan anak panah dari busurnya, Anda tidak
dapat menarik kembali peluru atau anak panah tersebut. Hal ini terutama
terasakan sekali bila Anda mengirimkan pesan yang menyinggung perasaan orang
lain. Meskipun orang itu memaafkan Anda, perasaannya terhadap Anda mungkin
sekali tidak persis sama dibandingkan dengan sebelum Anda mengirimkan pesan
tersebut. Orang inggris punya ungkapan “To
forgive but not to forget” (kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, tapi
takkan dapat melupakannya). Itu sebabnya, mengapa sebagian suami atau istri
yang berselingkuh dengan orang lain lalu meminta maaf kepada pasangan hidupnya,
pasangannya itu tetap memutuskan untuk bercerai juga meskipun ia memaafkan si penyeleweng
itu. Ketika seorang pengacara (pembela) meminta hakim untuk mengabaikan
pernyataan jaksa mengenai terdakwa dalam suatu sidang pengadilan, hakim tidak
bisa mengabaikan pernyataan jaksa tersebut, karena pernyataan itu telah
disampaikan. Para pemimpin negara yang menyalahgunakan kekuasaan dan kemudian
jatuh dari kekuasaan akibat ulah mereka, seperti Ferdinand Marcos dan Soeharto,
dan menimbulkan efek tertentu berupa perubahan persepsi dan sikap masyarakat
terhadap para pemimpin itu, pengaruh itu tidak bisa lagi ditiadakan sama
sekali. Citra Marcos dan Soeharto yang telah terpuruk itu sulit diperbaiki
kembali.
Sifat irreversible ini adalah implikasi dari komunikasi sebagai proses
yang selalu berubah, prinsip ini sejatinya menyadarkan kita bahwa kita harus
berhati-hati untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, sebab, yaitu tadi,
efeknya tidak bisa ditiadakan sama sekali, meskipun kita berupaya meralat nya,
apalagi bila penyampaian pesan itu dilakukan untuk pertama kalinya. Ketika Anda
tampil pertama kali untuk melakukan presentasi atau pidato, Anda harus
mempersiapkannya secara lebih hati-hati, karena kesan khalayak terhadap kinerja
Anda akan cenderung sulit dihilangkan sama sekali berdasarkan prinsip ini.
Curtis et al, mengatakan bahwa kesan
pertama itu cenderung abadi. Dalam kaitan ini, kita bisa memahami peribahasa
“Sekali lancung keujian, seumur hidup orang tak percaya.” Seseorang yang secara
sengaja membohongi orang lain, sulit bagi orang yang dibohongi itu untuk
mempercayai si pembohong 100% seperti sebelum kebohongan itu terjadi.
Dalam komunikasi massa,
sekali wartawan menyiarkan berita yang tanpa disengaja mencemarkan nama baik
seseorang, maka nama baik orang itu sulit dikembalikan lagi ke posisi semula,
meskipun surat kabar, majalah, radio atau televisi itu telah meminta maaf dan
memuat hak jawab sumber berita secara lengkap. Ada saja pihak yang tetap
menaruh prasangka buruk kepada sumber berita tadi, karena mereka tidak
mengetahui bahwa nama baik sumber berita sudah dipulihkan melalui permohonan maaf
media cetak dan media elektronik yang bersangkutan atau pemuatan hak jawab
sumber berita secara lengkap, bahkan bila hal itu misalnya dicetak satu halaman
penuh pada halaman di mana berita pencemaran nama baik sumber berita dimuat
sebelumnya. Dalam konteks ini, kita bisa mengerti bila pengacara kondang Adnan
Buyung Nasution menyatakan bahwa penggunaan hak jawab bukan cara terbaik untuk
mengatasi masalah pers (melainkan harus melalui pengadilan)
Relevan dengan prinsip ini,
kita mengerti mengapa dulu seorang wartawan tabloid Monitor yang mengadakan jajak pendapat mengenai orang-orang yang
dikagumi pembaca pada tahun 1990, dan menghasilkan Nabi Muhammad sebagai orang
yang menempati urutan kesebelas, mengalami kejatuhan dalam citranya dan sulit
untuk mendongkraknya lagi, setidaknya di mata umat Islam, meskipun ia telah
memohon maaf. Pengalaman pahit yang dialami Washington
Post di Amerika Serikat juga perlu di jadikan pelajaran. Surat kabar itu
pernah membuat berita sensasional yang cukup buruk tentang seorang tokoh.
Diketahui kemudian bahwa berita itu tidak benar. Sesuai dengan norma yang
berlaku, sang tokoh diberi hak jawab, namun bantahannya tidak berhasil
menghapus kesan buruk yang terlanjur menyebar dan tertanam di kalangan
masyarakat karena berita bohong tersebut. Sang tokoh kemudian bangkrut, putus
asa, dan melakukan bunuh diri.
No comments:
Post a Comment