Orang berkomunikasi
untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau
lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Kita dapat memodifikasi frase filosuf
Prancis Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal itu Cogito Ergo Sum ("Saya berpikir, maka saya ada”) menjadi
"Saya berbicara, maka saya ada." Bila kita berdiam diri, orang lain
akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, kita sebenarnya menyatakan bahwa kita ada. Pengamatan
sederhana atas anak-anak balita yang sedang bermain-main dengan teman-teman
sebaya di lingkungan kita dengan mudah menunjukkan kepada kita "fenomena
seorang anak yang berbicara sendirian untuk menunjukkan bahwa dirinya eksis,
meskipun teman temannya itu asyik dengan diri dan mainan mereka masing-masing. Ketika
anak-anak lain pergi, ia pun berhenti berbicara sendirian, dan ia pun mulai
berbicara sendirian lagi ketika teman-temannya itu berada di dekatnya.
Pengamatan juga menunjukkan
bahwa bila seorang anggota kelompok diskusi tidak berbicara sama sekali dan
memilih tetap diam, orang lain akan segera menganggap si pendiam itu tidak ada sama
sekali. Anggota lain tidak meminta si pendiam itu untuk memberi komentar atau
berbicara kepadanya. Dan bila si pendiam serta merta memutuskan berbicara, anggota
lainnya sering bereaksi seolah-olah si pendiam itu mengganggunya. Mereka memperhatikannya
sedikit saja. Mereka mengharapkan si pendiam itu tidak berbicara. Respons kelompok
ini mungkin tidak akan terjadi bila sejak awal si pendiam membuat komentar dalam
diskusi dan sekadar menunggu giliran untuk berbicara lagi. Namun bila
partisipan ini pasif sama sekali, eksistensinya tampak hampir diabaikan para
pembicara yang aktif. Si pendiam gagal menggunakan pembicaraan untuk menyatakan
eksistensi dirinya.
Fungsi komunikasi
sebagai eksistensi diri sering terlihat pada uraian penanya dalam seminar. Meskipun
penanya sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok
masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebar, menguliahi
hadirin, dengan argumen-argumen yang sering tidak relevan. Eksistensi diri juga
sering dinyatakan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang-sidang
mereka yang bertele-tele: karena merasa dirinya paling benar dan paling
penting, setiap orang ingin berbicara dan didengarkan. Fenomena itu misalnya
pernah muncul dalam sidang-sidang selama berlangsungnya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) bulan Oktober 1999 melalui banjir interupsi dari begitu banyak
peserta sidang, khususnya pada tiga hari pertama. Banyak interupsi yang
asal-asalan, tidak relevan, kekanak-kanakan, kocak, konyol, menjengkelkan, naif
dan terkadang memuakkan. Kelompok Bagito melukiskan fenomena itu dengan tepat:
Baca juga: Komunikasi Pembentukan Konsep Diri
Baca juga: Komunikasi Pembentukan Konsep Diri
Suasana itu diperlucu
lagi dengan para anggota yang berebut mencet
tombol mike, mirip anak-anak yang
baru mendapat mainan anyar dibarengi teriakan "interupsi-interupsi pimpinan hey, pimpinan hey!” Seru, norak, kampungan ingin menang sendiri,
semua terlihat langsung, Bahkan ada anggota Majelis yang enak aja nyelonong ngomong di saat orang lain bicara. Dia juga ngablak saja ngomong,
walaupun pimpinan sidang yang memang lucu itu belum memberinya waktu berbicara
Sebuah kartun melukiskan
antara lain beberapa peserta Bidang Umum MPR yang berupaya menyatakan
eksistensi diri mereka dengan mengacungkan tangan (untuk melakukan interupsi)
dalam sidang lembaga yang terhormat itu. yang dijawab oleh. “Apanya yang
diinterupsi ngomong saja ketua sidang dengan belum.”
No comments:
Post a Comment