Monday, May 30, 2016

Komunikasi Untuk Kelangsungan Hidup



Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memenuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Maslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan-diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan dasar harus dipenuhi sebelum kebutuhan sekunder diupayakan. Kita mungkin sudah mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa aman lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat butuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah dan mengambil keputusan, dan tujuan sosial serta hiburan.

Baca Juga: Komunikasi Pernyataan Eksistensi Diri

Komunikasi, dalam konteks apa pun, adalah bentuk dasar adaptasi terhadap lingkungan. Menurut Rene Spitz, komunikasi (ujaran) adalah jembatan antara bagian luar dan bagian dalam kepribadian: "Mulut sebagai rongga utama adalah jembatan antara persepsi dalam dan persepsi luar; ia adalah tempat lahir semua dasarnya; ia adalah tempat transisi bagi persepsi luar dan model perkembangan aktivitas intentional, bagi munculnya kemauan dari kepasifan

Perilaku komunikasi pertama yang dipelajari manusia berasal dari sentuhan orang tua sebagai respons atas upaya bayi untuk memenuhi kebutuhannya. Orang tua menentukan upaya mana yang akan diberi imbalan, dan anak segera belajar merangsang dorongan itu dengan menciptakan perilaku mulut yang memuaskan si pembelai. Dengan kata lain si anak membalas belaian orang tuanya. Anak cepat beradaptasi terhadap ibunya sendiri. Berdasarkan respons anak yang berulang, sang ibu akhirnya dapat membedakan suara anaknya, apakah sang anak marah sakit lapar, kesepian, atau sekadar bosan. Pesan-pesan ini sulit dipahami oleh orang yang bukan ibunya.

Pada tahap itu, komunikasi ibu dan anak masih sederhana.Komunikasi anak hanya memadai bagi lingkungannya yang terbatas. Pada tahap selanjutnya, anak memasuki lingkungan yang lebih besar lagi: kerabat, keluarga, kelompok bermain, komunitas lokal (tetangga), kelompok sekolah, dan seterusnya. Ketika anak memasuki sekolah, ia harus mengembangkan keterampilan baru untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan lebih luas, dan terutama untuk memenuhi kebutuhan intelektual dan sosialnya. Ketika anak itu dewasa dan mulai memasuki dunia kerja. Lebih banyak lagi keterampilan komunikasi yang ia butuhkan untuk mempengaruhi atau meyakinkan orang lain, termasuk penguasaan bahasa asing misalnya, yang kesemuanya itu merupakan sarana untuk mencapai keberhasilan, Ringkasnya, komunikasi itu penting bagi pertumbuhan sosial, sebagaimana makanan penting bagi pertumbuhan fisik

Melalui komunikasi pula kita dapat memenuhi kebutuhan emosional kita dan meningkatkan kesehatan mental kita. Kita belajar makna cinta, kasih sayang, keintiman, simpati, rasa hormat, rasa bahkan iri hati, dan kebencian. Melalui komunikasi kita bangga, dapat mengalami berbagai kualitas perasaan itu dan membandingkannya antara perasaan yang satu dengan perasaan lainnya Karena itu tidak mungkin kita dapat mengenal cinta bila tidak mengenal benci. Kita tidak akan mengenal makna pelecehan bila kita tidak mengenal makna penghormatan. Lewat umpan balik orang lain kita memperoleh informasi bahwa kita orang yang sehat secara jasmaniah dan rohaniah, dan bahwa kita orang yang berharga. Penegasan orang lain atas diri kita membuat kita merasa dan percaya diri. Pernahkah Anda nyaman dengan diri sendiri memasuki sebuah tempat dan menemukan bahwa orang-orang yang Anda kenal tidak mempedulikan Anda dan menganggap Anda orang asing atau tidak ada? Penyangkalan mereka atas eksistensi kita membuat kita merasa tidak nyaman, bukan?


