Monday, November 14, 2016

Demokrasi Hampa Substansi

http://www.floresa.co/
Keikutsertaan kita dalam pemilihan umum merupakan salah satu bentuk partisipasi  minimal warga-negara dalam politik. Tetapi dampak yang diakibatkan apabila kita tidak ikut serta dalam pemilu adalah terhambat nya demokratisasi di bumi pertiwi. Bukankah demokrasi itu adalah suatu sistem yang berkedaulatan Rakyat yang berdasarkan asas Pancasila dan bercirikan jati diri bangsa. Tetapi jika rakyatnya sendiri tidak ikut dalam pemilu yang bisa di bilang salah satu partisipasi minimal warga-negara. Lantas mau dibawa ke mana sistem demokrasi kita jika warga-negaranya sendiri apatis dalam menentukan pemimpinnya untuk lima tahun ke depan. Inilah mengapa demokratisasi kita hanya sebatas prosedural, tanpa partisipasi demokrasi hampa substansi.

Kalau dibandingkan dengan negara-negara yang sudah mapan demokrasi nya, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu memang masih cukup tinggi tetapi mengingat Indonesia  sedang menapaki proses demokratisasi, kecenderungan menurunnya partisipasi pemilih patut menjadi perhatian. Dalam pandangan Anthony Giddens, di samping terdapat fenomena demokratisasi yang meluas, negara-negara yang sebelumnya otoriter atau totaliter berubah menjadi lebih demokratis, tetapi di negara-negara yang demokrasi nya sudah mapan justru terdapat fenomena disillusionment (kekecewaan) terhadap demokrasi (Giddens, 2000: 90)

Dalam pandangan Giddens tersebut kita dapat menyimpulkan betapa Ironis nya demokrasi Indonesia. Di satu pihak kita sudah lepas dari sistem otoriter dan menapaki demokrasi yang baru selama delapan belas tahun lamanya, tetapi di satu pihak lagi kita sebagai warga-negara merasa sudah kecewa dengan demokrasi yang kita bangun sendiri. Sungguh ironis, melihat kita tidak ikut andil dalam pemilu dan membuang hak suara kita. Lantas untuk apa reformasi itu kita perjuangkan? Bukankah reformasi itu terjadi karena kita sudah bosan dengan penindasan, dan menginginkan kesejahteraan dan mengembalikan kedaulatan Rakyat.

Faktanya jika melihat hasil pemilu 2004, pilpres, dan pilkada, terdapat kecenderungan meningkatnya para pemilih yang tidak menggunakan haknya. Bahkan dari pilkada-pilkada yang dilakukan sejak 1 Juni 2005, angka golput lebih tinggi pada pileg dan pilpres (LSM, 2007; Marijan, 2006). Inilah bentuk kekecewaan Rakyat terhadap pemimpin dan para wakilnya yang di beri amanat tetapi malah menyalahgunakan nya demi kepentingan pribadi dan golongan. Itulah sebabnya warga negara ‘kecewa’ dan ‘bosan’ dengan tingkah laku mereka dan melampiaskannya dengan apa yang disebut oleh kita Golongan Putih.

Oleh sebab itu kita seharusnya sebagai warga-negara bisa menjadi pengawas sekaligus penjaga roda pemerintahan dengan ikut berpartisipasi dalam pemilu yang luber-jurdil. Walaupun kita kecewa dan bosan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme para pemimpin kita, tetapi masih ada KPK yang siap memberantas mereka. Walaupun kita salah memilih pemimpin kita dan kecewa terhadapnya yang tidak menjalankan janji-janjinya tetapi kita harus percaya bahwa selama lima tahun berikutnya pasti ada harapan dalam pembaharuan pemimpin yang lebih baik. Karena saya percaya di luar sana terdapat pemimpin yang bisa diberi amanat dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, mungkin pemimpin itu bisa jadi adalah anak Anda, saudara Anda, orang tua Anda, atau bahkan bisa jadi diri Anda sendiri.

Oleh karena itu mari kita wujudkan iklim demokrasi yang lebih baik, dengan memulainya dengan ikut serta dalam pemilu, dan menggunakan hak pilih kita sebagai warga-negara. Jangan sia-siakan pilihan kita dengan acuh dan apatis terhadap masa depan Indonesia. Satu suara untuk Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya. smoga

Popular Posts