Monday, November 14, 2016

Demokrasi Hampa Substansi

http://www.floresa.co/
Keikutsertaan kita dalam pemilihan umum merupakan salah satu bentuk partisipasi  minimal warga-negara dalam politik. Tetapi dampak yang diakibatkan apabila kita tidak ikut serta dalam pemilu adalah terhambat nya demokratisasi di bumi pertiwi. Bukankah demokrasi itu adalah suatu sistem yang berkedaulatan Rakyat yang berdasarkan asas Pancasila dan bercirikan jati diri bangsa. Tetapi jika rakyatnya sendiri tidak ikut dalam pemilu yang bisa di bilang salah satu partisipasi minimal warga-negara. Lantas mau dibawa ke mana sistem demokrasi kita jika warga-negaranya sendiri apatis dalam menentukan pemimpinnya untuk lima tahun ke depan. Inilah mengapa demokratisasi kita hanya sebatas prosedural, tanpa partisipasi demokrasi hampa substansi.

Kalau dibandingkan dengan negara-negara yang sudah mapan demokrasi nya, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu memang masih cukup tinggi tetapi mengingat Indonesia  sedang menapaki proses demokratisasi, kecenderungan menurunnya partisipasi pemilih patut menjadi perhatian. Dalam pandangan Anthony Giddens, di samping terdapat fenomena demokratisasi yang meluas, negara-negara yang sebelumnya otoriter atau totaliter berubah menjadi lebih demokratis, tetapi di negara-negara yang demokrasi nya sudah mapan justru terdapat fenomena disillusionment (kekecewaan) terhadap demokrasi (Giddens, 2000: 90)

Dalam pandangan Giddens tersebut kita dapat menyimpulkan betapa Ironis nya demokrasi Indonesia. Di satu pihak kita sudah lepas dari sistem otoriter dan menapaki demokrasi yang baru selama delapan belas tahun lamanya, tetapi di satu pihak lagi kita sebagai warga-negara merasa sudah kecewa dengan demokrasi yang kita bangun sendiri. Sungguh ironis, melihat kita tidak ikut andil dalam pemilu dan membuang hak suara kita. Lantas untuk apa reformasi itu kita perjuangkan? Bukankah reformasi itu terjadi karena kita sudah bosan dengan penindasan, dan menginginkan kesejahteraan dan mengembalikan kedaulatan Rakyat.

Faktanya jika melihat hasil pemilu 2004, pilpres, dan pilkada, terdapat kecenderungan meningkatnya para pemilih yang tidak menggunakan haknya. Bahkan dari pilkada-pilkada yang dilakukan sejak 1 Juni 2005, angka golput lebih tinggi pada pileg dan pilpres (LSM, 2007; Marijan, 2006). Inilah bentuk kekecewaan Rakyat terhadap pemimpin dan para wakilnya yang di beri amanat tetapi malah menyalahgunakan nya demi kepentingan pribadi dan golongan. Itulah sebabnya warga negara ‘kecewa’ dan ‘bosan’ dengan tingkah laku mereka dan melampiaskannya dengan apa yang disebut oleh kita Golongan Putih.

Oleh sebab itu kita seharusnya sebagai warga-negara bisa menjadi pengawas sekaligus penjaga roda pemerintahan dengan ikut berpartisipasi dalam pemilu yang luber-jurdil. Walaupun kita kecewa dan bosan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme para pemimpin kita, tetapi masih ada KPK yang siap memberantas mereka. Walaupun kita salah memilih pemimpin kita dan kecewa terhadapnya yang tidak menjalankan janji-janjinya tetapi kita harus percaya bahwa selama lima tahun berikutnya pasti ada harapan dalam pembaharuan pemimpin yang lebih baik. Karena saya percaya di luar sana terdapat pemimpin yang bisa diberi amanat dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, mungkin pemimpin itu bisa jadi adalah anak Anda, saudara Anda, orang tua Anda, atau bahkan bisa jadi diri Anda sendiri.

Oleh karena itu mari kita wujudkan iklim demokrasi yang lebih baik, dengan memulainya dengan ikut serta dalam pemilu, dan menggunakan hak pilih kita sebagai warga-negara. Jangan sia-siakan pilihan kita dengan acuh dan apatis terhadap masa depan Indonesia. Satu suara untuk Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya. smoga

Friday, June 10, 2016

MODEL-MODEL KOMUNIKASI

Seperti model pesawat terbang, model komunikasi kurang lebih adalah replika, kebanyakan sebagai model diagrammatic, dari dunia nyata. Oleh karena komunikasi bersifat dinamis, sebenarnya komunikasi sulit dimodelkan. Akan tetapi, seperti disarankan, penggunaan model untuk mengidentifikasi unsur-unsur tersebut berhubungan.

Sejauh ini terdapat ratusan model komunikasi yang telah dibuat para pakar. Kekhasan suatu model komunikasi juga dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan (pembuat) model tersebut, paradigma yang digunakan, kondisi teknologi, dan semangat zaman yang melingkupinya. Kita akan membahas sebagian kecil saja dari sekian banyak model komunikasi tersebut, khususnya model-model yang sangat populer.

Model S-R

Model stimulus-respons (S-R) adalah model komunikasi paling dasar. Model ini dipengaruhi oleh disiplin psikologi, khususnya yang beraliran behavioristik. Model tersebut menggambarkan hubungan stimulus-respons.



Model ini menunjukkan komunikasi sebagai proses aksi-reaksi yang sangat sederhana. Bila seorang lelaki berkedip kepada seorang wanita, dan kemudian wanita itu tersipu malu, atau bila saya tersenyum dan kemudian Anda membalas senyuman saya itulah pola S-R. jadi model S-R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respons dengan cara tertentu. Oleh karena itu Anda dapat menganggap proses ini sebagai pertukaran atau timbal-balik dan mempunyai banyak efek, setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi (communication act) berikutnya.

Sebagai contoh, ketika seseorang yang Anda kagumi menarik perhatian Anda tersenyum kepada Anda ketika berpapasan dijalan, boleh jadi Anda akan membalas senyumannya, karena Anda merasa senang. Pada gilirannya merasa mendapatkan sambutan, orang tadi bertanya kepada Anda, “Mau ke mana?” lalu Anda menjawab, “Mau kuliah.” Ia pun melambaikan tangan ketika berpisah, dan Anda membalas dengan lambaian tangan pula. Di kampus, masih mengenang peristiwa sebelumnya yang menyenangkan, Anda juga tersenyum-senyum kepada orang lain dan mendapatkan tanggapan dari teman Anda “Kok kamu tampak bahagia sekali, sih” begitulah seterusnya.

Pola S-R ini dapat pula berlangsung negatf, mislnya orang pertama menatap orang kedua dengan tajam, dan orang kedua balik menatap, nenunduk malu, memalingkan wajah, atau membenetak, “Apa lihat-lihat?” nantang ya?” atau orang pertama melotot dan orang kedua ketakutan.

Model S-R mengabaiakan komunikasi sebagai suatu proses, khususnya yang berkenaan dengan faktor manusia. Secara implisit ada asumsi dalam model S-R hanya berlaku (respons) manusia dapat diramalkan. Ringkasnya, komunikasi dianggap statis; manusia dianggap  berperilaku karena kekuatan dari luar (stimulus), bukan berdasarkan kehendak, keinginan, atau kemauan bebasnya. Model ini lebih sesuai bila diterapkan pada sistem pengendalian suhau udara alih-alih pada perilaku manusia

Tuesday, June 7, 2016

Komunikasi Bukan Untuk Menyelesaikan Masalah

PRINSIP 12


Banyak persoalan dan konflik antar manusia disebabkan oleh masalah komunikasi. Namun komunikasi bukanlah panasea (obat mujarab) untuk menyelesaikan persoalan atau konflik itu, karena persoalan atau konflik tersebut mungkin berkaitan dengan masalah struktural. Agar komunikasi efektif, kendala struktur ini harus juga diatasi. Misalnya, meskipun pemerintah bersusah payah menjalin komunikasi yang efektif dengan warga Aceh dan warga Papua, tidak mungkin usaha itu akan berhasil bila secara tidak adil, dengan merampas kekayaan alam mereka dan mengangkutnya ke pusat.

Komunikasi antar berbagai etnik, baik antara warga Tionghoa dengan warga pribumi, antara suku Madura dengan suku Dayak di Sambas (kalimantan), atau antara warga pendatang (bugis dan Makassar) dan warga pribumi di Ambon, juga tidak akan efektif bila terdapat kesenjangan ekonomi yang lebar di anta pihak-pihak tersebut, juga bila pihak-pihak tertentu tidak memperoleh akses atau mengalami diskriminasi dalam lapangan pekerjaan yang seharusnya juga terbuka bagi mereka. Hubungan antara warga Tionghoa dan warga pribumi akan semakin efektif bila warga Tionghoa pun diperbolehkan menjadi pegawai negeri dan anggota TNI, tidak hanya sebagai pedagang atau pegawai bank Swasta Seperti yang terjadi selama ini.

Komunikasi Bersifat Irreversible.

PRINSIP 11


Suatu perilaku adalah suatu peristiwa. Oleh karena merupakan peristiwa, perilaku berlangsung dalam waktu dan tidak dapat “diambil kembali.” Bila Anda memukul wajah seseorang dan meretakkan hidungnya, peristiwa tersebut dan konsekuensinya telah “terjadi”; Anda tidak dapat memutar kembali jarum jam dan berpura-pura seakan-akan hal itu tidak terjadi. Paling-paling Anda akan menampilkan perilaku tambahan dengan berkata misalnya, Maafkan Saya. Saya tidak sengaja melakukannya” perilaku baru (meminta maaf) tidak mengubah perilaku sebelumnya (pemukulan wajah). Alih-alih, permintaan maaf itu menambahkan suatu peristiwa baru kedalam suatu urutan peristiwa yang sedang berlangsung. Maka hal itu menjadi bagian urutan yang mungkin mendefinisikan ulang peristiwa sebelumnya sehingga dimaknai secara berbeda. Jadi Anda dapat mengubah “realitas” semantik (makna yang Anda berikan pada peristiwa itu), namun tidak sama sekali efek atau konsekuensinya. Anda tidak dapat mengubah peristiwa yang sebenarnya. Anda dapat meminta maaf, namun hidung orang itu tetap retak.

Senada dengan peristiwa di atas, dalam komunikasi, sekali Anda mengirim pesan, Anda tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak, apalagi menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali. Sama halnya dengan ketika Anda menembakkan sebutir peluru dari sepucuk pistol atau melepaskan anak panah dari busurnya, Anda tidak dapat menarik kembali peluru atau anak panah tersebut. Hal ini terutama terasakan sekali bila Anda mengirimkan pesan yang menyinggung perasaan orang lain. Meskipun orang itu memaafkan Anda, perasaannya terhadap Anda mungkin sekali tidak persis sama dibandingkan dengan sebelum Anda mengirimkan pesan tersebut. Orang inggris punya ungkapan “To forgive but not to forget” (kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, tapi takkan dapat melupakannya). Itu sebabnya, mengapa sebagian suami atau istri yang berselingkuh dengan orang lain lalu meminta maaf kepada pasangan hidupnya, pasangannya itu tetap memutuskan untuk bercerai juga meskipun ia memaafkan si penyeleweng itu. Ketika seorang pengacara (pembela) meminta hakim untuk mengabaikan pernyataan jaksa mengenai terdakwa dalam suatu sidang pengadilan, hakim tidak bisa mengabaikan pernyataan jaksa tersebut, karena pernyataan itu telah disampaikan. Para pemimpin negara yang menyalahgunakan kekuasaan dan kemudian jatuh dari kekuasaan akibat ulah mereka, seperti Ferdinand Marcos dan Soeharto, dan menimbulkan efek tertentu berupa perubahan persepsi dan sikap masyarakat terhadap para pemimpin itu, pengaruh itu tidak bisa lagi ditiadakan sama sekali. Citra Marcos dan Soeharto yang telah terpuruk itu sulit diperbaiki kembali.

Sifat irreversible ini adalah implikasi dari komunikasi sebagai proses yang selalu berubah, prinsip ini sejatinya menyadarkan kita bahwa kita harus berhati-hati untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, sebab, yaitu tadi, efeknya tidak bisa ditiadakan sama sekali, meskipun kita berupaya meralat nya, apalagi bila penyampaian pesan itu dilakukan untuk pertama kalinya. Ketika Anda tampil pertama kali untuk melakukan presentasi atau pidato, Anda harus mempersiapkannya secara lebih hati-hati, karena kesan khalayak terhadap kinerja Anda akan cenderung sulit dihilangkan sama sekali berdasarkan prinsip ini. Curtis et al, mengatakan bahwa kesan pertama itu cenderung abadi. Dalam kaitan ini, kita bisa memahami peribahasa “Sekali lancung keujian, seumur hidup orang tak percaya.” Seseorang yang secara sengaja membohongi orang lain, sulit bagi orang yang dibohongi itu untuk mempercayai si pembohong 100% seperti sebelum kebohongan itu terjadi.

Dalam komunikasi massa, sekali wartawan menyiarkan berita yang tanpa disengaja mencemarkan nama baik seseorang, maka nama baik orang itu sulit dikembalikan lagi ke posisi semula, meskipun surat kabar, majalah, radio atau televisi itu telah meminta maaf dan memuat hak jawab sumber berita secara lengkap. Ada saja pihak yang tetap menaruh prasangka buruk kepada sumber berita tadi, karena mereka tidak mengetahui bahwa nama baik sumber berita sudah dipulihkan melalui permohonan maaf media cetak dan media elektronik yang bersangkutan atau pemuatan hak jawab sumber berita secara lengkap, bahkan bila hal itu misalnya dicetak satu halaman penuh pada halaman di mana berita pencemaran nama baik sumber berita dimuat sebelumnya. Dalam konteks ini, kita bisa mengerti bila pengacara kondang Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa penggunaan hak jawab bukan cara terbaik untuk mengatasi masalah pers (melainkan harus melalui pengadilan)

Relevan dengan prinsip ini, kita mengerti mengapa dulu seorang wartawan tabloid Monitor yang mengadakan jajak pendapat mengenai orang-orang yang dikagumi pembaca pada tahun 1990, dan menghasilkan Nabi Muhammad sebagai orang yang menempati urutan kesebelas, mengalami kejatuhan dalam citranya dan sulit untuk mendongkraknya lagi, setidaknya di mata umat Islam, meskipun ia telah memohon maaf. Pengalaman pahit yang dialami Washington Post di Amerika Serikat juga perlu di jadikan pelajaran. Surat kabar itu pernah membuat berita sensasional yang cukup buruk tentang seorang tokoh. Diketahui kemudian bahwa berita itu tidak benar. Sesuai dengan norma yang berlaku, sang tokoh diberi hak jawab, namun bantahannya tidak berhasil menghapus kesan buruk yang terlanjur menyebar dan tertanam di kalangan masyarakat karena berita bohong tersebut. Sang tokoh kemudian bangkrut, putus asa, dan melakukan bunuh diri.

Monday, June 6, 2016

Komunikasi Bersifat Prosesual, Dinamis, dan Transaksional.

PRINSIP 10


Seperti juga waktu dan eksistensi, komunikasi tidak mempunyai awal dan tidak mempunyai akhir, melainkan merupakan proses yang sinambung (continuous). Bahkan kejadian yang sangat sederhana pun, seperti “Tolong ambilkan garam” melibatkan rangkaian kejadian yang rumit bila pendengar memenuhi permintaan tersebut. Untuk lebih memudahkan pengertian, kita dapat mengatakan bahwa peristiwa itu dimulai ketika orang A meminta garam dan berakhir ketika orang B memberikan garam itu. Namun kita tidak dapat mengukur peristiwa itu hanya berdasarkan apa yang terjadi antara permintaan akan garam dan pemberian garam itu. Baik A atau B telah merujuk pada pengalaman masa lalu mereka untuk merumuskan dan menafsirkan pesan serta menanggapinya secara layak.

Contoh lain, perhatikan seseoang yang menyampaikan pidato. Apakah komunikasinya terjadi saat pembicara berdiri di belakang podium? Ketika ia memasuki ruangan? Atau ketika ia menulis pembicaraannya? Dan kapan komunikasi itu berakhir? Kecuali bila khalayak melupakan pesan si pembicara begitu pembicara selesai dengan pidatonya, khalayak boleh jadi terus memberi makna terhadap pidatonya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Dapatkah kita mengatakan bahwa komunikasi berhenti pada saat pembicara juga berhenti berpidato?