Untuk memperoleh kesehatan emosional, kita harus memupuk perasaan-perasaan positif dan mencoba menetralisasikan perasaan-perasaan negatif. Orang yang tidak pernah memperoleh kasih sayang dari orang lain akan mengalami kesulitan untuk menaruh perasaan itu terhadap orang lain, karena ia sendiri tidak pernah mengenal dan merasakan perasaan tersebut. Kita hanya bisa mengeksternalisasikan suatu makna, gagasan, atau perasaan yang internalisasikan dari lingkungan kita. Begitulah, dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar ataupun tidak, kita sering mengucapkan “Selamat pagi” ”Halo," “Assalamu'alaikum” "Apa kabar?" menanyakan keadaan keluarga, pekerjaan, mengomentari cuaca, atau menganggukkan kepala, melambaikan tangan, menepuk bahu, atau bersalaman, untuk setidaknya mengakui kehadiran orang lain, untuk menunjukkan bahwa kita ramah, dan untuk menumbuhkan atau memupuk kehangatan dengan orang lain. Komunikasi itulah yang fatik (phatic communication)

Komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi dilakukan untuk pemenuhan diri, untuk merasa terhibur, nyaman dan tenteram dengan diri sendiri dan juga orang lain. Dua orang dapat berbicara jam-jam, dengan topik yang berganti ganti, tanpa mencapai tujuan yang pasti. Pesan-pesan yang mereka per tukarkan mungkin hal-hal yang remeh, namun pembicaraan itu membuat keduanya merasa senang. Para psikolog menunjukkan kepada kita bahwa bnyak perilaku manusia itu dimotivasi oleh kebutuhan untuk menjaga keseimbangan emosional atau mengurangi ketegangan internal dan rasa frustrasi. Kita bisa memahami mengapa seseorang yang mengemukakan persoalan pribadinya kepada orang lain yang dipercayainya merasa beban emosional nya berkurang. Komunikasi fatik semacam ini dapat sekaligus berfungsi sebagai mekanisme menunjukkan ikatan sosial dengan orang yang bersangkutan apakah sebagai sahabat, teman sejawat, kerabat, mantan dosen, dan sebagainya. Sapaan "Hei, ke mana saja kamu selama ini?" terhadap orang yang lama tidak kita jumpai menyenangkan diri-sendiri dan orang yang kita sapa serta sekaligus menunjukkan bahwa kita punya ikatan sosial tertentu dengan orang itu

Bila seseorang bertanya, "Apa kabar?" atau "Bagaimana keadaan Anda?" kepada kita, kita tidak menjawabnya seperti kalau kita ditanya seorang dokter. Hampir otomatis, jawaban kita adalah "Baik.” Bila jawaban yang kita berikan adalah jawaban yang sesungguhnya, kita mungkin akan dianggap orang aneh, tidak tahu sopan santun atau ingin bergurau, seperti jawaban, "Aduh, saya lagi pusing (atau sakit koreng, ambeien, jantung, dan sebagainya) nih," "Saya lagi bokek," atau "Dibandingkan dengan siapa? Dengan Anda atau istri saya”

Sering kita bertanya kepada seseorang, untuk sekadar mengakui kehadirannya, bukan untuk mengetahui jawabannya. (“Udah tananya!"). Misalnya, sapaan "Sekolah, Dik?" kepada seorang pelajar putri berseragam abu-abu yang pagi-pagi bergegas di jalan, atau “Dari pasar, Bu?" kepada seorang tetangga yang baru turun dari becak yang membawa sayur-sayuran. Di kalangan orang Melayu Riau, di Pekanbaru khususnya, orang biasa menjawab, "Tak ade” untuk sapaan-sapaan seperti, "Ke mana?" "Kerja apa sekarang” “Banyak dapat ikan?" Jawaban itu bukan berarti bohong atau nol melainkan kebiasaan untuk tidak menonjolkan diri dan untuk menjaga harmoni

Dalam komunikasi fatik, pokok pembicaraan atau kata-kata tidaklah penting, seperti yang dilukiskan pengalaman nyata seorang pebisnis Amerika yang berkunjung ke Eropa untuk pertama kalinya. Pria Amerika ini sedang makan siang, dan duduk di dekat seorang pria Prancis. Tidak seorang pun bisa berbicara bahasa “teman" makannya, namun keduanya saling menyapa dengan senyum. Ketika pelayan menyuguhkan minuman anggur (wine) pria Prancis mengangkat gelasnya dan berkata, "Bon appetit!” Pria Amerika tidak mengerti ucapan itu dan menjawab "Ginzberg." Tidak ada kata lain yang mereka ucapkan saat itu. Malam itu, dalam acara makan malam, keduanya bertemu lagi dan duduk di meja yang sama. Sekali lagi pria Prancis menyapa pria Amerika dengan ucapan "Bon appetit!" ketika ia mengangkat gelas yang berisi wine. Lagi pria Amerika itu menjawab, "Ginzberg." Pelayan memperhatikan pertukaran sapaan yang ganjil ini, dan setelah makan malam, mengajak pria Amerika itu meminggir untuk menjelaskan bahwa pria Prancis itu bukan memberitahukan namanya, melainkan mengucapkan selamat makan. Hari berikutnya pria Amerika itu sengaja makan siang bersama pria Prancis itu lagi agar ia dapat memperbaiki kekeliruannya. Pria Amerika berinisiatif mengangkat gelas minuman dan berkata, "Bon appetit!” yang di jawab oleh pria Prancis dengan bangga “Ginzberg

Melalui komunikasi dengan orang lain, kita dapat kebutuhan emosional dan intelektual kita, dengan memupuk hubungan yang hangat dengan orang-orang di sekitar kita. Tanpa pengasuhan dan pendidikan yang wajar, manusia akan mengalami kemerosotan emosional dan intelektual. Kebutuhan emosional dan intelektual itu kita peroleh pertama-tama dari keluarga kita, lalu dari orang-orang dekat di sekeliling kita seperti kerabat dan kawan-kawan sebaya dan barulah dari masyarakat umumnya, termasuk sekolah dan media seperti kabar dan televisi. Khususnya dalam lingkungan keluarga, kebutuhan biologis, emosional dan intelektual anak bisa dipenuhi dengan tindakan anggota keluarga lainnya, terutama orang tua. Pada gilirannya kebutuhan suatu keluarga juga akan dipenuhi oleh pihak lainnya, dan kebutuhan mereka bersama-sama sebagai suatu komunitas juga akan dipenuhi oleh komunitas lainnya begitulah seterusnya. Semua kerja sama untuk mencapai kesejahteraan itu pertama-tama dan terutama dilakukan lewat komunikasi

Orang yang tidak memperoleh kasih sayang dan kehangatan orang-orang di sekelilingnya cenderung agresif. Pada giliran agresivitas ini melahirkan kekerasan terhadap orang lain seperti ditunjukkan berbagai penelitian. Misalnya, Philip zimbardo melakukan penelitian ekstensif di Amerika Serikat tentang hubungan antara anonimitas (keterasingan) dan agresi (kekerasan). Ia dan kawan-kawannya meninggalkan sebuah mobil tanpa pelat nomor dan tanpa kap di sebuah jalan di Palo Alto, Califormia, juga meninggalkan mobil serupa di sebuah jalan di daerah Bronx, New York, yang penduduknya tidak saling mengenal dan terasing antara satu dengan lainnya. Dalam dua kasus itu masing-masing mobil berwarna putih dan ditempatkan di daerah kelas engah dekat sebuah universitas besar

Di Palo Alto mobil tersebut tidak dijamah siapa pun selama seminggu lebih, kecuali seseorang yang lewat merendahkan kap mobil agar mesin mobil tidak basah. Di Bronx dalam beberapa jam saja dan pada siang hari bolong orang-orang dewasa dan anak-anak muda mempreteli onderdil mobil yang masih bisa dipakai dan dijual. Tidak ada orang yang mempedulikan perilaku mereka. Berikutnya, anak-anak memecahkan kaca depan dan kaca belakang mobil, lalu orang-orang dewasa menghantam mobil itu dengan batu, pipa dan palu. Dalam waktu kurang dari tiga hari mobil itu menjadi barang rongsokan yang hancur tanpa bentuk. Kejadian itu menunjukkan betapa keterasingan yang dialami seseorang cenderung membuatnya berperilaku agresif, dan bahkan brutal.



Lebih jauh lagi, komunikasi juga telah dihubungkan bukan hanya dengan kesehatan psikis, tetapi juga kesehatan fisik. Seperti ditunjukkan Sommers berdasarkan berbagai sumber yang diperolehnya, orang-orang yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk terserang penyakit jantung, kanker, kemangkiran, dan dirawat di rumah sakit

Sebaliknya, marginalities sosial berkaitan dengan kemungkinan lebih tinggi terkena penyakit jantung, kanker, depresi, darah tinggi, arthritis, schizophrenia, tuberculosis, dan kematian. Suatu atas 2320 pria yang selamat dari penyakit infark jantung (myocardial infaretion) menemukan bahwa orang-orang yang terisolasi secara sosial dan menderita stres tinggi menunjukkan tingkat kematian empat kali lebih tinggi yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor risiko fisik dan akses terhadap perawatan medis

Penelitian selama lebih dari 10 tahun secara ajeg menunjukkan hubungan yang erat antara stres dan penyakit akut. Terdapat cukup data yang secara jelas menghubungkan ciri-ciri kepribadian sebagai faktor risiko yang menimbulkan penyakit kanker dan penyakit jantung. Orang yang lebih mandiri, kalem dalam menghadapi stres dan mengambil keputusan seraya tetap optimistic, mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk terkena kanker dan penyakit jantung. Orang yang menekan emosinya dan merasa tak berdaya dalam menghadapi stres lebih rentan terhadap kanker, sedangkan orang agresif dan bereaksi terhadap stres dengan respons emosional yang berlebihan lebih mungkin terkena penyakit jantung

Sommer juga mengemukakan, terdapat hubungan antara sistem saraf pusat dan sistem kekebalan. Itu terjadi via sistem saraf otonomik dan sistem peredaran darah. Penjelasannya cukup rumit. Akan tetapi, cukuplah dikatakan bahwa stres psikologis yang kronis mempunyai efek yang merugikan fungsi kekebalan sementara intervensi psikologi seperti tertawa, relaksasi dan meditasi, serta olahraga yang cukup mempunyai efek positif terhadap fungsi kekebalan. New England Journal of Medicine melaporkan tahun 1991 bahwa stres psikologis berkaitan dengan peningkatan risiko terkena pilek akut yang disebabkan lima yang berbeda

Stewart menunjukkan bahwa orang yang terkucil secara sosial cenderung lebih cepat mati. Selain itu, kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya. Surat kabar The Age (24 Desember 1998) dengan judul "Get A Wife for a Longer Life" menunjukkan, di Australia ternyata pria maupun wanita yang menikah hidup lebih lama daripada yang tidak menikah atau yang bercerai. Namun kaum pria lebih "diuntungkan" karena pria berusia 20-69 tahun yang tidak menikah angka kematiannya dua sampai empat kali lebih banyak daripada pria yang menikah

Jauh sebelum itu, Kaisar Frederick II, penguasa Romawi abad ke-13, membuat percobaan dengan memasukkan sejumlah bayi ke laboratorium, Anak-anak itu dimandikan dan disusui oleh ibu-ibu namun bayi-bayi itu tidak diajak berbicara. la ingin mengetahui apakah bayi-bayi itu akan berbicara dalam bahasa Hebrew, atau Yunani, atau Latin, atau Arab, atau bahasa orang tua yang telah melahirkan mereka. Upaya tersebut sia-sia karena semua bayi itu. Mereka tak dapat hidup tanpa belaian, wajah riang, dan kata-kata sayang ibu angkat mereka." 

Pada tahun 1945 Rene Spitz melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kesehatan bayi-bayi yang jarang memperoleh belaian manusia akan mengalami kemerosotan dan menderita penyakit yang mengancam jiwa mereka. Tahun 1957 JD. French melaporkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kelangkaan rangsangan emosional dan sensoris menimbulkan kemunduran pada struktur otak manusia, yang pada gilirannya mengakibatkan kekurangan gizi, dan akhirnya dapat berujung pada kematian. Sementara itu, Eric Berne mengembangkan suatu teori hubungan sosial yang ia sebut Transactional Analysis (1961). Teorinya berdasarkan hasil penelitian mengenai keterlantaran indrawi (sensory deprivation) yang menunjukkan bahwa bayi-bayi yang kekurangan belaian dan hubungan manusiawi yang normal menunjukkan tanda-tanda kemerosotan fisik dan mental yang bisa berakibat fatal. Ia menyimpulkan bahwa sentuhan emosional dan indrawi itu penting bagi kelangsungan hidup manusia. Ia menyimpulkan teorinya dengan ungkapan bahwa “If you are not stroked your spinal cord will shrivel up” (Jika engkau tidak mendapatkan belaian, urat saraf tulang belakangmu akan layu)

Menurut Berne dalam bukunya Games People Play (1964), belaian (stroke) adalah istilah umum untuk kontak fisik intim yang praktiknya dapat mengambil berbagai bentuk. Sebagian orang secara harfiah membelai seorang bayi; sebagian lagi memeluknya atau menepuknya, sementara lainnya lagi mencubitnya atau menyentuhnya dengan ujung jari. Menurut Berne, dalam arti luas, belaian mengisyaratkan pengakuan atas kehadiran orang lain. Karena itu belaian dapat digunakan sebagai unit dasar tindakan sosial.

Kaitan erat antara komunikasi yang manusiawi (tulus, hangat dan akrab) dengan harapan hidup di per teguh oleh penelitian mutakhir yang dilakukan Michael Babyak dari Universitas Duke, dan beberapa kawannya dari beberapa universitas lain di Amerika Melalui penelitian yang mengambil 750 orang kulit putih dari kelas menengah sebagai sampel, dan memakan waktu 22 tahun Babyak dan rekan-rekannya menemukan bahwa orang-orang yang memusuhi orang lain, mendominasi pembicaraan, dan tidak suka berteman, berpeluang 60% lebih tinggi menemui kematian pada usia dini dibandingkan dengan orang-orang yang berperilaku sebaliknya ramah, suka berteman, dan berbicara tenang. Sebuah tim peneliti lain di rumah sakit Lehigh Valley Pennsylvania, Amerika Serikat menemukan bahwa orang yang gampang marah, menyimpan perasaan bermusuhan, suka bersikap sinis, agresif berkaitan erat dengan peningkatan kematian akibat penyakit infark jantung

Tidak sulit menduga bahwa watak tertentu menimbulkan respons tubuh tertentu pula. Misalnya kita bisa melihat reaksi tubuh bagian luar orang yang sedang marah: muka merah, mata melotot dan berwarna merah, tubuh gemetar, berkeringat, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Babyak dan kawan-kawannya menduga bahwa orang-orang dari golongan pertama tadi secara kronis lebih cepat dibangkitkan dan terkena stres. Hal itu membuat mereka menghasilkan lebih banyak hormon stres yang merugikan dan lebih berisiko terkena penyakit jantung. Semua hasil penelitian di atas sebenarnya memperkuat ucapan Nabi Muhammad SAW sang ilmuwan sejati 14 abad yang lalu, bahwa silaturahmi memperpanjang usia dan memperluas rezeki.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts