Monday, May 30, 2016

Komunikasi Pernyataan Eksistensi Diri





Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Kita dapat memodifikasi frase filosuf Prancis Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal itu Cogito Ergo Sum ("Saya berpikir, maka saya ada”) menjadi "Saya berbicara, maka saya ada." Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, kita sebenarnya  menyatakan bahwa kita ada. Pengamatan sederhana atas anak-anak balita yang sedang bermain-main dengan teman-teman sebaya di lingkungan kita dengan mudah menunjukkan kepada kita "fenomena seorang anak yang berbicara sendirian untuk menunjukkan bahwa dirinya eksis, meskipun teman temannya itu asyik dengan diri dan mainan mereka masing-masing. Ketika anak-anak lain pergi, ia pun berhenti berbicara sendirian, dan ia pun mulai berbicara sendirian lagi ketika teman-temannya itu berada di dekatnya. 

 
Pengamatan juga menunjukkan bahwa bila seorang anggota kelompok diskusi tidak berbicara sama sekali dan memilih tetap diam, orang lain akan segera menganggap si pendiam itu tidak ada sama sekali. Anggota lain tidak meminta si pendiam itu untuk memberi komentar atau berbicara kepadanya. Dan bila si pendiam serta merta memutuskan berbicara, anggota lainnya sering bereaksi seolah-olah si pendiam itu mengganggunya. Mereka memperhatikannya sedikit saja. Mereka mengharapkan si pendiam itu tidak berbicara. Respons kelompok ini mungkin tidak akan terjadi bila sejak awal si pendiam membuat komentar dalam diskusi dan sekadar menunggu giliran untuk berbicara lagi. Namun bila partisipan ini pasif sama sekali, eksistensinya tampak hampir diabaikan para pembicara yang aktif. Si pendiam gagal menggunakan pembicaraan untuk menyatakan eksistensi dirinya.

Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri sering terlihat pada uraian penanya dalam seminar. Meskipun penanya sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebar, menguliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang sering tidak relevan. Eksistensi diri juga sering dinyatakan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang-sidang mereka yang bertele-tele: karena merasa dirinya paling benar dan paling penting, setiap orang ingin berbicara dan didengarkan. Fenomena itu misalnya pernah muncul dalam sidang-sidang selama berlangsungnya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bulan Oktober 1999 melalui banjir interupsi dari begitu banyak peserta sidang, khususnya pada tiga hari pertama. Banyak interupsi yang asal-asalan, tidak relevan, kekanak-kanakan, kocak, konyol, menjengkelkan, naif dan terkadang memuakkan. Kelompok Bagito melukiskan fenomena itu dengan tepat:

Baca jugaKomunikasi Pembentukan Konsep Diri

Suasana itu diperlucu lagi dengan para anggota yang berebut mencet tombol mike, mirip anak-anak yang baru mendapat mainan anyar dibarengi teriakan "interupsi-interupsi pimpinan hey, pimpinan hey!”  Seru, norak, kampungan ingin menang sendiri, semua terlihat langsung, Bahkan ada anggota Majelis yang enak aja nyelonong ngomong di saat orang lain bicara. Dia juga ngablak saja ngomong, walaupun pimpinan sidang yang memang lucu itu belum memberinya waktu berbicara

Sebuah kartun melukiskan antara lain beberapa peserta Bidang Umum MPR yang berupaya menyatakan eksistensi diri mereka dengan mengacungkan tangan (untuk melakukan interupsi) dalam sidang lembaga yang terhormat itu. yang dijawab oleh. “Apanya yang diinterupsi ngomong saja ketua sidang dengan belum.”

No comments:

Post a Comment

Popular Posts