Komunikasi sebagai proses dapat dianalogikan dengan pernyataan Heraclitus enam abad sebelum Masehi bahwa “seorang manusia tidak akan pernah melangkah di sungai yang sama dua kali” pada saat yang kedua itu, manusia itu berbeda, dan begitu juga sungainya. Ketika kita menyeberangi sungai untuk kedua kali, ketiga kali dan seterusnya pada hari yang lain, maka sesungguhnya penyeberangan itu bukanlah fenomena yang sama. Kita sendiri sudah berubah, dari segi usia lebih tua, dari pengalaman juga lebih meningkat, sungai itu pun sudah berubah. Air yang kita seberangi pun sudah mengalir entah ke mana. George Bernard Shaw berkata “saru-satunya orang yang  perilakunya waras adalah penjahit ku: ia melakukan pengukuran yang baru setiap kami bertemu, sementara orang lain mengukur ku dengan pengukur lama dan mengharapkan pengukuran lama itu sesuai untukku “T.S. Eliot dalam The Cocktail Party menulis, “apa yang kita ketahui mengenai orang lain hanyalah memori kita mengenai saat-saat kita mengenalnya. Dan orang itu telah berubah sejak itu. Pada setiap pertemuan kita bertemu dengan orang asing.” Kota-kota dan orang-orang berubah, meskipun kata-kata (nama-nama) yang kita gunakan untuk merujuk pada mereka biasanya tetap sama. Fakta bahwa kata-kata tidak berubah dalam perjalanan waktu sering membutakan kita terhadap fakta bahwa realitas sudah berubah. Seseorang mungkin mendambakan selama 20 tahun untuk menghabiskan masa pensiunnya di suatu lembah yang menyenangkan, suatu kota yang ia kunjungi, dan kemudian menemukan tempat itu telah menjadi suatu kota besar yang sibuk. Dunia berubah lebih cepat daripada kata-kata, namun kita tetap menggunakan kata-kata yang agak usang dan tidak lagi menggambarkan dunia tempat kita tinggal.

Jadi dalam kehidupan manusia, tidak pernah saat yang sama datang dua kali. Pandangan serupa juga dapat diterapkan pada fenomena berikut ini. Ketika Anda menonton sebuah film Titanic misalnya untuk kedua kalinya keesokan harinya pada jam yang sama dan duduk di kursi yang sama sekalipun, maka hakikatnya film itu bukanlah film yang sama, karena film yang Anda tonton untuk kedua kalinya itu adalah film yang pernah Anda tonton sebelumnya, sedangkan film yang Anda tonton pertama kalinya adalah film yang baru sama sekali, sehingga pengaruh tontonan kedua itu bagi Anda pasti berbeda dengan pengaruh tontonan pertama. Begitu jugalah komunikasi; komunikasi terjadi sekali waktu dan kemudian menjadi bagian dari sejarah kita.

Dalam proses komunikasi itu, para peserta komunikasi saling mempengaruhi, seberapa kecil pun pengaruh itu, baik lewat komunikasi verbal ataupun lewat komunikasi nonverbal. Pernyataan sayang, pujian, ucapan selamat, penyesalan, atau kemarahan akan membuat sikap atau orientasi mitra komunikasi kita berubah terhadap kita, dan pada gilirannya perubahan orientasinya itu membuat orientasi kita juga berubah terhadapnya, dan begitu seterusnya. Menanggapi salah satu elemen komunikasi, misalnya pesan verbal saja dengan mengabaikan semua elemen lainnya, menyalahi gambaran komunikasi yang sebenarnya sebagai proses yang sinambung dan dinamis yang kita sebut transaksi. Transaksi menunjukkan bahwa para peserta komunikasi saling berhubungan, sehingga kita tidak dapat mempertimbangkan salah satu tanpa mempertimbangkan yang lainnya.

Pernyataan bahwa komunikasi telah terjadi sebenarnya bersifat artifisial dalam arti bahwa kita mencoba menangkap suatu gambaran diam (statis) dari proses tersebut dengan maksud untuk menganalisis kerumitan peristiwa tersebut, dengan menonjolkan komponen-komponen atau aspek-aspeknya yang penting. Semua model komunikasi sebenarnya merupakan “pemotretan” atas gambaran diam dari proses tersebut.

Implikasi dari komunikasi sebagai proses yang dinamis dan transaksional  adalah bahwa para peserta komunikasi berubah (dari sekadar berubah pengetahuan hingga berubah pandangan dunia dan perilakunya). Ada orang yang perubahannya sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, tetapi perubahan akhirnya (secara kumulatif) cukup besar. Namun ada juga orang yang berubah secara tiba-tiba, melalui cuci otak atau konversi agama, misalnya dari seorang nasionalis menjadi komunis, atau dari seorang Hindu menjadi seorang Kristen atau Muslim.

Implisit dalam proses komunikasi sebagai transaksi ini adalah proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) kedua proses itu, meskipun secara teoretis dapat dipisahkan, sebenarnya terjadi serempak, bukan bergantian. Keserempakan inilah yang menandai komunikasi sebagai transaksi. Jadi, kita tidak menyandi pesan, lalu menunggu untuk menyandi balik respons orang lain. Kita melakukan dua kegiatan itu pada saat yang (hampir) bersamaan ketika kita berkomunikasi.

Sebetulnya, para peserta komunikasi merupakan sumber informasi, dan masing-masing memberi dan menerima pesan secara serentak. Lebih lanjut lagi, keduanya pada saat yang sama saling mempengaruhi. Katakanlah komunikator 1yang pertama kali menyampaikan pesan dan komunikator 2 merupakan orang pertama yang menerima pesan, tetapi hamapir semua aktivitas komunikasi kita sehari-hari berlangsung spontan dan nyaris tanpa struktur sehingga kedua peran tersebut bertumpang tindih.

Jadi, ketika Anda tiba di kampus atau di kantor, apakah Anda berbicara kepada seseorang ataukah seseorang berbicara kepada Anda? Mungkin Anda sama sekali tidak ingat lagi, sebab siapa pun yang memulai pembicaraan, itu hanyalah masalah kesempatan semata. Pada pokoknya, Anda boleh saja menyebut diri Anda pengirim atau penerima, sebab Anda melakukan keduanya secara serentak. Bersamaan dengan saat Anda berbicara, Anda mengamati perilaku lawan bicara Anda serta bereaksi atas apa yang Anda amati. Hal yang sama terjadi pula pada orang lain ketika ia berinteraksi dengan anda.

Pandangan dinamis dan transaksional memberikan penekanan bahwa Anda mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi. Pernahkah Anda terlibat dalam perdebatan sengit sehingga semakin keras Anda katakan betapa marahnya Anda, semakin marah pula Anda. Hal sebaliknya dapat pula terjadi. Bila seorang pria mengatakan kepada seorang gadis bahwa ia sangat memperhatikannya, apa yang akan terjadi, bagaimanakah hasilnya? Umumnya, sang pria merasa bertambah dekat pada si gadis, meskipun bisa saja si gadis tidak membalas perhatiannya. Penelitian menunjukkan, bahwa bila Anda berusaha membujuk orang lain, maka seringkali Anda menjadi orang yang paling terbujuk. Alcoholics Anonymous (organisasi penampung pecandu alkohol yang ingin sembuh di Amerika Serikat) telah mempraktikkan prinsip ini selama bertahun-tahun. Orang yang mengangkat suara di tengah suatu pertemuan serta membujuk orang lain agar tidak mabuk, pada saat yang sama berusaha keras untuk membujuk dirinya untuk tidak mabuk. Jadi, perspektif transaksioanl memberi penekanan pada dua sifat peristiwa komunikasi, yaitu serentak dan saling mempengaruhi. Para pesertanya menjadi saling bergantung, dan komunikasi mereka hanya dapat dianalisis berdasarkan konteks peristiwanya. 

Komunikasi Bersifat Non sekuensial

PRINSIP 9


Meskipun terdapat banyak model komunikasi linier satu arah, sebenarnya komunikasi manusia dalam bentuk dasarnya (komunikasi tatap muka) bersifat dua arah. Ketika seseorang berbicara kepada seseorang lainnya, atau kepada sekelompok orang seperti dalam rapat atau kuliah, sebetulnya komunikasi itu berjalan dua arah, karena orang-orang yang kita anggap sebagai pendengar atau penerima pesan sebenarnya juga menjadi “ pembicara” atau pemberi pesan kepada saat yang sama, yaitu lewat perilaku nonverbeal mereka. Ketika seorang manajer berbicara kepada para pegawainya dalam suatu rapat, maka pada detik ketika manajer itu berbicara, sebenarnya para pegawai itu menyampaikan pesan, misalnya dalam bentuk  anggukan kepala sebagai tanda mengerti atau setuju, ekspresi wajah yang serius sebagai tanda kesungguhan mendengarkan pembicara, kening berkerut sebagai tanda ketidakmengertian, tatapan mata atau senyuman ( seorang wanita) sebagai tanda ketertarikan atau menggoda, menguap sebagai tanda bosan atau mengantuk, atau  menggigit jari sebagai tanda gelisah.

Beberapa pakar komunikasi mengakui sifat sirkuler atau dau arah komunikasi ini, misalnya Frank Dance, Kincaid dan Schramm yang mereka sebut komunikasi antarmanusia yang memusat, dan Tubbs yang menggunakan komunikator 1 dan komunikator 2 untuk kedua pihak yang berkomunikasi tersebut. Komunikasi sirkuler ditandai dengan beberapa hal berikut.

1.      Orang-orang yang berkomunikasi dianggap setara, misalnya komunikator A dan komunikator B, bukan pengirim (sender) dan penerima (receiver), sumber (source) dan sasaran (destination), atau yang sejenisnya. Dengan kata lain merek mengirim dan menerima pesan pada saat yang sama.
2.      Proses komunikasi berjalan timbal balik (dua-arah), karena itu modelnya pun tidak lagi ditandai dengan suatu garis lurus bersifat linier (satu-arah).
3.      Dalam praktiknya, kita tidak lagi membedakan pesan dengan umpan balik, karena pesan komunikator A sekaligus umpan balik bagi komunikator B, dan sebaliknya  umpan balik B sekaligus merupakan pesan B, begitu seterusnya.
4.      Komunikasi yang terjadi sebenarnya jauh begitu rumit, misalnya komunikasi antara dua orang juga sebenarnya secara simultan melibatkan komunikasi dengan diri sendiri (berpikir) sebagai mekanisme untuk menanggapi pihak lainnya. Seperti dikatakan Samovar dan Porter, sapaan “Halo” kepada seorang kawan saja melibatkan komponen-komponen yang beroperasi hampir pada saat yang sama, mulai dari proses kimiawi dalam otak kita hingga gerakan bibir kita untuk mengeluarkan bunyi. Penyaringan beberapa variabel tertentu otomatis mengabaikan variabel-variabel lainnya yang tidak terhitung banyaknya. Bahasa manusia tidak memadai untuk menguraikan kerumitan fenomena itu. Karena itu kita menyandarkan diri pada definisi, konsep, model atau sekedar teori yang artifisial untuk menggambarkan proses tersebut.


Meskipun sifat sirkuler digunakan untuk  menandai proses komunikasi, unsur-unsur proses komunikasi sebenarnya tidak ter pola secara kaku. Pada dasarnya, unsur-unsur tersebut tidak berada dalam suatu tatanan yang bersifat linier, sirkuler, helikal atau tatanan lainnya. Unsur-unsur proses komunikasi boleh jadi beroperasi dalam suatu tatanan tadi, tetapi mungkin pula, setidaknya sebagian, dalam suatu tatanan yang acak. Oleh karena itu, sifat non sekuensial alih-alih sirkulertampaknya lebih tepat digunakan untuk menandai proses komunikasi.

Sunday, June 5, 2016

Semakin Mirip Latar Belakang Sosial-budaya Semakin Efektiflah Komunikasi

PRINSIP 8:

Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi). Misalnya, penjual yang datang ke rumah untuk mempromosikan barang dianggap telah melakukan komunikasi efektif bila akhirnya tuan rumah membeli barang yang ia tawarkan, sesuai dengan yang diharapkan penjual itu, dan tuan rumah pun merasa puas dengan barang yang dibelinya.

Dalam kenyataannya, tidak pernah ada dua manusia yang persis sama, meskipun mereka kembar yang dilahirkan dan diasuh dalam keluarga yang sama, diberi makanan yang sama dan dididik dengan cara yang sama. Namun kesamaan dalam hal-hal tertentu misalnya agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan atau tingkat ekonomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik dan pada gilirannya karena kesamaan tersebut komunikasi mereka menjadi lebih efektif. Kesamaan bahasa khususnya akan membuat orang-orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memahami bahasa yang sama.

Seorang lulusan universitas bisa saja menikah dengan seorang lulusan SD, seorang putih dengan seorang kulit hitam namun pasangan-pasangan tersebut harus berupaya lebih keras untuk menyesuaikan diri satu sama lain agar komunikasi mereka berlangsung efektif. Tanpa kesediaan untuk saling memahami dan menerima perbedaan tersebut, pernikahan mereka akan kandas di tengah jalan. 

Makna suatu pesan, baik verbal ataupun nonverbal pada dasarnya terikat budaya. Makna penuh suatu humor dalam bahasa daerah hanya akan dapat ditangkap oleh penutur asli bahasa bersangkutan. Penutur asli akan tertawa terbahak-bahak mendengar humor tersebut, sementara orang-orang lain mungkin akan bengong meskipun mereka secara harfiah memahami kata-kata dalam humor tersebut.

Saturday, June 4, 2016

Komunikasi Bersifat Sistemik

PRINSIP 7:

Setiap individu adalah suatu sistem yang hidup (a living system). Organ-organ dalam tubuh kita saling berhubungan. Kerusakan pada mata dapat membuat kepala kita pusing. Bahkan unsur diri kita bersifat jasmani juga berhubungan dengan unsur kita yang bersifat rohani. Kemarahan membuat jantung kita berdetak lebih cepat dan berkeringat.

Setidaknya dua sistem dasar beroperasi dalam transaksi komunikasi itu: Sistem Internal dan Sistem Eksternal. Sistem internal adalah seluruh sistem nilai yang dibawa oleh individu ketika ia berpartisipasi dalam komunikasi, yang ia cerap selama sosialisasi nya dalam berbagai lingkungan sosialnya (keluarga, masyarakat setempat, kelompok suku, kelompok agama, lembaga pendidikan, kelompok sebaya, tempat kerja, dan sebagainya). Istilah-istilah lain yang identik dengan sistem internal ini adalah kerangka rujukan (frame of reference), bidang pengalaman (field of experience), struktur kognitif (cognitive structure), pola pikir (thinking patterns), keadaan internal (internal states), atau sikap (attitude). Pendeknya, sistem internal ini mengandung semua unsur yang membentuk individu yang unik, termasuk ciri-ciri kepribadiannya, intelegensi, pendidikan, pengetahuan, agama, bahasa, motif, keinginan, cita-cita, dan semua pengalaman masa lalunya, yang pada dasarnya tersembunyi. Kita hanya dapat menduganya lewat kata-kata yang ia ucapkan dan atau perilaku yang ia tunjukkan. Sering kita tidak menyadari sistem internal kita tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu yang harus demikian adanya, sehingga kita tidak pernah mempersoalkannya lagi. Dalam konteks ini, setiap individu adalah suatu sistem internal. Jumlah sistem internal ini adalah sebanyak individu yang ada.

Berbeda dengan sistem internal, sistem eksternal terdiri dari unsur-unsur dalam lingkungan di luar individu, termasuk kata-kata yang ia untuk berbicara, isyarat peserta komunikasi, kegaduhan di sekitarnya, penataan ruangan, cahaya, dan temperatur ruangan. Elemen-elemen ini adalah stimuli publik yang terbuka bagi setiap peserta komunikasi dalam setiap transaksi komunikasi. Akan tetapi, karena masing-masing orang mempunyai sistem internal yang berbeda, maka setiap orang tidak akan memiliki bidang perceptual yang sama, meskipun mereka duduk di ruang yang sama, duduk di kursi yang sama dan menghadapi situasi yang sama. Misalnya, bagi orang yang baru patah hati, nyanyian sentimental yang ia dengarkan di ruangan itu sangat mengharu-birunya dan membuatnya menitikkan airmata, sementara bagi orang di sampingnya lagu itu bahkan menyebalkannya karena bersifat cengeng. Maka dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah produk dari perpaduan antara sistem internal dan sistem eksternal tersebut. Lingkungan dan objek mempengaruhi komunikasi kita, namun persepsi kita atas lingkungan kita juga mempengaruhi cara kita berperilaku.

Lingkungan di mana para peserta komunikasi itu berada merupakan bagian dari suatu sistem lain yang lebih besar. Misalnya, rumah kita, sekolah kita, dan tempat kerja kita merupakan bagian-bagian dari suatu lingkungan berupa masyarakat kota, yang kesemuanya saling mempengaruhi. Kekecewaan yang kita peroleh karena gagal ujian, atau di tempat kerja karena tidak memperoleh bonus besar yang dijanjikan perusahaan, tidak bisa kita hilangkan begitu saja ketika kita berada di rumah kita

Komunikasi Melibatkan Prediksi Peserta Komunikasi

PRINSIP 6:

Ketika orang-orang berkomunikasi, mereka meramalkan efek perilaku komunikasi mereka. Dengan kata lain, komunikasi juga terikat oleh aturan atau tatakrama. Artinya, orang-orang memilih strategi tertentu berdasarkan bagaimana orang yang menerima pesan akan merespons. Prediksi ini tidak selalu disadari, dan sering berlangsung cepat. Kita dapat memprediksi perilaku komunikasi orang lain berdasarkan peran sosialnya. Anda tidak dapat menyapa orang tua Anda atau dosen Anda dengan “Kamuatau “Elu,” kecuali bila Anda bersedia menerima risikonya misalnya dicap sebagai orang yang kurang ajar, Anda juga tahu apa yang harus Anda katakan (“Terima kasih”) ketika Anda menerima hadiah dari orang lain atau ketika Anda menyenggol seseorang tanpa sengaja (“Maaf”). Anda juga tahu aturan jam berapa Anda harus menelepon atau bertamu kepada seseorang atau seberapa lama toleransi keterlambatan Anda ketika Anda bertemu dengan seseorang.

Prinsip ini mengasumsikan bahwa hingga derajat tertentu ada keteraturan pada perilaku komunikasi manusia. Dengan kata lain, perilaku manusia, minimal secara parsial, dapat diramalkan. Kalau semua perilaku manusia itu bersifat acak, selalu tanpa diduga, hidup kita akan sulit. Setiap bangun tidur, kita akan merasa cemas dan takut, karena kita tidak dapat menduga apa yang akan orang lakukan terhadap kita. Bagaimanapun, ketika Anda memasuki sebuah toko, Anda dapat menduga bagaimana perilaku verbal dan nonverbal si pelayan toko yang tidak Anda kenal. Ia tidak mungkin tiba-tiba meremas-remas pantat Anda. Juga, tidak mungkin orang tua, suami atau istri Anda tiba-tiba menendang Anda begitu Anda tiba di rumah sore hari, padahal pagi hari sebelum Anda berangkat kuliah atau kerja Anda pamit kepada mereka dengan hangat.

Friday, June 3, 2016

Komunikasi Terjadi dalam Konteks Ruang dan Waktu

PRINSIP 5:

makna pesan juga bergantung pada konteks fisik dan ruang (termasuk iklim, suhu, intensitas cahaya, dan sebagainya), waktu, sosial, dan psikologis. Topik-topik yang lazim dipercakapkan di rumah, tempat kerja, atau tempat hiburan seperti “lelucon,” “acara televisi,” “mobil,” “bisnis,” atau “perdagangan” terasa kurang sopan bila dikemukakan di masjid. Tertawa terbahak-bahak atau memakai pakaian dengan warna menyala, seperti merah, sebagai perilaku nonverbal yang wajar dalam suatu pesta di persepsi kurang beradab bila hal itu ditampakkan dalam acara pemakaman. Seorang tamu yang diterima penghuni di halaman rumah menunjukkan tingkat penerimaan yang berbeda bila dibandingkan dengan penerimaan di teras, di ruang tamu, ruang tengah, dan di kamar pribadi. Seorang kiai NU pernah mengemukakan: “Bila ia kawan saya, saya akan menerimanya di dalam rumah; bila ia orang yang belum saya kenal, saya akan menerimanya di teras, dan bila ia ‘musuh’ saya, saya akan menerimanya di pekarangan.”

Waktu juga mempengaruhi makna terhadap suatu pesan. Dering telepon pada malam atau dini hari akan di persepsi kan lain bila dibandingkan dengan dering telepon pada siang hari. Dering telepon pertama itu mungkin berita sangat penting (darurat), misalnya untuk mengabarkan orang yang sakit keras. kecelakaan, atau meninggal dunia, atau upaya orang jahat untuk mengetes apakah di rumah ada orang atau tidak. Kunjungan seorang mahasiswa kepada teman kuliahnya yang wanita pada malam minggu akan dimaknai lain dibandingkan dengan kedatangannya pada malam biasa

Kehadiran orang lain, sebagai konteks sosial juga akan mempengaruhi orang-orang yang berkomunikasi. Misalnya, dua orang yang diam-diam berkonflik akan merasa canggung bila tidak ada orang sama sekali di dekat mereka. Namun hubungan mereka akan sedikit mencair bila ada satu atau beberapa orang di antara mereka. Bahkan mereka bisa saling menyapa lagi seolah-olah tidak ada perselisihan di antara mereka. Pengaruh konteks waktu dan konteks sosial terlihat pada suatu keluarga yang tidak pernah tersenyum atau menyapa siapa pun pada hari-hari biasa, tetapi mendadak menjadi ramah pada hari lebaran. Penghuni rumah membuka pintu rumah mereka lebar-lebar, dan tamu untuk mencicipi makanan dan minuman yang mereka sediakan.

Suasana psikologis peserta komunikasi tidak pelak mempengaruhi juga suasana komunikasi. Komentar seorang istri mengenai kenaikan harga kebutuhan rumah tangga dan kurangnya uang belanja pemberian suaminya yang mungkin akan ditanggapi dengan kepala dingin oleh suaminya dalam keadaan biasa atau keadaan santai, boleh jadi akan membuat sang suami berang bila istri menyampaikan komentar tersebut saat suami baru pulang kerja dan baru dimarahi habis-habisan oleh atasannya hari itu.

Komunikasi Berlangsung dalam Berbagai Tingkat Kesengajaan.

PRINSIP 4:

Komunikasi Berlangsung dalam Berbagai Tingkat Kesengajaan.

Komunikasi dilakukan dalam berbagai tingkat kesengajaan, dari komunikasi yang tidak disengaja sama sekali (misalnya ketika Anda melamun sementara orang memperhatikan Anda) hingga komunikasi yang benar-benar direncanakan dan disadari (ketika Anda menyampaikan pidato). Kesengajaan bukanlah syarat untuk terjadinya komunikasi. Meskipun kita sama sekali tidak bermaksud menyampaikan pesan kepada orang lain, perilaku kita potensial ditafsirkan orang lain. Kita tidak dapat mengendalikan orang lain untuk menafsirkan atau tidak menafsirkan perilaku kita. Membatasi komunikasi sebagai proses yang disengaja adalah menganggap komunikasi sebagai instrumen, seperti dalam persuasi. 

Dalam berkomunikasi, biasanya kesadaran kita lebih tinggi dalam situasi khusus daripada dalam situasi rutin, misalnya ketika Anda sedang diuji secara lisan oleh dosen Anda atau ketika Anda berdialog dengan orang asing yang berbahasa Inggris dibandingkan dengan ketika Anda bersenda gurau dengan keluarga atau kawan-kawan Anda. Akan tetapi, konsep “kesengajaanini sebenarnya pelik juga. Misalnya, apakah ketika seorang dosen memberikan kuliah “Pengantar Ilmu Komunikasi,” ia betul-betul menyengaja nya, sehingga dari menit ke menit ia tahu persis kata-kata yang akan diucapkannya, intonasi nya, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak-gerik anggota tubuh yang akan ditampilkannya.

Dalam komunikasi sehari-hari, terkadang kita mengucapkan pesan verbal yang tidak kita sengaja. Namun lebih banyak lagi pesan nonverbal yang kita tunjukkan tanpa kita sengaja. Misalnya, seorang mahasiswa bisa tanpa sengaja bertolak pinggang dengan sebelah lengannya ketika presentasi di hadapan suatu tim dosen, sebagai kompensasi dari kegugupan nya, yang boleh jadi di persepsi oleh tim dosen itu sebagai wujud kegugupan atau kekurangsopanan atau bahkan keangkuhan. Atau, seorang mahasiswi berpakaian ketat sehingga menampakkan lekukan bagian-bagian tertentu tubuhnya ketika ia maju ke depan untuk menyerahkan hasil ujian kepada dosen pengawas, yang diikuti dengan pandangan mata beberapa mahasiswa yang menafsirkan cara ia berpakaian tersebut, misalnya bahwa mahasiswi itu nakal, murahan, berani, malu, penggoda, dan sebagainya. Perilaku nonverbal lainnya, seperti postur tubuh yang tegap, cara berjalan yang mantap ketika menuju podium untuk berpidato, jabatan tangan yang kuat, gerakan tangan yang bebas saat berbicara, kontak mata, dan cara berpakaian yang rapi, boleh jadi tanpa sengaja mengkomunikasikan suatu pesan, rasa percaya diri. Sebaliknya, orang yang jabatannya tangannya lemah, badan membungkuk, kepala menunduk, suara pelan, dan berpakaian kusut dapat di persepsi sebagai orang yang kurang percaya-diri, meskipun belum tentu anggapan itu 100% benar.

Anda boleh saja menghabiskan waktu berhari-hari untuk mempersiapkan pidato dan melatih pidato tersebut di depan cermin atau bahkan dengan meminta komentar teman Anda, agar Anda pada saatnya dipandang orang yang kredibel. Akan tetapi, tangan Anda yang berada di saku, atau berulang-ulang mengetuk-ngetuk podium, atau kaki Anda yang berjalan hilir mudik di panggung atau suara Anda yang terputus-putus, atau mata Anda yang menatap langit-langit atau dinding ruangan ketimbang khalayak, tanpa Anda sadari sebenarnya menyampaikan pesan bahwa Anda agak grogi dalam penyampaian pidato itu. Bukankah pendengar punya hak penuh untuk menafsirkan seluruh perilaku Anda? Anda tidak dapat memperingatkan khalayak untuk mendengarkan hanya kata-kata Anda seraya mengabaikan hal-hal lain yang Anda lakukan selain berbicara. Tidak berarti bahwa semua perilaku otomatis menyampaikan pesan. Akan tetapi, setiap perilaku mungkin menyampaikan pesan. Komunikasi telah terjadi bila penafsiran telah berlangsung, terlepas dari apakah Anda menyengaja perilaku tersebut atau tidak

Kadang-kadang komunikasi yang disengaja dibuat tampak tidak disengaja. Banyak pengacara menganjurkan klien mereka untuk berpakaian dengan cara tertentu di ruang pengadilan. Misalnya, dalam suatu pengadilan di Amerika Serikat, Patty Hearst mengenakan pakaian tua dan konservatif, yang meliputi blus yang besar dan longgar, sesuai dengan perintah pengacaranya F. Lee Bailey. Pakaian tua digunakan untuk melunakkan fakta bahwa ia kaya, dan blus yang kebesaran digunakan untuk memberikan kesan bahwa berat badannya melorot untuk menumbuhkan simpati para juri.

Jadi, niat atau kesengajaan bukanlah syarat mutlak bagi seseorang untuk berkomunikasi. Dalam komunikasi antara orang-orang berbeda budaya ketidak sengajaan berkomunikasi ini lebih relevan lagi untuk kita perhatikan. Banyak kesalahpahaman antarbudaya sebenarnya disebabkan oleh perilaku seseorang yang tidak disengaja yang di persepsi, ditafsirkan dan di respons oleh orang dari budaya lain. Tindakan memperlihatkan sol sepatu di Korea, atau menyentuh wanita di Arab Saudi yang diperkenalkan kepada Anda, yang sebenarnya tidak Anda sengaja, dapat menyampaikan pesan negatif yang menghambat pertemuan tersebut

Popular Posts