Monday, May 30, 2016

FUNGSI KOMUNIKASI EKSPRESIF




Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut di komunikasi an terutama melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-katanamun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Seorang atasan menunjukkan simpatiknya kepada bawahannya yang istrinya baru meninggal dengan menepuk bahunya.

Orang dapat menyalurkan kemarahan dengan mengumpat, berkecak pinggang, mengepalkan tangan seraya memelototkan matanya. Mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demonstrasiunjuk rasa mogok makan atau aksi diam. Chauhadry Tahir, seorang penjaga toko, membakar dirinya di jalan utama di Islamabad hari Sabtu, 17 April 1999, sebagai aksi protes terhadap pengadilan yang mengusirnya dari toko tempat ia mencari nafkah.

Perasaan bahkan juga bisa diungkapkan dengan memberi bunga, misalnya sebagai tanda cinta atau kasih sayang atau ketika kita ingin menyatakan selamat kepada orang yang berulang tahun, lulus menjadi sarjana, atau menikah, atau juga menyatakan simpati dan duka cita kepada orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Akan tetapi, kita harus hati-hati dengan jenis bunga yang kita bawa. Di Austria mawar merah adalah lambang cinta romantik. Di negara kita bunga kemboja sering diasosiasikan dengan bunga kuburan sehingga tidak banyak orang menanamnya di halaman rumah, apa lagi diberikan kepada orang yang sedang ulang tahun, meskipun di Bali bunga ini lazim ditanam di halaman rumah dan juga digunakan untuk sesaji.

Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk-bentuk seni seperti puis novel, musik, tarian, atau lukisan Puisi "Aku" karya Chairil Anwar mengekspresikan kebebasannya dalam berkreasi Novel saman karya Ayu ami mengekspresikan semangat anak muda yang banyak terlibat dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa bernapaskan Islam yang dimuat dalam antologi cerpennya Ketika Mas Gagah Pergi dan dalam Sembilan Mata Hati mengekspresikan keprihatinan nya akan nasib umat Islam yang tertindas di berbagai pelosok dunia dan semangat jihad nya yang menggelegak



Harus diakui, musik juga dapat mengekspresikan perasaan kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi) manusia. Itu sebabnya pertunjukan musik Iwan Fals yang lirik-liriknya bermuatan kritik atau sindiran terhadap penguasa sering dilarang pihak berwajib selama era Orde Baru. Orang memang telah menggunakan sarana hiburan berabad-abad untuk tujuan propaganda. Selama revolusi Prancis, misalnya, digunakan juga musik, selain teater permainan, festival dan surat kabar, untuk menggalang kekuasaan. Lagu-lagu perjuangan Indonesia, meskipun menghibur dan estetis juga mengandung imbauan kepada rakyat untuk berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Lagu “Maju Tak Gentar” dan “Halo Halo Bandung” khususnya, mengekspresikan perjuangan dan semangat kepahlawanan. Belakangan, di kalangan masyarakat ada gurauan bahwa lagu “Maju Tak Gentar,” “Padamu Negeri,” dan “Dsini Benang” (atau “Sorak Sorai Bergembira”) berturut-turut merupakan “lagu kebangsaan” (ekspresi) tentara berpangkat rendah (tamtama, prajurit), perwira menengah, dan perwira tinggi TNI. Menarik pula bahwa ternyata ke tujuh belas pupuh Sunda melambangkan suasana hati yang berlainan. Asmarandana melambangkan rasa berahi, dangdanggula melambangkan kegemaran; kinanti melambangkan penantian, maskumambang melambangkan kesedihan, pangkur melambangkan kemarahan; sinom melambangkan asmara.

Lukisan pun sering mengekspresikan perasaan pelukisnya. Anda masih ingat lukisan-lukisan Raden Saleh yang warna-warna nya suram. Para pengamat menafsirkan warna-warna itu menggambarkan suasana kejiwaan Raden Saleh yang “prihatin dan tertekandalam mengalami masa penjajahan dan menyaksikan
kaumnya tertindas oleh penjajah (abad ke-19), sementara lukisan-lukisan karya pelukis abad ke-20 Affandi dengan polesan-polesan yang “melotot” dan didominasi warna-warna dasar yang menyala mengekspresikan nuansa jiwanya yang impulsif, dinamis dan dalam pencarian makna hidup tak berkesudahan. Bentuk-bentuk seni itu jelas mengekspresikan suasana kejiwaan dan semangat zaman pelukisnya.

Akan halnya tari-tarian, salah satu tarian yang secara simbolik mengekspresikan kesadaran atau perasaan penarinya adalah Tari Baluse, yakni tarian perang ala nias yang dilakukan sekelompok pria. Tarian ini sebenarnya merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah dan ketidakadilan. Tarian ini pernah ditampilkan sekitar 30 orang di Gedung DPRD dan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan, Desember 1999, sebagai ungkapan rasa rakyat Nias untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan bebas dari keterbelakangan, menyertai unjuk rasa yang dilakukan 150 orang Nias dari Gunung Sitoli (Kabupaten nias) dan dari Medan. Dengan mengenakan busana perang, masing-masing penari menggenggam sebilah pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri dan mengayun-ayunkan pedang tersebut sambil melompat tiga langkah ke belakang, tiga depan. langkah ke Sementara itu, seorang lain melantunkan lagu perang Nias, disahut oleh semua penari, sekali-sekali ditimpali hentakan kaki yang mengikuti irama lagu yang dinyanyikan

Teater yang disutradarai W.S. Rendra, N. Riantiarno, atau Ratna Sarumpaet dalam tiga dekade terakhir abad ke-20 tidak jarang mengekspresikan protes atau kritik masyarakat, misalnya rakyat kecil yang ditindas penguasa, Mereka berkali kali tidak memperoleh izin untuk mengadakan pertunjukan drama mereka W.S. Rendra khususnya mengekspresikan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan kritiknya terhadap penguasa lewat sejumlah drama (misalnya “perrjuangan Suku Naga” “Panembahan Reso” “Menunggu Godot,” dan “Mastodon dan Burung Kondor”) sebuah drama kontemporer yang menyatakan keprihatinan rakyat berjudul “Ketika kita Kaku” karya Arman Dewartiyang dipertunjukkan dalam Makassar Arts Forum 1999 di Makassar menggambarkan nasib perempuan yang selalu menjadi korban ter parah dari tindak kekerasan yang terjadi di berbagai tempat, karena mereka juga kehilangan martabat sebagai manusia selain kehilangan harta benda.


No comments:

Post a Comment

Popular Posts