Tuesday, May 31, 2016

FUNGSI KOMUNIKASI RITUAL



Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan (melamar tukar cincin), siraman, pernikahan (ijab kabul, sungkem kepada orang tua, sawer, dan sebagainya), ulang tahun perkawinan, hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku perilaku simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, komunitas, sukubangsa, negara, ideologi atau agama mereka

Salat kaum Muslim yang mengarah ke Ka'bah melambangkan kesatuan dan persatuan umat Muslim yang ber-Tuhan satu (Allah). Dalam upacara haji, pakaian ihram berwarna putih dan tidak dijahit yang dikenakan jamaah pria melambangkan kesederajatan seluruh umat manusia, sedangkan jumrah (melempar pilar dengan sejumlah kerikil di Mina) melambangkan pengusiran setan yang dilakukan Nabi Ibrahim dulu dengan melempar setan itu (yang kini dilambangkan pilar) dengan kerikil. Orang-orang Katolik memakan roti dan meminum anggur yang melambangkan daging dan darah Yesus dalam misa mereka untuk juga secara simbol turut merasakan penderitaan Sang Juru Selamat. Pada Pekan Suci Perayaan Paskah secara Katolik di Vatikan, (mendiang) Paus Yohannes Paulus II lazim membasuh dan mencium kaki seorang pastor, satu di antara kedua belas Pastor terpilih. Ciuman Paus itu merupakan tradisi setiap Kamis Putih, satu dari empat hari utama Perayaan Paskah untuk memperingati perjamuan terakhir Yesus dengan kedua belas muridnya sebelum ia mati disalib. Di Indonesia, beberapa organisasi keagamaan (islam) atau partai politik mengadakan acara istighosah untuk mendoakan agar pemimpin mereka menjadi pemimpin bangsa, agar para pemimpin diberi petunjuk, atau agar bangsa indonesia terhindar dari bencana nasional.


Fungsi ritual juga tampak dalam acara pelamaran yang dilakukan keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Wakil keluarga pria meminta kesediaan dari keluarga calon mempelai wanita agar putri mereka dijadikan istri calon mempelai pria, dan keluarga calon mempelai wanita kemudian memenuhi permintaan itu. Dan kita tahu peristiwa itu hanya sekadar “sandiwara,” karena sebenarnya sebelum pelamar itu berlangsung, kedua keluarga sudah sepakat akan rencana menempuh hidup baru. Dalam upacara anak-anak mereka untuk perkawinan adat Sunda, adegan pengantin wanita membersihkan kaki pengantin pria setelah pengantin pria menginjak telor mentah melambangkan kesetiaan dan pengabdian istri kepada suami, dan kesediaan untuk memperoleh bimbingannya, sementara huap lingkung (saling menyuapi makanan, biasanya daging ayam) melambangkan bahwa suami-istri harus harmonis saling membutuhkan, saling memberi dan menerima, dan saling menyayangi.

Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam seseorang. Orang menziarahi makam Nabi Muhammad, bahkan menangis di dekatnya, untuk menunjukkan kecintaan nya kepadanya. Para siswa yang menjadi pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) mencium bendera merah putih, sering dengan berlinang airmata, dalam pelantikan mereka untuk menunjukkan rasa cinta mereka kepada nusa dan bangsa terlepas dari apakah kita setuju terhadap perilaku mereka atau

Sebagian respons kita terhadap ( lambang) cinta, keluarga negara, dan agama untuk menyebut beberapa hal saja yang terpenting dalam kehidupan kita mungkin tidak kita sadari. Respons manusia dalam menanggapi lambang-lambang ini tidak bersifat ekstrem dan tidak masuk akal bagi kebanyakan orang, misalnya sepasang kekasih yang sama-sama bunuh diri karena hubungan mereka tidak direstui salah satu atau kedua pihak orang tua, atau individu yang melakukan pemboman bunuh diri untuk membunuh seseorang atau sekelompok orang tertentu yang mereka anggap musuh. Hal ini misalnya sering dilakukan orang Palestina terhadap
orang Israel. Bunuh diri ala Jepang (harakiri) bahkan merupakan upacara yang lebih terencana lagi. Tradisi merobek perut sendiri dengan senjata tajam ini dulu dilakukan kaum Samurai Jepang atau berdasarkan keputusan pengadilan sebagai pengganti hukuman mati. Beberapa pejabat atau tokoh Jepang masa kini yang melakukan kesalahan mengikuti jejak kaum samurai tersebut untuk menebus rasa bersalah mereka dan untuk menunjukkan tanggung jawab mereka atas kesalahan yang dilakukannya atau bawahannya.

Ritual sering merupakan peristiwa sederhana. Misalnya seorang "Bu, saya pergi," sebelum ia pergi kuliah sambil menyalami atau mencium tangan orang tuanya. Seseorang mengucapkan selamat pagi kepada atasannya setiap ia masuk kantor atau seseorang mengucapkan selamat tinggal melambaikan tangan ketika ia berpisah dengan orang yang dicintainya di bandar udara. Ritual-ritual kecil itu berfungsi sebagai perekat hubungan antarpribadi.


Seseorang yang memasuki kelompok baru sering harus menjalani upacara untuk secara resmi diterima kelompok tersebut mulai dari mahasiswa yang harus menjalani perpeloncoan hingga pria dewasa yang memasuki mafia kejahatan. Inisiasi ini misalnya dijalani Joseph M. Valachi, tersangka pembunuh berusia 60 tahun yang dengan tenang menceritakan sejarah dan metode kejahatan organisasi yang dimasukinya, Cosa Nostra, seperti yang dilaporkan.

New York Times:
Menurut Valachi, ia dibawa ke dalam sebuah ruangan yang besar, di mana terdapat 30 atau 35 lelaki duduk di tepi sebuah meja panjangTerdapat sepucuk pistol dan sebilah pisau di atas meja” Valachi bersaksi. “Saya duduk di ujung. Mereka mendudukkan saya di sebelah Maranzaro. Saya mengulagi beberapa kata dalam bahasa Sicilia yang diucapkannya”Kamu hidup dengan sepucuk pistol dan sebilah pisau di atas meja” Valachi berkata bahwa Maranzaro memberinya selembar kertas dan membakarnya sementara ia memegangnya dengan tangannya. “Saya mengulangi dalam bahasa Sicilia. ‘Inilah cara saya terbakar bila saya mengkhianati organisasi’” Valachi kemudian menceritakan, para pria di tepi meja itu menghasilkan sebuah nomor dengan menjumlahkan jari jemari yang diacungkan setiap orang antara satu hingga lima jari. Jumlah total itulah yang diambil. Dimulai dengan Maranzaro jumlah itu kemudian dihitung. Orang yang sesuai dengan nomor akhir itulah yang ditunjuk menjadi Godfather-nya Valachi dalam keluarga. Menurut Valachi, undian itu jatuh pada Bonanno Valachi kemudian berkata bahwa jarinya ditusuk jarum yang dipegang Bonanno untuk menunjukkan bahwa ia "sedarah" dengan Bonanno. Setelah itu, lanjut Valachi, semua yang hadir berpegangan tangan sebagai tanda ikatan kepada organisasi. Valachi berkata dua ia diberi aturan dalam organisasi malam itu satu mengenai kepatuhan kepada organisasi dan satu nya lagi janji untuk tidak memiliki istri, saudara perempuan atau putri anggota lain. Untuk pertama kalinya, ia berwajah cemberut. “Inilah hal terburuk yang dapat saya lakukan, menceritakan upacara itu,”  kata nya. “Inilah ajal saya, menceritakannya pada kalian dan pers”

Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan sebagai pengabdian kepada kelompok. Ritual menciptakan perasaan tertib (a sense of order) dalam dunia yang tanpanya kacaubalau. Ritual memberikan rasa nyaman akan keteramalan (sense of predictability). Bila ritual tidak dilakukan orang menjadi bingung, misalnya bila dua orang bertemu pada hari lebaran dan orang pertama mengulurkan sedangkan orang kedua sekadar memandangnya, kebingungan dan ketegangan muncul. Bukankah subtansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terkait oleh sesuatu yang lebih besar dari pada diri kita sendiri, yang bersifat “abadi” dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok (agama, ethnic, sosial) kita. Maka di penghujung abad ke-20 saya menyaksikan seorang pemuda sarjana ekonomi dari suatu keluarga kelas menengah di Bandung, menangis tersedu-sedu ketika ia dicucuri air yang dihiasi dengan berbagai macam bunga oleh para tetua nya dalam acara siraman di teras rumahnya, dua hari sebelum hari pernikahannya, sementara seorang pria di ruang tamu menyenandungkan berbagai nasihat, dan mengingatkan sang pemuda akan masa kecilnya, diiringi lantunan musik Sunda kecapi suling yang menyayat hati.


Kita memang bukan makhluk rasional semata-mata. Bila segala kegiatan manusia harus rasional, mengapa kita harus melakukan upacara pernikahan atau upacara pemakaman? Bukankah upacara-upacara itu sia-sia saja, dan mubazir? Bukankah upacara pernikahan cukup diganti dengan janji atau kesepakatan antara kedua orang calon suami-istri itu, yang dicatat pada selembar kertas atau direkam dalam suatu kaset? Mengapa orang yang meninggal tidak segera saja dikuburkan? Mengapa si mayat harus dibersihkan dan didandani terlebih dulu? Mengapa harus ada ritual lagi pada saat pemakaman. Agama tentu saja dapat memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Akan tetapi, selain mengandung makna keagamaan, upacara-upacara itu, upacara pemakaman misalnya, menegaskan kembali tempat manusia dalam masyarakat, keluarga, persahabatan, dan dalam cinta. Hal itu juga menegaskan kembali jati dirinya, kekhususan hidupnya, kesenjangan yang ia tinggalkan dalam kehidupan orang lain. Seorang manusia bukan seperangkat mesin dan tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh orang lain; setiap manusia itu unik dan keunikan nya juga diperingati kembali. Masyarakat menyatakan kepeduliannya kepada setiap anggotanya dan para penerusnya lewat upacara pemakaman. Masyarakat menegaskan kematian seorang manusia dan kesinambungan nya, dalam memori dan pengaruh, dalam keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, beralasan bila dalam Hamlet, karya sastra Shakespeare yang legendaris itu, penutupnya bukanlah kematian sang pangeran, melainkan pemakaman ketentaraan yang simbolik dan orasi yang disampaikan penerus Hamlet. Fortinbras. Makna hidup Hamlet dikemukakan dan kebajikan-kebajikannya dipuji. Ia bukan hanya seorang pangeran, namun pangeran yang satu ini, dan kematiannya membuat negerinya kehilangan dia. Dalam masyarakat kita pun, lazimnya hanya kebaikan-kebaikan si mati yang dikemukakan ketika ia dimakamkan, meskipun selama hidupnya ia koruptor besar dan penindas rakyat. Ia bahkan dimakamkan di taman makam pahlawan, dibuatkan patungnya, dan diabadikan namanya menjadi nama gedung atau nama jalan.

Arti pentingnya komunikasi ritual juga tampak pada iklan-iklan untuk menyampaikan duka cita atas kematian seseorang yang dihormati atau untuk mengenang seseorang tercinta yang telah meninggal dunia bertahun-tahun lalu, yang memberikan imbalan setimpal kepada si pemasang iklan, meskipun si pemasang iklan harus merogoh kocek nya ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Teks dari suatu iklan keluarga yang dimuat suatu surat kabar nasional berbunyi seperti berikut ini: “Dua tahun sudah engkau meninggalkan kami. Kesakitan dan penderitaan telah engkau tinggalkan Kerjamu telah selesai dan engkau telah kembali kepada Bapa di surga. Namun kenangan indah tentang dirimu tetap hidup dalam kenangan kami selamanya.”

Komunikasi ritual ini kadang-kadang bersifat mistik, dan mungkin sulit dipahami orang-orang di luar komunitas tersebut. Suku Aborigin, penduduk asli Australia yang mata pencaharian tradisionalnya adalah berburu dan mengumpulkan makanan, melakukan upacara tahunan untuk memperoleh peningkatan rezeki. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati tanaman dan hewan yang juga berbagi tanah air. Menurut kepercayaan mereka, upacara itu penting dilaksanakan untuk menjamin kelestarian tanaman dan hewan yang menentukan kelangsungan hidup manusia. Contoh lain, para penguasa despotik yang memerintah bangsa Aztec, melakukan upacara mistik yang bahkan meminta pengorbanan manusia, untuk memperoleh kekuasaan mereka.


Hingga kapan pun ritual tampaknya akan tetap menjadi kebutuhan  manusia, meskipun bentuknya berubah-ubah demi pemenuhan jati dirinya sebagai individu, sebagai anggota komunitas sosial, dan sebagai salah satu unsur dari alam semesta. Salah satu ritual modern adalah olah raga." Sebagaimana dikemukakan Michael Novak dalam bukunya The Joy of Sports (1976), olah raga, khususnya kompetisi tingkat dunia, mirip dengan upacara keagamaan. Peristiwa itu mencakup tata cara yang hampir dianggap suci dan harus dipatuhi. Di samping itu, peristiwa itu juga menggunakan lambang-lambang seperti bendera, lagu kebangsaan. kostum, tempat-tempat “suci” yang dikhususkan bagi pemain, pelatih, penonton, juga batasan waktu, dan sebagainya.

Monday, May 30, 2016

FUNGSI KOMUNIKASI EKSPRESIF




Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut di komunikasi an terutama melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-katanamun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Seorang atasan menunjukkan simpatiknya kepada bawahannya yang istrinya baru meninggal dengan menepuk bahunya.

Orang dapat menyalurkan kemarahan dengan mengumpat, berkecak pinggang, mengepalkan tangan seraya memelototkan matanya. Mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demonstrasiunjuk rasa mogok makan atau aksi diam. Chauhadry Tahir, seorang penjaga toko, membakar dirinya di jalan utama di Islamabad hari Sabtu, 17 April 1999, sebagai aksi protes terhadap pengadilan yang mengusirnya dari toko tempat ia mencari nafkah.

Perasaan bahkan juga bisa diungkapkan dengan memberi bunga, misalnya sebagai tanda cinta atau kasih sayang atau ketika kita ingin menyatakan selamat kepada orang yang berulang tahun, lulus menjadi sarjana, atau menikah, atau juga menyatakan simpati dan duka cita kepada orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Akan tetapi, kita harus hati-hati dengan jenis bunga yang kita bawa. Di Austria mawar merah adalah lambang cinta romantik. Di negara kita bunga kemboja sering diasosiasikan dengan bunga kuburan sehingga tidak banyak orang menanamnya di halaman rumah, apa lagi diberikan kepada orang yang sedang ulang tahun, meskipun di Bali bunga ini lazim ditanam di halaman rumah dan juga digunakan untuk sesaji.

Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk-bentuk seni seperti puis novel, musik, tarian, atau lukisan Puisi "Aku" karya Chairil Anwar mengekspresikan kebebasannya dalam berkreasi Novel saman karya Ayu ami mengekspresikan semangat anak muda yang banyak terlibat dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa bernapaskan Islam yang dimuat dalam antologi cerpennya Ketika Mas Gagah Pergi dan dalam Sembilan Mata Hati mengekspresikan keprihatinan nya akan nasib umat Islam yang tertindas di berbagai pelosok dunia dan semangat jihad nya yang menggelegak



Harus diakui, musik juga dapat mengekspresikan perasaan kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi) manusia. Itu sebabnya pertunjukan musik Iwan Fals yang lirik-liriknya bermuatan kritik atau sindiran terhadap penguasa sering dilarang pihak berwajib selama era Orde Baru. Orang memang telah menggunakan sarana hiburan berabad-abad untuk tujuan propaganda. Selama revolusi Prancis, misalnya, digunakan juga musik, selain teater permainan, festival dan surat kabar, untuk menggalang kekuasaan. Lagu-lagu perjuangan Indonesia, meskipun menghibur dan estetis juga mengandung imbauan kepada rakyat untuk berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Lagu “Maju Tak Gentar” dan “Halo Halo Bandung” khususnya, mengekspresikan perjuangan dan semangat kepahlawanan. Belakangan, di kalangan masyarakat ada gurauan bahwa lagu “Maju Tak Gentar,” “Padamu Negeri,” dan “Dsini Benang” (atau “Sorak Sorai Bergembira”) berturut-turut merupakan “lagu kebangsaan” (ekspresi) tentara berpangkat rendah (tamtama, prajurit), perwira menengah, dan perwira tinggi TNI. Menarik pula bahwa ternyata ke tujuh belas pupuh Sunda melambangkan suasana hati yang berlainan. Asmarandana melambangkan rasa berahi, dangdanggula melambangkan kegemaran; kinanti melambangkan penantian, maskumambang melambangkan kesedihan, pangkur melambangkan kemarahan; sinom melambangkan asmara.

Lukisan pun sering mengekspresikan perasaan pelukisnya. Anda masih ingat lukisan-lukisan Raden Saleh yang warna-warna nya suram. Para pengamat menafsirkan warna-warna itu menggambarkan suasana kejiwaan Raden Saleh yang “prihatin dan tertekandalam mengalami masa penjajahan dan menyaksikan
kaumnya tertindas oleh penjajah (abad ke-19), sementara lukisan-lukisan karya pelukis abad ke-20 Affandi dengan polesan-polesan yang “melotot” dan didominasi warna-warna dasar yang menyala mengekspresikan nuansa jiwanya yang impulsif, dinamis dan dalam pencarian makna hidup tak berkesudahan. Bentuk-bentuk seni itu jelas mengekspresikan suasana kejiwaan dan semangat zaman pelukisnya.

Akan halnya tari-tarian, salah satu tarian yang secara simbolik mengekspresikan kesadaran atau perasaan penarinya adalah Tari Baluse, yakni tarian perang ala nias yang dilakukan sekelompok pria. Tarian ini sebenarnya merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah dan ketidakadilan. Tarian ini pernah ditampilkan sekitar 30 orang di Gedung DPRD dan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan, Desember 1999, sebagai ungkapan rasa rakyat Nias untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan bebas dari keterbelakangan, menyertai unjuk rasa yang dilakukan 150 orang Nias dari Gunung Sitoli (Kabupaten nias) dan dari Medan. Dengan mengenakan busana perang, masing-masing penari menggenggam sebilah pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri dan mengayun-ayunkan pedang tersebut sambil melompat tiga langkah ke belakang, tiga depan. langkah ke Sementara itu, seorang lain melantunkan lagu perang Nias, disahut oleh semua penari, sekali-sekali ditimpali hentakan kaki yang mengikuti irama lagu yang dinyanyikan

Teater yang disutradarai W.S. Rendra, N. Riantiarno, atau Ratna Sarumpaet dalam tiga dekade terakhir abad ke-20 tidak jarang mengekspresikan protes atau kritik masyarakat, misalnya rakyat kecil yang ditindas penguasa, Mereka berkali kali tidak memperoleh izin untuk mengadakan pertunjukan drama mereka W.S. Rendra khususnya mengekspresikan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan kritiknya terhadap penguasa lewat sejumlah drama (misalnya “perrjuangan Suku Naga” “Panembahan Reso” “Menunggu Godot,” dan “Mastodon dan Burung Kondor”) sebuah drama kontemporer yang menyatakan keprihatinan rakyat berjudul “Ketika kita Kaku” karya Arman Dewartiyang dipertunjukkan dalam Makassar Arts Forum 1999 di Makassar menggambarkan nasib perempuan yang selalu menjadi korban ter parah dari tindak kekerasan yang terjadi di berbagai tempat, karena mereka juga kehilangan martabat sebagai manusia selain kehilangan harta benda.


Komunikasi Untuk Kelangsungan Hidup



Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memenuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Maslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan-diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan dasar harus dipenuhi sebelum kebutuhan sekunder diupayakan. Kita mungkin sudah mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa aman lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat butuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah dan mengambil keputusan, dan tujuan sosial serta hiburan.

Baca Juga: Komunikasi Pernyataan Eksistensi Diri

Komunikasi, dalam konteks apa pun, adalah bentuk dasar adaptasi terhadap lingkungan. Menurut Rene Spitz, komunikasi (ujaran) adalah jembatan antara bagian luar dan bagian dalam kepribadian: "Mulut sebagai rongga utama adalah jembatan antara persepsi dalam dan persepsi luar; ia adalah tempat lahir semua dasarnya; ia adalah tempat transisi bagi persepsi luar dan model perkembangan aktivitas intentional, bagi munculnya kemauan dari kepasifan

Perilaku komunikasi pertama yang dipelajari manusia berasal dari sentuhan orang tua sebagai respons atas upaya bayi untuk memenuhi kebutuhannya. Orang tua menentukan upaya mana yang akan diberi imbalan, dan anak segera belajar merangsang dorongan itu dengan menciptakan perilaku mulut yang memuaskan si pembelai. Dengan kata lain si anak membalas belaian orang tuanya. Anak cepat beradaptasi terhadap ibunya sendiri. Berdasarkan respons anak yang berulang, sang ibu akhirnya dapat membedakan suara anaknya, apakah sang anak marah sakit lapar, kesepian, atau sekadar bosan. Pesan-pesan ini sulit dipahami oleh orang yang bukan ibunya.

Pada tahap itu, komunikasi ibu dan anak masih sederhana.Komunikasi anak hanya memadai bagi lingkungannya yang terbatas. Pada tahap selanjutnya, anak memasuki lingkungan yang lebih besar lagi: kerabat, keluarga, kelompok bermain, komunitas lokal (tetangga), kelompok sekolah, dan seterusnya. Ketika anak memasuki sekolah, ia harus mengembangkan keterampilan baru untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan lebih luas, dan terutama untuk memenuhi kebutuhan intelektual dan sosialnya. Ketika anak itu dewasa dan mulai memasuki dunia kerja. Lebih banyak lagi keterampilan komunikasi yang ia butuhkan untuk mempengaruhi atau meyakinkan orang lain, termasuk penguasaan bahasa asing misalnya, yang kesemuanya itu merupakan sarana untuk mencapai keberhasilan, Ringkasnya, komunikasi itu penting bagi pertumbuhan sosial, sebagaimana makanan penting bagi pertumbuhan fisik

Melalui komunikasi pula kita dapat memenuhi kebutuhan emosional kita dan meningkatkan kesehatan mental kita. Kita belajar makna cinta, kasih sayang, keintiman, simpati, rasa hormat, rasa bahkan iri hati, dan kebencian. Melalui komunikasi kita bangga, dapat mengalami berbagai kualitas perasaan itu dan membandingkannya antara perasaan yang satu dengan perasaan lainnya Karena itu tidak mungkin kita dapat mengenal cinta bila tidak mengenal benci. Kita tidak akan mengenal makna pelecehan bila kita tidak mengenal makna penghormatan. Lewat umpan balik orang lain kita memperoleh informasi bahwa kita orang yang sehat secara jasmaniah dan rohaniah, dan bahwa kita orang yang berharga. Penegasan orang lain atas diri kita membuat kita merasa dan percaya diri. Pernahkah Anda nyaman dengan diri sendiri memasuki sebuah tempat dan menemukan bahwa orang-orang yang Anda kenal tidak mempedulikan Anda dan menganggap Anda orang asing atau tidak ada? Penyangkalan mereka atas eksistensi kita membuat kita merasa tidak nyaman, bukan?


Untuk memperoleh kesehatan emosional, kita harus memupuk perasaan-perasaan positif dan mencoba menetralisasikan perasaan-perasaan negatif. Orang yang tidak pernah memperoleh kasih sayang dari orang lain akan mengalami kesulitan untuk menaruh perasaan itu terhadap orang lain, karena ia sendiri tidak pernah mengenal dan merasakan perasaan tersebut. Kita hanya bisa mengeksternalisasikan suatu makna, gagasan, atau perasaan yang internalisasikan dari lingkungan kita. Begitulah, dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar ataupun tidak, kita sering mengucapkan “Selamat pagi” ”Halo," “Assalamu'alaikum” "Apa kabar?" menanyakan keadaan keluarga, pekerjaan, mengomentari cuaca, atau menganggukkan kepala, melambaikan tangan, menepuk bahu, atau bersalaman, untuk setidaknya mengakui kehadiran orang lain, untuk menunjukkan bahwa kita ramah, dan untuk menumbuhkan atau memupuk kehangatan dengan orang lain. Komunikasi itulah yang fatik (phatic communication)

Komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi dilakukan untuk pemenuhan diri, untuk merasa terhibur, nyaman dan tenteram dengan diri sendiri dan juga orang lain. Dua orang dapat berbicara jam-jam, dengan topik yang berganti ganti, tanpa mencapai tujuan yang pasti. Pesan-pesan yang mereka per tukarkan mungkin hal-hal yang remeh, namun pembicaraan itu membuat keduanya merasa senang. Para psikolog menunjukkan kepada kita bahwa bnyak perilaku manusia itu dimotivasi oleh kebutuhan untuk menjaga keseimbangan emosional atau mengurangi ketegangan internal dan rasa frustrasi. Kita bisa memahami mengapa seseorang yang mengemukakan persoalan pribadinya kepada orang lain yang dipercayainya merasa beban emosional nya berkurang. Komunikasi fatik semacam ini dapat sekaligus berfungsi sebagai mekanisme menunjukkan ikatan sosial dengan orang yang bersangkutan apakah sebagai sahabat, teman sejawat, kerabat, mantan dosen, dan sebagainya. Sapaan "Hei, ke mana saja kamu selama ini?" terhadap orang yang lama tidak kita jumpai menyenangkan diri-sendiri dan orang yang kita sapa serta sekaligus menunjukkan bahwa kita punya ikatan sosial tertentu dengan orang itu

Bila seseorang bertanya, "Apa kabar?" atau "Bagaimana keadaan Anda?" kepada kita, kita tidak menjawabnya seperti kalau kita ditanya seorang dokter. Hampir otomatis, jawaban kita adalah "Baik.” Bila jawaban yang kita berikan adalah jawaban yang sesungguhnya, kita mungkin akan dianggap orang aneh, tidak tahu sopan santun atau ingin bergurau, seperti jawaban, "Aduh, saya lagi pusing (atau sakit koreng, ambeien, jantung, dan sebagainya) nih," "Saya lagi bokek," atau "Dibandingkan dengan siapa? Dengan Anda atau istri saya”

Sering kita bertanya kepada seseorang, untuk sekadar mengakui kehadirannya, bukan untuk mengetahui jawabannya. (“Udah tananya!"). Misalnya, sapaan "Sekolah, Dik?" kepada seorang pelajar putri berseragam abu-abu yang pagi-pagi bergegas di jalan, atau “Dari pasar, Bu?" kepada seorang tetangga yang baru turun dari becak yang membawa sayur-sayuran. Di kalangan orang Melayu Riau, di Pekanbaru khususnya, orang biasa menjawab, "Tak ade” untuk sapaan-sapaan seperti, "Ke mana?" "Kerja apa sekarang” “Banyak dapat ikan?" Jawaban itu bukan berarti bohong atau nol melainkan kebiasaan untuk tidak menonjolkan diri dan untuk menjaga harmoni

Dalam komunikasi fatik, pokok pembicaraan atau kata-kata tidaklah penting, seperti yang dilukiskan pengalaman nyata seorang pebisnis Amerika yang berkunjung ke Eropa untuk pertama kalinya. Pria Amerika ini sedang makan siang, dan duduk di dekat seorang pria Prancis. Tidak seorang pun bisa berbicara bahasa “teman" makannya, namun keduanya saling menyapa dengan senyum. Ketika pelayan menyuguhkan minuman anggur (wine) pria Prancis mengangkat gelasnya dan berkata, "Bon appetit!” Pria Amerika tidak mengerti ucapan itu dan menjawab "Ginzberg." Tidak ada kata lain yang mereka ucapkan saat itu. Malam itu, dalam acara makan malam, keduanya bertemu lagi dan duduk di meja yang sama. Sekali lagi pria Prancis menyapa pria Amerika dengan ucapan "Bon appetit!" ketika ia mengangkat gelas yang berisi wine. Lagi pria Amerika itu menjawab, "Ginzberg." Pelayan memperhatikan pertukaran sapaan yang ganjil ini, dan setelah makan malam, mengajak pria Amerika itu meminggir untuk menjelaskan bahwa pria Prancis itu bukan memberitahukan namanya, melainkan mengucapkan selamat makan. Hari berikutnya pria Amerika itu sengaja makan siang bersama pria Prancis itu lagi agar ia dapat memperbaiki kekeliruannya. Pria Amerika berinisiatif mengangkat gelas minuman dan berkata, "Bon appetit!” yang di jawab oleh pria Prancis dengan bangga “Ginzberg

Melalui komunikasi dengan orang lain, kita dapat kebutuhan emosional dan intelektual kita, dengan memupuk hubungan yang hangat dengan orang-orang di sekitar kita. Tanpa pengasuhan dan pendidikan yang wajar, manusia akan mengalami kemerosotan emosional dan intelektual. Kebutuhan emosional dan intelektual itu kita peroleh pertama-tama dari keluarga kita, lalu dari orang-orang dekat di sekeliling kita seperti kerabat dan kawan-kawan sebaya dan barulah dari masyarakat umumnya, termasuk sekolah dan media seperti kabar dan televisi. Khususnya dalam lingkungan keluarga, kebutuhan biologis, emosional dan intelektual anak bisa dipenuhi dengan tindakan anggota keluarga lainnya, terutama orang tua. Pada gilirannya kebutuhan suatu keluarga juga akan dipenuhi oleh pihak lainnya, dan kebutuhan mereka bersama-sama sebagai suatu komunitas juga akan dipenuhi oleh komunitas lainnya begitulah seterusnya. Semua kerja sama untuk mencapai kesejahteraan itu pertama-tama dan terutama dilakukan lewat komunikasi

Orang yang tidak memperoleh kasih sayang dan kehangatan orang-orang di sekelilingnya cenderung agresif. Pada giliran agresivitas ini melahirkan kekerasan terhadap orang lain seperti ditunjukkan berbagai penelitian. Misalnya, Philip zimbardo melakukan penelitian ekstensif di Amerika Serikat tentang hubungan antara anonimitas (keterasingan) dan agresi (kekerasan). Ia dan kawan-kawannya meninggalkan sebuah mobil tanpa pelat nomor dan tanpa kap di sebuah jalan di Palo Alto, Califormia, juga meninggalkan mobil serupa di sebuah jalan di daerah Bronx, New York, yang penduduknya tidak saling mengenal dan terasing antara satu dengan lainnya. Dalam dua kasus itu masing-masing mobil berwarna putih dan ditempatkan di daerah kelas engah dekat sebuah universitas besar

Di Palo Alto mobil tersebut tidak dijamah siapa pun selama seminggu lebih, kecuali seseorang yang lewat merendahkan kap mobil agar mesin mobil tidak basah. Di Bronx dalam beberapa jam saja dan pada siang hari bolong orang-orang dewasa dan anak-anak muda mempreteli onderdil mobil yang masih bisa dipakai dan dijual. Tidak ada orang yang mempedulikan perilaku mereka. Berikutnya, anak-anak memecahkan kaca depan dan kaca belakang mobil, lalu orang-orang dewasa menghantam mobil itu dengan batu, pipa dan palu. Dalam waktu kurang dari tiga hari mobil itu menjadi barang rongsokan yang hancur tanpa bentuk. Kejadian itu menunjukkan betapa keterasingan yang dialami seseorang cenderung membuatnya berperilaku agresif, dan bahkan brutal.



Lebih jauh lagi, komunikasi juga telah dihubungkan bukan hanya dengan kesehatan psikis, tetapi juga kesehatan fisik. Seperti ditunjukkan Sommers berdasarkan berbagai sumber yang diperolehnya, orang-orang yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk terserang penyakit jantung, kanker, kemangkiran, dan dirawat di rumah sakit

Sebaliknya, marginalities sosial berkaitan dengan kemungkinan lebih tinggi terkena penyakit jantung, kanker, depresi, darah tinggi, arthritis, schizophrenia, tuberculosis, dan kematian. Suatu atas 2320 pria yang selamat dari penyakit infark jantung (myocardial infaretion) menemukan bahwa orang-orang yang terisolasi secara sosial dan menderita stres tinggi menunjukkan tingkat kematian empat kali lebih tinggi yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor risiko fisik dan akses terhadap perawatan medis

Penelitian selama lebih dari 10 tahun secara ajeg menunjukkan hubungan yang erat antara stres dan penyakit akut. Terdapat cukup data yang secara jelas menghubungkan ciri-ciri kepribadian sebagai faktor risiko yang menimbulkan penyakit kanker dan penyakit jantung. Orang yang lebih mandiri, kalem dalam menghadapi stres dan mengambil keputusan seraya tetap optimistic, mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk terkena kanker dan penyakit jantung. Orang yang menekan emosinya dan merasa tak berdaya dalam menghadapi stres lebih rentan terhadap kanker, sedangkan orang agresif dan bereaksi terhadap stres dengan respons emosional yang berlebihan lebih mungkin terkena penyakit jantung

Sommer juga mengemukakan, terdapat hubungan antara sistem saraf pusat dan sistem kekebalan. Itu terjadi via sistem saraf otonomik dan sistem peredaran darah. Penjelasannya cukup rumit. Akan tetapi, cukuplah dikatakan bahwa stres psikologis yang kronis mempunyai efek yang merugikan fungsi kekebalan sementara intervensi psikologi seperti tertawa, relaksasi dan meditasi, serta olahraga yang cukup mempunyai efek positif terhadap fungsi kekebalan. New England Journal of Medicine melaporkan tahun 1991 bahwa stres psikologis berkaitan dengan peningkatan risiko terkena pilek akut yang disebabkan lima yang berbeda

Stewart menunjukkan bahwa orang yang terkucil secara sosial cenderung lebih cepat mati. Selain itu, kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya. Surat kabar The Age (24 Desember 1998) dengan judul "Get A Wife for a Longer Life" menunjukkan, di Australia ternyata pria maupun wanita yang menikah hidup lebih lama daripada yang tidak menikah atau yang bercerai. Namun kaum pria lebih "diuntungkan" karena pria berusia 20-69 tahun yang tidak menikah angka kematiannya dua sampai empat kali lebih banyak daripada pria yang menikah

Jauh sebelum itu, Kaisar Frederick II, penguasa Romawi abad ke-13, membuat percobaan dengan memasukkan sejumlah bayi ke laboratorium, Anak-anak itu dimandikan dan disusui oleh ibu-ibu namun bayi-bayi itu tidak diajak berbicara. la ingin mengetahui apakah bayi-bayi itu akan berbicara dalam bahasa Hebrew, atau Yunani, atau Latin, atau Arab, atau bahasa orang tua yang telah melahirkan mereka. Upaya tersebut sia-sia karena semua bayi itu. Mereka tak dapat hidup tanpa belaian, wajah riang, dan kata-kata sayang ibu angkat mereka." 

Pada tahun 1945 Rene Spitz melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kesehatan bayi-bayi yang jarang memperoleh belaian manusia akan mengalami kemerosotan dan menderita penyakit yang mengancam jiwa mereka. Tahun 1957 JD. French melaporkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kelangkaan rangsangan emosional dan sensoris menimbulkan kemunduran pada struktur otak manusia, yang pada gilirannya mengakibatkan kekurangan gizi, dan akhirnya dapat berujung pada kematian. Sementara itu, Eric Berne mengembangkan suatu teori hubungan sosial yang ia sebut Transactional Analysis (1961). Teorinya berdasarkan hasil penelitian mengenai keterlantaran indrawi (sensory deprivation) yang menunjukkan bahwa bayi-bayi yang kekurangan belaian dan hubungan manusiawi yang normal menunjukkan tanda-tanda kemerosotan fisik dan mental yang bisa berakibat fatal. Ia menyimpulkan bahwa sentuhan emosional dan indrawi itu penting bagi kelangsungan hidup manusia. Ia menyimpulkan teorinya dengan ungkapan bahwa “If you are not stroked your spinal cord will shrivel up” (Jika engkau tidak mendapatkan belaian, urat saraf tulang belakangmu akan layu)

Menurut Berne dalam bukunya Games People Play (1964), belaian (stroke) adalah istilah umum untuk kontak fisik intim yang praktiknya dapat mengambil berbagai bentuk. Sebagian orang secara harfiah membelai seorang bayi; sebagian lagi memeluknya atau menepuknya, sementara lainnya lagi mencubitnya atau menyentuhnya dengan ujung jari. Menurut Berne, dalam arti luas, belaian mengisyaratkan pengakuan atas kehadiran orang lain. Karena itu belaian dapat digunakan sebagai unit dasar tindakan sosial.

Kaitan erat antara komunikasi yang manusiawi (tulus, hangat dan akrab) dengan harapan hidup di per teguh oleh penelitian mutakhir yang dilakukan Michael Babyak dari Universitas Duke, dan beberapa kawannya dari beberapa universitas lain di Amerika Melalui penelitian yang mengambil 750 orang kulit putih dari kelas menengah sebagai sampel, dan memakan waktu 22 tahun Babyak dan rekan-rekannya menemukan bahwa orang-orang yang memusuhi orang lain, mendominasi pembicaraan, dan tidak suka berteman, berpeluang 60% lebih tinggi menemui kematian pada usia dini dibandingkan dengan orang-orang yang berperilaku sebaliknya ramah, suka berteman, dan berbicara tenang. Sebuah tim peneliti lain di rumah sakit Lehigh Valley Pennsylvania, Amerika Serikat menemukan bahwa orang yang gampang marah, menyimpan perasaan bermusuhan, suka bersikap sinis, agresif berkaitan erat dengan peningkatan kematian akibat penyakit infark jantung

Tidak sulit menduga bahwa watak tertentu menimbulkan respons tubuh tertentu pula. Misalnya kita bisa melihat reaksi tubuh bagian luar orang yang sedang marah: muka merah, mata melotot dan berwarna merah, tubuh gemetar, berkeringat, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Babyak dan kawan-kawannya menduga bahwa orang-orang dari golongan pertama tadi secara kronis lebih cepat dibangkitkan dan terkena stres. Hal itu membuat mereka menghasilkan lebih banyak hormon stres yang merugikan dan lebih berisiko terkena penyakit jantung. Semua hasil penelitian di atas sebenarnya memperkuat ucapan Nabi Muhammad SAW sang ilmuwan sejati 14 abad yang lalu, bahwa silaturahmi memperpanjang usia dan memperluas rezeki.

Komunikasi Pernyataan Eksistensi Diri





Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Kita dapat memodifikasi frase filosuf Prancis Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal itu Cogito Ergo Sum ("Saya berpikir, maka saya ada”) menjadi "Saya berbicara, maka saya ada." Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, kita sebenarnya  menyatakan bahwa kita ada. Pengamatan sederhana atas anak-anak balita yang sedang bermain-main dengan teman-teman sebaya di lingkungan kita dengan mudah menunjukkan kepada kita "fenomena seorang anak yang berbicara sendirian untuk menunjukkan bahwa dirinya eksis, meskipun teman temannya itu asyik dengan diri dan mainan mereka masing-masing. Ketika anak-anak lain pergi, ia pun berhenti berbicara sendirian, dan ia pun mulai berbicara sendirian lagi ketika teman-temannya itu berada di dekatnya. 

 
Pengamatan juga menunjukkan bahwa bila seorang anggota kelompok diskusi tidak berbicara sama sekali dan memilih tetap diam, orang lain akan segera menganggap si pendiam itu tidak ada sama sekali. Anggota lain tidak meminta si pendiam itu untuk memberi komentar atau berbicara kepadanya. Dan bila si pendiam serta merta memutuskan berbicara, anggota lainnya sering bereaksi seolah-olah si pendiam itu mengganggunya. Mereka memperhatikannya sedikit saja. Mereka mengharapkan si pendiam itu tidak berbicara. Respons kelompok ini mungkin tidak akan terjadi bila sejak awal si pendiam membuat komentar dalam diskusi dan sekadar menunggu giliran untuk berbicara lagi. Namun bila partisipan ini pasif sama sekali, eksistensinya tampak hampir diabaikan para pembicara yang aktif. Si pendiam gagal menggunakan pembicaraan untuk menyatakan eksistensi dirinya.

Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri sering terlihat pada uraian penanya dalam seminar. Meskipun penanya sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebar, menguliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang sering tidak relevan. Eksistensi diri juga sering dinyatakan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang-sidang mereka yang bertele-tele: karena merasa dirinya paling benar dan paling penting, setiap orang ingin berbicara dan didengarkan. Fenomena itu misalnya pernah muncul dalam sidang-sidang selama berlangsungnya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bulan Oktober 1999 melalui banjir interupsi dari begitu banyak peserta sidang, khususnya pada tiga hari pertama. Banyak interupsi yang asal-asalan, tidak relevan, kekanak-kanakan, kocak, konyol, menjengkelkan, naif dan terkadang memuakkan. Kelompok Bagito melukiskan fenomena itu dengan tepat:

Baca jugaKomunikasi Pembentukan Konsep Diri

Suasana itu diperlucu lagi dengan para anggota yang berebut mencet tombol mike, mirip anak-anak yang baru mendapat mainan anyar dibarengi teriakan "interupsi-interupsi pimpinan hey, pimpinan hey!”  Seru, norak, kampungan ingin menang sendiri, semua terlihat langsung, Bahkan ada anggota Majelis yang enak aja nyelonong ngomong di saat orang lain bicara. Dia juga ngablak saja ngomong, walaupun pimpinan sidang yang memang lucu itu belum memberinya waktu berbicara

Sebuah kartun melukiskan antara lain beberapa peserta Bidang Umum MPR yang berupaya menyatakan eksistensi diri mereka dengan mengacungkan tangan (untuk melakukan interupsi) dalam sidang lembaga yang terhormat itu. yang dijawab oleh. “Apanya yang diinterupsi ngomong saja ketua sidang dengan belum.”

Popular Posts