Tuesday, June 7, 2016

Komunikasi Bersifat Irreversible.

PRINSIP 11


Suatu perilaku adalah suatu peristiwa. Oleh karena merupakan peristiwa, perilaku berlangsung dalam waktu dan tidak dapat “diambil kembali.” Bila Anda memukul wajah seseorang dan meretakkan hidungnya, peristiwa tersebut dan konsekuensinya telah “terjadi”; Anda tidak dapat memutar kembali jarum jam dan berpura-pura seakan-akan hal itu tidak terjadi. Paling-paling Anda akan menampilkan perilaku tambahan dengan berkata misalnya, Maafkan Saya. Saya tidak sengaja melakukannya” perilaku baru (meminta maaf) tidak mengubah perilaku sebelumnya (pemukulan wajah). Alih-alih, permintaan maaf itu menambahkan suatu peristiwa baru kedalam suatu urutan peristiwa yang sedang berlangsung. Maka hal itu menjadi bagian urutan yang mungkin mendefinisikan ulang peristiwa sebelumnya sehingga dimaknai secara berbeda. Jadi Anda dapat mengubah “realitas” semantik (makna yang Anda berikan pada peristiwa itu), namun tidak sama sekali efek atau konsekuensinya. Anda tidak dapat mengubah peristiwa yang sebenarnya. Anda dapat meminta maaf, namun hidung orang itu tetap retak.

Senada dengan peristiwa di atas, dalam komunikasi, sekali Anda mengirim pesan, Anda tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak, apalagi menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali. Sama halnya dengan ketika Anda menembakkan sebutir peluru dari sepucuk pistol atau melepaskan anak panah dari busurnya, Anda tidak dapat menarik kembali peluru atau anak panah tersebut. Hal ini terutama terasakan sekali bila Anda mengirimkan pesan yang menyinggung perasaan orang lain. Meskipun orang itu memaafkan Anda, perasaannya terhadap Anda mungkin sekali tidak persis sama dibandingkan dengan sebelum Anda mengirimkan pesan tersebut. Orang inggris punya ungkapan “To forgive but not to forget” (kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, tapi takkan dapat melupakannya). Itu sebabnya, mengapa sebagian suami atau istri yang berselingkuh dengan orang lain lalu meminta maaf kepada pasangan hidupnya, pasangannya itu tetap memutuskan untuk bercerai juga meskipun ia memaafkan si penyeleweng itu. Ketika seorang pengacara (pembela) meminta hakim untuk mengabaikan pernyataan jaksa mengenai terdakwa dalam suatu sidang pengadilan, hakim tidak bisa mengabaikan pernyataan jaksa tersebut, karena pernyataan itu telah disampaikan. Para pemimpin negara yang menyalahgunakan kekuasaan dan kemudian jatuh dari kekuasaan akibat ulah mereka, seperti Ferdinand Marcos dan Soeharto, dan menimbulkan efek tertentu berupa perubahan persepsi dan sikap masyarakat terhadap para pemimpin itu, pengaruh itu tidak bisa lagi ditiadakan sama sekali. Citra Marcos dan Soeharto yang telah terpuruk itu sulit diperbaiki kembali.

Sifat irreversible ini adalah implikasi dari komunikasi sebagai proses yang selalu berubah, prinsip ini sejatinya menyadarkan kita bahwa kita harus berhati-hati untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, sebab, yaitu tadi, efeknya tidak bisa ditiadakan sama sekali, meskipun kita berupaya meralat nya, apalagi bila penyampaian pesan itu dilakukan untuk pertama kalinya. Ketika Anda tampil pertama kali untuk melakukan presentasi atau pidato, Anda harus mempersiapkannya secara lebih hati-hati, karena kesan khalayak terhadap kinerja Anda akan cenderung sulit dihilangkan sama sekali berdasarkan prinsip ini. Curtis et al, mengatakan bahwa kesan pertama itu cenderung abadi. Dalam kaitan ini, kita bisa memahami peribahasa “Sekali lancung keujian, seumur hidup orang tak percaya.” Seseorang yang secara sengaja membohongi orang lain, sulit bagi orang yang dibohongi itu untuk mempercayai si pembohong 100% seperti sebelum kebohongan itu terjadi.

Dalam komunikasi massa, sekali wartawan menyiarkan berita yang tanpa disengaja mencemarkan nama baik seseorang, maka nama baik orang itu sulit dikembalikan lagi ke posisi semula, meskipun surat kabar, majalah, radio atau televisi itu telah meminta maaf dan memuat hak jawab sumber berita secara lengkap. Ada saja pihak yang tetap menaruh prasangka buruk kepada sumber berita tadi, karena mereka tidak mengetahui bahwa nama baik sumber berita sudah dipulihkan melalui permohonan maaf media cetak dan media elektronik yang bersangkutan atau pemuatan hak jawab sumber berita secara lengkap, bahkan bila hal itu misalnya dicetak satu halaman penuh pada halaman di mana berita pencemaran nama baik sumber berita dimuat sebelumnya. Dalam konteks ini, kita bisa mengerti bila pengacara kondang Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa penggunaan hak jawab bukan cara terbaik untuk mengatasi masalah pers (melainkan harus melalui pengadilan)

Relevan dengan prinsip ini, kita mengerti mengapa dulu seorang wartawan tabloid Monitor yang mengadakan jajak pendapat mengenai orang-orang yang dikagumi pembaca pada tahun 1990, dan menghasilkan Nabi Muhammad sebagai orang yang menempati urutan kesebelas, mengalami kejatuhan dalam citranya dan sulit untuk mendongkraknya lagi, setidaknya di mata umat Islam, meskipun ia telah memohon maaf. Pengalaman pahit yang dialami Washington Post di Amerika Serikat juga perlu di jadikan pelajaran. Surat kabar itu pernah membuat berita sensasional yang cukup buruk tentang seorang tokoh. Diketahui kemudian bahwa berita itu tidak benar. Sesuai dengan norma yang berlaku, sang tokoh diberi hak jawab, namun bantahannya tidak berhasil menghapus kesan buruk yang terlanjur menyebar dan tertanam di kalangan masyarakat karena berita bohong tersebut. Sang tokoh kemudian bangkrut, putus asa, dan melakukan bunuh diri.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts