Kekuasaan
di negeri ini mengalami surplus. Setiap orang merasa punya hak untuk “merebut” kekuasaan.
Dan itu dijamin oleh undang-undang. Tapi undang-undang juga mengatur regu litas
kekuasaan itu secara periodik. Aturan main ini yang sering alpa di tengah
euforia kekuasaan. Akibatnya, sepanjang masa kekuasaan selalu menjadi fokus
yang dilaksanakan, diperdebatkan, dan diperebutkan.
Beberapa
waktu lalu (28/10/2007) kaum muda mengaklamasikan; saatnya kaum muda memimpin.
Tiga hari kemudian para orang tua mendeklarasikan Komite Bangkit Indonesia
(KBI). Keduanya mengkritik kekuasaan yang dinilainya telah menyebabkan rakyat
sengsara. Yang berbeda adalah faktor penyebabnya. Kaum muda menuduh kekuasaan
kaum tua (gerontokrasi) sebagai penyulut kegagalan, karenanya harus di
regenerasi. Sementara KBI mengkritik kepemimpinan negeri ini sebagai penyebab
kegagalan negara menyejahterakan rakyat.
Baik
kritik kaum muda maupun KBI terjebak pada eksklusivisme. Kritik pertama lebih
pada standardisasi usia, sementara yang kedua pada exclusivities isu
(kekuasaan). Namun kritik yang kedua ini bersifat ambigu, karena di antara
partisan KBI pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang juga memberi saham bagi
kegagalan negeri ini. Dengan demikian, kritik KBI sebenarnya buruk muka cermin
dibelah.
Gerakan
kaum muda sering didasarkan pada legitimasi historis yang menunjukkan peran
pemuda dalam perubahan arus sejarah, mulai sumpah pemuda sampai reformasi. Kaum
muda menjadi penabuh perubahan. Tapi sayang perubahan berhenti pada perubahan.
Perubahan menjadi antiklimaks dari generasi muda. Konsekuensinya, perubahan tak
menyisakan makna yang signifikan bagi kontinuitas eksistensi kaum muda itu
sendiri. Bahkan, kini kaum mudahnya bisa menuntut, bukan berbuat untuk
perubahan.
Di
sini sebenarnya tercipta pembelajaran sejarah bahwa perubahan bukanlah tujuan.
Ia hanya alat untuk membongkar akar persoalan agar bersemi kehidupan yang lebih
baik bagi masyarakat. Ketika perubahan dijadikan tujuan, ia akan menciptakan
lahan kosong yang menjadi arena bebas bagi petualang kekuasaan. Dan inilah yang
terlihat kini. Kaum muda merasa kehilangan lahan ekspresi dan ekspektasi atas
substansi perubahan terasa semakin sempit.
Baca juga: KEKUASAAN DAN POLITIK PRIMORDIAL
Walaupun
sejarah negeri ini ditiupkan oleh semangat kaum muda, namun pada kenyataannya
negeri ini masih jauh dari harapan. Soekarno dan Soeharto tampil meraih
kekuasaan pada usia muda. Tapi apa yang mereka sumbangan setelah kekuasaan
mereka raih adalah fakta sejarah yang ter toreh dalam beragam warna. Namun yang
pasti, kalau merujuk pada kritik KBI, semua itu berbuah kegagalan yang
dirasakan simpai saat ini. Masa tua kekuasaan sering menggiring orang untuk
bersikap otoriter bahkan totaliter.
Apa
yang dirasakan masyarakat saat ini, sebagaimana kritik KBI, menunjukkan bahwa baik kaum tua maupun muda
tak cukup memiliki referensi historis untuk melegitimasi keberhasilan mereka,
kecuali perubahan semu. Dari revolusi sampai pada reformasi tak menyisakan
apa-apa kecuali perubahan rezim, dari kolonial ke orde lama, daro orde lama ke
orde baru, dan dari orde baru ke orde reformasi. Inilah fakta ketika sejarah di
generalisasi.
Karenanya,
harus ada cara pembacaan yang lebih detail terhadap sejarah, sehingga bangsa
ini bisa mengambil sesuatu yang baik untuk dikembangkan, dan menemukan yang
buruk untuk ditinggalkan. Baik kritik KBI maupun kaukus anak muda tentang
kekuasaan merupakan bentuk generalisasi yang hanya menyisakan ekspektasi pada
dirinya, tidak pada orang lain (the
others). Kebenaran hanya ada pada kelompoknya. Pola pandang ini cukup
riskan untuk dikembangkan di tengah pluralitas yang terhampar di negeri ini.
Di
sinilah standardisasi usia atau identitas sosial menjadi tak berguna. Sejarah
telah membutuhkan kemunculan pemimpin-pemimpin negeri ini bukan karena usia, tapi
karena tuntutan sejarah. Karenanya, demarkasi usia sebagai standar perubahan
sulit dipahami baik secara faktual maupun konseptual.
Bisa
jadi gerakan yang muncul di dalam masyarakat, seperti yang dilakukan oleh
kelompok anak muda maupun tua, seperti KBI, didorong oleh kekecewaan karena prasangka
yang luar biasa terhadap reformasi. Sejatinya kekecewaan tersebut terekspresi
melalui kerja konkret yang dapat memberi jalan keluar atas masalah yang
dihadapi masyarakat.
Komitmen
untuk meneruskan reformasi melalui berbagai cara tentu akan lebih efektif
daripada merusak atau membongkar jalan yang sedang dibangun bersama. Pelurusan
dan perubahan sistem kekuasaan yang ada sudah memiliki mekanismenya, yaitu
melalui pemilu. Inilah titik penting untuk mengubah kekuasaan yang dianggap
gagal. Apabila masing-masing pihak lebih sibuk dengan obsesi kekuasaannya tanpa
mempedulikan mekanisme konstitusi, maka kerja-kerja kebangsaan tidak akan
efektif. Bahkan dampaknya, arah angin reformasi semakin lambat.
Regenerasi
dari kaum tua ke yang muda sebenarnya merupakan keharusan sejarah. Arah ini
sudah mulai terlihat baik di partai politik, lembaga swadaya masyarakat, maupun
di dunia bisnis. Di partai politik sebagian posisi strategis sudah ditempati
anak muda. Paling tidak kalangan muda menempati pengurus harian. Begitu juga di
lembaga legislatif, bahkan di beberapa daerah kaum muda tampil menjadi pemimpin
daerah. Belum lagi di dunia bisnis yang saat ini dipegang oleh generasi kedua
atau ketiga dari pemilik perusahaan, bahkan muncul pengusaha-pengusaha muda
baru. tidak kalah pentingnya, di lingkungan LSM, tokoh-tokoh muda lebih dinamis
memegang kendali bahkan sebagian menjadi pionir di tingkat advokasi dan
pendampingan masyarakat.
Berdasarkan
fakta di atas, kepemimpinan penuh kaum muda tinggal menanti waktu. Di tengah
penantian tersebut, kaum tua sejatinya menjadi inspirasi yang menumbuhkan
semangat kebersamaan untuk perubahan yang lebih baik. Itu akan terjadi bila
kaum tua mampu memberi teladan melalui perilaku politi yang jujur akan segala
kekurangannya dan kaum muda jujur mengakui kelebihan kerja kaum tua. Bukan
malah lempar batu sembunyi tangan.
Bahwa
ada jarak antara harapan dan kenyataan reformasi, sulit kita pungkiri. Itulah
tugas bersama (tua-muda). Kebersamaan ini penting karena reformasi buka hak prerogatif
usia muda atau kuasa kaum tua semata. Reformasi adalah roh segala usia dan asa
untuk memberi solusi bagi seluruh problem negeri ini. Pekerjaan itu akan
dicapai apabila dibarengi kreasi konkret di tengah masyarakat. Kalau tidak,
kita terjebak pada parade kekuasaan yang tak memberi makna apa-apa, kecuali
seremonial yang memuakkan daya ingat.
No comments:
Post a Comment