Tuesday, May 31, 2016

FUNGSI KOMUNIKASI RITUAL



Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan (melamar tukar cincin), siraman, pernikahan (ijab kabul, sungkem kepada orang tua, sawer, dan sebagainya), ulang tahun perkawinan, hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku perilaku simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, komunitas, sukubangsa, negara, ideologi atau agama mereka

Salat kaum Muslim yang mengarah ke Ka'bah melambangkan kesatuan dan persatuan umat Muslim yang ber-Tuhan satu (Allah). Dalam upacara haji, pakaian ihram berwarna putih dan tidak dijahit yang dikenakan jamaah pria melambangkan kesederajatan seluruh umat manusia, sedangkan jumrah (melempar pilar dengan sejumlah kerikil di Mina) melambangkan pengusiran setan yang dilakukan Nabi Ibrahim dulu dengan melempar setan itu (yang kini dilambangkan pilar) dengan kerikil. Orang-orang Katolik memakan roti dan meminum anggur yang melambangkan daging dan darah Yesus dalam misa mereka untuk juga secara simbol turut merasakan penderitaan Sang Juru Selamat. Pada Pekan Suci Perayaan Paskah secara Katolik di Vatikan, (mendiang) Paus Yohannes Paulus II lazim membasuh dan mencium kaki seorang pastor, satu di antara kedua belas Pastor terpilih. Ciuman Paus itu merupakan tradisi setiap Kamis Putih, satu dari empat hari utama Perayaan Paskah untuk memperingati perjamuan terakhir Yesus dengan kedua belas muridnya sebelum ia mati disalib. Di Indonesia, beberapa organisasi keagamaan (islam) atau partai politik mengadakan acara istighosah untuk mendoakan agar pemimpin mereka menjadi pemimpin bangsa, agar para pemimpin diberi petunjuk, atau agar bangsa indonesia terhindar dari bencana nasional.


Fungsi ritual juga tampak dalam acara pelamaran yang dilakukan keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Wakil keluarga pria meminta kesediaan dari keluarga calon mempelai wanita agar putri mereka dijadikan istri calon mempelai pria, dan keluarga calon mempelai wanita kemudian memenuhi permintaan itu. Dan kita tahu peristiwa itu hanya sekadar “sandiwara,” karena sebenarnya sebelum pelamar itu berlangsung, kedua keluarga sudah sepakat akan rencana menempuh hidup baru. Dalam upacara anak-anak mereka untuk perkawinan adat Sunda, adegan pengantin wanita membersihkan kaki pengantin pria setelah pengantin pria menginjak telor mentah melambangkan kesetiaan dan pengabdian istri kepada suami, dan kesediaan untuk memperoleh bimbingannya, sementara huap lingkung (saling menyuapi makanan, biasanya daging ayam) melambangkan bahwa suami-istri harus harmonis saling membutuhkan, saling memberi dan menerima, dan saling menyayangi.

Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam seseorang. Orang menziarahi makam Nabi Muhammad, bahkan menangis di dekatnya, untuk menunjukkan kecintaan nya kepadanya. Para siswa yang menjadi pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) mencium bendera merah putih, sering dengan berlinang airmata, dalam pelantikan mereka untuk menunjukkan rasa cinta mereka kepada nusa dan bangsa terlepas dari apakah kita setuju terhadap perilaku mereka atau

Sebagian respons kita terhadap ( lambang) cinta, keluarga negara, dan agama untuk menyebut beberapa hal saja yang terpenting dalam kehidupan kita mungkin tidak kita sadari. Respons manusia dalam menanggapi lambang-lambang ini tidak bersifat ekstrem dan tidak masuk akal bagi kebanyakan orang, misalnya sepasang kekasih yang sama-sama bunuh diri karena hubungan mereka tidak direstui salah satu atau kedua pihak orang tua, atau individu yang melakukan pemboman bunuh diri untuk membunuh seseorang atau sekelompok orang tertentu yang mereka anggap musuh. Hal ini misalnya sering dilakukan orang Palestina terhadap
orang Israel. Bunuh diri ala Jepang (harakiri) bahkan merupakan upacara yang lebih terencana lagi. Tradisi merobek perut sendiri dengan senjata tajam ini dulu dilakukan kaum Samurai Jepang atau berdasarkan keputusan pengadilan sebagai pengganti hukuman mati. Beberapa pejabat atau tokoh Jepang masa kini yang melakukan kesalahan mengikuti jejak kaum samurai tersebut untuk menebus rasa bersalah mereka dan untuk menunjukkan tanggung jawab mereka atas kesalahan yang dilakukannya atau bawahannya.

Ritual sering merupakan peristiwa sederhana. Misalnya seorang "Bu, saya pergi," sebelum ia pergi kuliah sambil menyalami atau mencium tangan orang tuanya. Seseorang mengucapkan selamat pagi kepada atasannya setiap ia masuk kantor atau seseorang mengucapkan selamat tinggal melambaikan tangan ketika ia berpisah dengan orang yang dicintainya di bandar udara. Ritual-ritual kecil itu berfungsi sebagai perekat hubungan antarpribadi.


Seseorang yang memasuki kelompok baru sering harus menjalani upacara untuk secara resmi diterima kelompok tersebut mulai dari mahasiswa yang harus menjalani perpeloncoan hingga pria dewasa yang memasuki mafia kejahatan. Inisiasi ini misalnya dijalani Joseph M. Valachi, tersangka pembunuh berusia 60 tahun yang dengan tenang menceritakan sejarah dan metode kejahatan organisasi yang dimasukinya, Cosa Nostra, seperti yang dilaporkan.

New York Times:
Menurut Valachi, ia dibawa ke dalam sebuah ruangan yang besar, di mana terdapat 30 atau 35 lelaki duduk di tepi sebuah meja panjangTerdapat sepucuk pistol dan sebilah pisau di atas meja” Valachi bersaksi. “Saya duduk di ujung. Mereka mendudukkan saya di sebelah Maranzaro. Saya mengulagi beberapa kata dalam bahasa Sicilia yang diucapkannya”Kamu hidup dengan sepucuk pistol dan sebilah pisau di atas meja” Valachi berkata bahwa Maranzaro memberinya selembar kertas dan membakarnya sementara ia memegangnya dengan tangannya. “Saya mengulangi dalam bahasa Sicilia. ‘Inilah cara saya terbakar bila saya mengkhianati organisasi’” Valachi kemudian menceritakan, para pria di tepi meja itu menghasilkan sebuah nomor dengan menjumlahkan jari jemari yang diacungkan setiap orang antara satu hingga lima jari. Jumlah total itulah yang diambil. Dimulai dengan Maranzaro jumlah itu kemudian dihitung. Orang yang sesuai dengan nomor akhir itulah yang ditunjuk menjadi Godfather-nya Valachi dalam keluarga. Menurut Valachi, undian itu jatuh pada Bonanno Valachi kemudian berkata bahwa jarinya ditusuk jarum yang dipegang Bonanno untuk menunjukkan bahwa ia "sedarah" dengan Bonanno. Setelah itu, lanjut Valachi, semua yang hadir berpegangan tangan sebagai tanda ikatan kepada organisasi. Valachi berkata dua ia diberi aturan dalam organisasi malam itu satu mengenai kepatuhan kepada organisasi dan satu nya lagi janji untuk tidak memiliki istri, saudara perempuan atau putri anggota lain. Untuk pertama kalinya, ia berwajah cemberut. “Inilah hal terburuk yang dapat saya lakukan, menceritakan upacara itu,”  kata nya. “Inilah ajal saya, menceritakannya pada kalian dan pers”

Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan sebagai pengabdian kepada kelompok. Ritual menciptakan perasaan tertib (a sense of order) dalam dunia yang tanpanya kacaubalau. Ritual memberikan rasa nyaman akan keteramalan (sense of predictability). Bila ritual tidak dilakukan orang menjadi bingung, misalnya bila dua orang bertemu pada hari lebaran dan orang pertama mengulurkan sedangkan orang kedua sekadar memandangnya, kebingungan dan ketegangan muncul. Bukankah subtansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terkait oleh sesuatu yang lebih besar dari pada diri kita sendiri, yang bersifat “abadi” dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok (agama, ethnic, sosial) kita. Maka di penghujung abad ke-20 saya menyaksikan seorang pemuda sarjana ekonomi dari suatu keluarga kelas menengah di Bandung, menangis tersedu-sedu ketika ia dicucuri air yang dihiasi dengan berbagai macam bunga oleh para tetua nya dalam acara siraman di teras rumahnya, dua hari sebelum hari pernikahannya, sementara seorang pria di ruang tamu menyenandungkan berbagai nasihat, dan mengingatkan sang pemuda akan masa kecilnya, diiringi lantunan musik Sunda kecapi suling yang menyayat hati.


Kita memang bukan makhluk rasional semata-mata. Bila segala kegiatan manusia harus rasional, mengapa kita harus melakukan upacara pernikahan atau upacara pemakaman? Bukankah upacara-upacara itu sia-sia saja, dan mubazir? Bukankah upacara pernikahan cukup diganti dengan janji atau kesepakatan antara kedua orang calon suami-istri itu, yang dicatat pada selembar kertas atau direkam dalam suatu kaset? Mengapa orang yang meninggal tidak segera saja dikuburkan? Mengapa si mayat harus dibersihkan dan didandani terlebih dulu? Mengapa harus ada ritual lagi pada saat pemakaman. Agama tentu saja dapat memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Akan tetapi, selain mengandung makna keagamaan, upacara-upacara itu, upacara pemakaman misalnya, menegaskan kembali tempat manusia dalam masyarakat, keluarga, persahabatan, dan dalam cinta. Hal itu juga menegaskan kembali jati dirinya, kekhususan hidupnya, kesenjangan yang ia tinggalkan dalam kehidupan orang lain. Seorang manusia bukan seperangkat mesin dan tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh orang lain; setiap manusia itu unik dan keunikan nya juga diperingati kembali. Masyarakat menyatakan kepeduliannya kepada setiap anggotanya dan para penerusnya lewat upacara pemakaman. Masyarakat menegaskan kematian seorang manusia dan kesinambungan nya, dalam memori dan pengaruh, dalam keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, beralasan bila dalam Hamlet, karya sastra Shakespeare yang legendaris itu, penutupnya bukanlah kematian sang pangeran, melainkan pemakaman ketentaraan yang simbolik dan orasi yang disampaikan penerus Hamlet. Fortinbras. Makna hidup Hamlet dikemukakan dan kebajikan-kebajikannya dipuji. Ia bukan hanya seorang pangeran, namun pangeran yang satu ini, dan kematiannya membuat negerinya kehilangan dia. Dalam masyarakat kita pun, lazimnya hanya kebaikan-kebaikan si mati yang dikemukakan ketika ia dimakamkan, meskipun selama hidupnya ia koruptor besar dan penindas rakyat. Ia bahkan dimakamkan di taman makam pahlawan, dibuatkan patungnya, dan diabadikan namanya menjadi nama gedung atau nama jalan.

Arti pentingnya komunikasi ritual juga tampak pada iklan-iklan untuk menyampaikan duka cita atas kematian seseorang yang dihormati atau untuk mengenang seseorang tercinta yang telah meninggal dunia bertahun-tahun lalu, yang memberikan imbalan setimpal kepada si pemasang iklan, meskipun si pemasang iklan harus merogoh kocek nya ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Teks dari suatu iklan keluarga yang dimuat suatu surat kabar nasional berbunyi seperti berikut ini: “Dua tahun sudah engkau meninggalkan kami. Kesakitan dan penderitaan telah engkau tinggalkan Kerjamu telah selesai dan engkau telah kembali kepada Bapa di surga. Namun kenangan indah tentang dirimu tetap hidup dalam kenangan kami selamanya.”

Komunikasi ritual ini kadang-kadang bersifat mistik, dan mungkin sulit dipahami orang-orang di luar komunitas tersebut. Suku Aborigin, penduduk asli Australia yang mata pencaharian tradisionalnya adalah berburu dan mengumpulkan makanan, melakukan upacara tahunan untuk memperoleh peningkatan rezeki. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati tanaman dan hewan yang juga berbagi tanah air. Menurut kepercayaan mereka, upacara itu penting dilaksanakan untuk menjamin kelestarian tanaman dan hewan yang menentukan kelangsungan hidup manusia. Contoh lain, para penguasa despotik yang memerintah bangsa Aztec, melakukan upacara mistik yang bahkan meminta pengorbanan manusia, untuk memperoleh kekuasaan mereka.


Hingga kapan pun ritual tampaknya akan tetap menjadi kebutuhan  manusia, meskipun bentuknya berubah-ubah demi pemenuhan jati dirinya sebagai individu, sebagai anggota komunitas sosial, dan sebagai salah satu unsur dari alam semesta. Salah satu ritual modern adalah olah raga." Sebagaimana dikemukakan Michael Novak dalam bukunya The Joy of Sports (1976), olah raga, khususnya kompetisi tingkat dunia, mirip dengan upacara keagamaan. Peristiwa itu mencakup tata cara yang hampir dianggap suci dan harus dipatuhi. Di samping itu, peristiwa itu juga menggunakan lambang-lambang seperti bendera, lagu kebangsaan. kostum, tempat-tempat “suci” yang dikhususkan bagi pemain, pelatih, penonton, juga batasan waktu, dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts