Sunday, May 29, 2016

Komunikasi Pembentukan Konsep Diri

Konsep adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan diri itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang kepada kita. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lainnya tidak mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. Kita sadar bahwa kita manusia karena orang-orang di sekeliling kita menunjukkan kepada kita lewat perilaku verbal dan nonverbal mereka bahwa kita manusia. Bahkan kita pun tidak akan pernah menyadari nama kita adalah si "Badu" atau si "Mincreung," bahwa kita adalah lelaki, perempuan, pintar, atau menyenangkan, bila tidak ada orang-orang di sekitar kita yang menyebut kita demikian. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri Anda bila Anda telah dicintai; Anda mempercayai diri Anda bila Anda telah dipercayai, Anda berpikir Anda cerdas bila orang-orang di sekitar Anda menganggap Anda cerdas; Anda merasa Anda tampan atau cantik bila orang-orang di sekitar Anda juga mengatakan demikian.

Konsep diri kita yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga, dan orang-orang dekat lainnya di sekitar kita, termasuk kerabat. Mereka itulah yang disebut significant others. Orang tua kita, atau siapa pun yang memelihara kita pertama kalinya mengatakan kepada kita lewat ucapan dan tindakan mereka bahwa kita baik, bodoh, cerdas, nakal, rajin, ganteng, cantik, dansebagainya. Merekalah yang mengajari kita kata-kata pertama


Hingga derajat tertentu kita bagai kertas putih yang dapat mereka tulis apa saja atau tanah liat yang dapat mereka bentuk sekehendak mereka. Pendeknya kita adalah "ciptaan” mereka. Sayangnya tidak semua orang tua menyadari hal ini. Seorang ibu, ayah, atau kakak boleh jadi mengeluarkan kata-kata kepada anak: “Bodoh,” “Dasar anak nakal,” “Banci kamu!,” “Penakut,” "Kamu mau jadi diplomat, bahasa Inggris saja kamu nggak becus!”  atau “Nggak usahlah kamu masak soto ayam, masak air saja kamu nggak bisa!" Bila hal itu kerap terjadi sungguh itu akan merusak konsep diri anak yang pada gilirannya akan mereka percayai. Seorang anak mungkin saja cerdas tetapi karena dianggap bodoh ia akan sulit melakukan apa yang ia ingin lakukan, karena ia menganggap dirinya demikian. Pada gilirannya orang lain pun akan menganggapnya bodoh. Inilah yang disebut "nubuat yang dipenuhi sendiri"(self-fulfilling prophecy), yakni ramalan yang menjadi kenyataan karena, sadar atau tidak, kita percaya dan mengatakan bahwa ramalan itu akan menjadi kenyataan. Sebagian manusia yang secara fisik adalah pria tetapi berperasaan wanita (waria) boleh jadi telah diperlakukan sebagai wanita dalam sosialisasi awal mereka, baik oleh keluarga ataupun oleh komunitas nya. Film TV berjudul "Panggil Aku Puspa" yang dibintangi Donny Damara melukiskan waria bernama Puspa yang pada masa kecilnya adalah anak lelaki bernama Said yang suka diminta memerankan anak perempuan dalam permainan sandi bersama teman-temannya.

Dalam proses menjadi dewasa, kita menerima pesan dari orang-orang di sekitar kita mengenai siapa diri kita dan harus menjadi apa kita. Skenario itu ditetapkan orang tua kita, berupa antara lain arahan yang jelas sebagaimana skenario yang ditulis untuk sinetron atau drama. Arahan itu misalnya, "Cium tangan Kakek dan Nenek,” “Bilang terima kasih kepada Paman dan Bibi” Gunakan tangan bagus (kanan) untuk menerima hadiah itu” “Anak pintar!” “tiap orang dalam keluarga besar kita berpendidikan tinggi,” “Jangan kawin dengan orang berbeda agama” “Untuk terlihat cantik milikilah kulit yang putih (atau rambut yang lurus)," dan sebagainya. Orang-orang di luar keluarga kita juga memberi andil kepada skenario itu, seperti guru, Pak kiai sahabat, dan bahkan televisi, Semua mengharapkan kita memainkan peran kita. Menjelang dewasa, kita menemui kesulitan memisahkan siapa kita dari siapa kita menurut orang lain, dan konsep-diri kita memang terikat rumit dengan definisi yang diberikan orang lain kepada kita.

Meskipun kita berupaya berperilaku sebagaimana yang diharapkan orang lain, kita tidak pernah secara total memenuhi pengharapan orang lain tersebut. Akan tetapi, ketika kita berupaya berinteraksi dengan mereka, pengharapan, kesan, dan citra mereka tentang kita sangat mempengaruhi konsep-diri kita perilaku kita, dan apa yang kita inginkan. Orang lain itu "mencetak" kita, dan setidaknya kita pun mengasumsikan apa yang orang lain asumsikan mengenai kita. Berdasarkan asumsi-asumsi itu, kita mulai memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan orang lain. Bila permainan peran ini menjadi kebiasaan, kita pun menginternalinya. Kita menanamkan peran-peran itu kepada diri kita sebagai panduan untuk berperilaku. Kita menjadikannya bagian dari konsep diri kita. Dengan kata lain, kita merupakan cermin bagi satu sama lainnya. Bayangan saya pada cermin di kamar mandi menunjukkan apakah saya sudah bereukur atau belum. Saya harus melihat pada Anda siapa saya. Proses pembentukan diri tersebut dapat digambarkan secara sederhana, sebagau berikut.:




Aspek-aspek konsep diri seperti jenis kelamin, agama, kesukuan, pendidikan, pengalaman, rupa fisik kita, dan sebagainya kita internalisasikan lewat pernyataan (umpan balik) orang lain yang menegaskan aspek-aspek tersebut kepada kita, yang pada gilirannya menuntut kita berperilaku sebagaimana orang lain memandang kita. Identitas etnik khususnya merupakan unsur penting konsep diri. Howard F. Stein dan Robert F. Hill menyebutnya inti diri (the core of one's self), sedangkan George De Vos melukiskannya dalam arti sempit sebagai "perasaan sinambung dengan masa lalu, perasaan yang dipupuk sebagai bagian penting definisi diri."

Dalam konteks ini, identitas etnik seseorang berkembang melalui internalisasi atas "pengkhasan" (typication) diri oleh orang lain, khususnya orang-orang dekat di sekitarnya, mengenai siapa orang itu dan siapa orang lain berdasarkan latar belakang etnik. Internalisasi simbol, tanda, dan perilaku etnik ini terjadi tidak hanya pada masa kanak-kanak dan dalam keluarga, namun juga dalam lingkungan yang lebih luas lagi dan selama tahap-tahap kehidupan selanjutnya, bahkan setelah orang itu meninggalkan komunitas etniknya dan memasuki komunitas etnik yang baru. Semua aspek diri merupakan realitas yang diterima begitu saja dan tidak dipersoalkan lagi (taken-for-granted reality)

George Herbert Mead mengatakan setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat dan itu dilakukan lewat komunikasi. Jadi kita mengenal diri kita lewat orang lain, yang menjadi cermin yang memantulkan bayangan kita. Charles H. Cooley menyebut konsep diri itu sebagai the looking glass self, yang secara signifikan ditentukan oleh apa yang seseorang pikirkan mengenai pikiran orang lain terhadapnya, jadi menekankan pentingnya respons orang lain yang diinterpretasikan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri.



Teori Mead tentang konsep diri ini berlaku pula bagi pembentukan identitas etnik dalam arti bahwa konsep diri diletakkan dalam konteks keetnikan, sehingga diri dipandang spesifik secara budaya dan berlandaskan keetnikan. Menurut Mead seseorang lahir dalam suatu nasionalitas, suatu lokasi geografis, suatu kelompok etnik, dengan hubungan tertentu dengan lingkungan sosialnya. Dunia sosial yang melahirkan orang ini menyediakan suatu skema rujukan yang mempengaruhinya tanpa akhir dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya dan menafsirkan pengalaman hidupnya. Kelompok etnik ini mengkonstruksi realitasnya sendiri, menyediakan pengkhasan khusus atas diri, orang lain, dan objek-objek yang memudahkan penyesuaian seseorang ke dalam lingkungan sosialnya

Kesukuan, di samping agama, secara tradisional merupakan aspek terpenting konsep-diri kita. Begitu penting asal-usul kita itu, sehingga tanpa kepastian asal-usul itu, kita akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa kita memiliki dimensi terpenting identitas kita tersebut. Richard D. Alba mengatakan jawaban memuaskan atas pertanyaan "Siapakah aku?" menyangkut keterikatan kepada asal usul, suatu kebutuhan primordial yang pada dasarnya tidak luntur oleh hamparan peradaban. Alex Haley  dalam novelnya Roots secara dramatik melukiskan pencarian yang dilakukannya. Ia sengaja datang ke Afrika untuk mengetahui asal usulnya sebagai orang kulit hitam Amerika. Lebih kontemporer lagi, Antoinette Harrell Miller, wanita kulit hitam dan ibu rumah tangga di New Orleans AS, dengan bergairah dan harap-harap cemas melacak nenek moyangnya lewat tes DNA. Diketahui bahwa ia berbagi DNA dengan orang-orang Tuareq Nomadik yang bermukim di Niger dan beberapa bagian Afrika Barat. "Saya pasti telah membaca hasilnya seribu kali Saya menangis dan bahagia seperti pulang lewat pintu untuk tidak kembali lagi... Tak ada kata-kata yang melukiskan perasaan Anda ketika Anda mengetahui diri Anda dan warisan Anda yang hilang” ia tahu keluarganya telah tinggal di Selatan dari generasi ke generasi. Ia melacak catatan di gereja dan kerabat lebih tua untuk mengetahui nenek moyangnya. "Saya tahu sedikit. Tapi tak ada yang memandu saya ke Afrika”

Kita bisa memahami mengapa banyak orang yang sudah lama terurbanisasikan dan menjalani hidup modern di sebuah kota besar seperti Jakarta merasa perlu mengunjungi makam orang tua nan jauh di desa, misalnya pada hari raya Idul Fitri atau dalam beberapa hari setelahnya, karena ziarah tersebut menegaskan jati diri dan asal usul mereka.

Proses konseptualisasi diri ini berlangsung sepanjang hayat kita. Sejak kanak-kanak kita sering berfantasi mengenai diri yang kita inginkan, atau citra diri yang kita tunjukkan kepada orang lain sering konsep diri atau citra diri ini berubah-ubah, khususnya pada masa pertumbuhan. Ketika kecil, kita mungkin ingin menjadi pilot, dokter, wartawan, atau arsitek Akan tetapi, semakin banyak pengetahuan yang kita peroleh dan semakin luas pengalaman kita, cita-cita itu boleh jadi berubah, dan akhirnya kita menerima peran kita sebagai dosen, pengacara, seniman atau peran apa saja yang berbeda dengan citra diri yang dulu kita bayangkan. Konsep-diri kita pada usia 10 tahun, mungkin berbeda dibandingkan dengan ketika kita berusia 20 tahun, 35 tahun, atau 50 tahun


Konsep diri kita tidak pernah terisolasi, melainkan bergantung pada reaksi dan respons orang lain. Dalam masa pembentukan konsep diri itu, kita sering mengujinya, baik secara sadar ataupun tidak sadar. Dalam "permainan peran" ini, niat murni kita untuk menciptakan konsep diri kita mungkin memperoleh dukungan, berubah, atau bahkan penolakan. Dengan cara ini, interpretasi orang lain mengenai bagaimana kita seharusnya akan membantu menentukan akan menjadi apa kita. Dan kita mungkin menjadi sedikit banyak- apa yang orang lain harapkan. Ada kalanya kita menjadi sekadar "badut" atau "bunglon” menunjukkan konsep diri palsu yang tidak sepenuhnya kita inginkan, sehingga karena konformitas itu, kita menjadi tertekan. Namun umumnya kita memang mencoba memenuhi apa yang orang lain harapkan dari kita. Kesan orang lain terhadap kita itu berpengaruh kuat pada diri kita. Bila kawan-kawan kuliah menganggap kita cerdas, dan kita menerima anggapan tersebut, kita berusaha keras untuk memenuhi anggapan itu dengan rajin belajar untuk memperoleh nilai ujian yang tinggi. Untuk membuktikan bagaimana kesan orang lain berpengaruh terhadap konsep diri seseorang beberapa mahasiswa dapat bersekongkol untuk memuji kecantikan seorang wanita teman mereka pada waktu berlainan. Hari-hari berikutnya sang teman wanita itu akan terlihat lebih rapi, lebih sering melihat cermin yang dibawanya, dan mungkin lebih genit lagi.

Kesan yang orang lain miliki tentang diri kita dan cara mereka bereaksi terhadap kita sangat bergantung pada cara kita berkomunikasi dengan mereka, termasuk cara kita berbicara dan cara kita berpakaian. Proses umpan balik ini dapat berubah arah. Ketika kita melihat orang lain bereaksi terhadap kita dan kesan yang mereka miliki tentang kita, kita boleh jadi mengubah cara kita berkomunikasi karena reaksi orang lain itu tidak sesuai dengan cara kita memandang diri kita. Jadi citra yang Anda miliki tentang diri Anda dan citra yang orang lain miliki tentang diri Anda berkaitan dalam komunikasi


Kita dapat memperkirakan perbedaan konsep diri wanita yang sehari-harinya berjilbab dengan konsep diri wanita yang berpakaian serba terbuka. Dengan memperhatikan kata-kata yang orang ucapkan, kita dapat menduga dari kelas atau golongan mana ia berasal. Sadar akan pentingnya citra-diri di mata orang lain, sebagian orang berbicara dengan menggunakan banyak istilah asing meskipun tata bahasa atau ucapannya keliru yang padanan katanya sebenarnya juga tersedia dalam bahasa Indonesia agar dipandang intelektual dan modern. Sebagian pejabat pada era Orde Baru yang non-Jawa mengucapkan kalimat dengan sisipan "daripada" atau menekankan akhiran "ken" agar dipandang bahwa mereka itu memang pejabat.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts