reformasi atau mati |
Sudah hampir delapan belas tahun berjalan, praktik demokrasi di era reformasi mulai menuai gugatan dan pertanyaan kritis. Ada sebagian pihak yang berpandangan bahwa praktik demokrasi yang dijalankan telah membangkitkan semangat kedaerahan, memperlemah persatuan nasional, serta tidak mampu mewujudkan pembangunan ekonomi yang menyejahterakan rakyat.
Gugatan
demikian terjadi dikarenakan ketidakpercayaan terhadap demokrasi yang
menjanjikan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat dan tidak terwujud. Kondisi
serupa itu pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama yang berakhir dengan
diterapkannya demokrasi terpimpin. Pengalaman itu juga yang melatarbelakangi
generasi setelahnya dengan memilih pilihan pembatasan demokrasi di era Orde
Baru demi berjalannya pembangunan ekonomi, namun berakhir dengan anarki yang
menginginkan reformasi.
Yang
di khawatirkan saat ini di era reformasi ketika masyarakat dalam naungan
demokrasi tidak mendapatkan kesejahteraan ekonomi, otomatis akan menggerus
kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri. Yang lebih parah lagi ketika
demokrasi tidak mampu menjadi solusi atas permasalahan rakyat, maka akan muncul
suatu kesadaran bahwa demokrasi tidak relevan dengan kehidupan bangsa. Di
sinilah eksistensi demokrasi di pertaruhan.
Pandangan
menurut Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1998, yang mengatakan
demokrasi bukan sekadar suatu mekanisme, melainkan sistem yang membutuhkan
kondisi-kondisi tertentu (Amartya Sen; 1999). Kondisi tersebut merupakan wujud
dari nilai dan prinsip dasar demokrasi itu sendiri.
Demokrasi
tidak hanya berupa mekanisme pemilihan dan penghormatan atas hasil pemilihan
semata, melainkan juga meliputi perlindungan terhadap kemerdekaan dan
kebebasan, penghormatan terhadap aturan hukum, dan adanya jaminan terhadap
kebebasan berpendapat dan kebebasan mendapatkan penghidupan yang layak.
Semua
itu sudah tercantum dalam kontrak sosial bersama yaitu konstitusi, apabila saat
ini pemerintah dengan sengaja dan mengabaikan rakyatnya dalam kondisi yang
miskin dan tidak layak untuk hidup maka secara tidak langsung pemerintah
mengingkari konstitusi itu sendiri. Bercermin kepada UUD 1945 pasal 33 yang menyatakan
perekonomian berdasarkan demokrasi seharusnya mampu membawa indonesia ke arah
yang lebih baik.
Dari
sisi praktik, Sen menunjukkan bahwa tidak ada musibah kelaparan yang terjadi di
negara merdeka yang demokratis. Sebaliknya, kelaparan terjadi di negara- negara
dengan rezim diktator seperti Ethiopia dan Somalia. Perbedaan itu terjadi
karena negara demokratis terdapat hak sipil dan politik yang memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk menuntut perhatian dan tindakan nyata dari
pemerintah.
Baca juga: IDEOLOGI DI TENGAH GLOBALISASI
Matinya Reformasi
Dalam
masyarakat yang masih kental dengan communalities nya, eksistensi tokoh
masyarakat sangat menentukan. Dalam konteks negara, keberadaan tokoh nasional
yang sering disebut negarawan sangat dibutuhkan bagi mobilisasi dan stabilisasi
bangsa. Dengan kata lain, keberadaan para negarawan sangatlah strategis bagi
transformasi masyarakat.
Eksistensi
dan fungsi negarawan lebih didasarkan pada peran yang telah dimainkan, bukan
pada simbol-simbol ke negarawan itu sendiri. Orang disebut negarawan apabila di
dalam dirinya tercermin komitmen untuk membantu dan memperbaiki kehidupan
bangsa secara tulus. Begitu juga dengan reformis. Identitas ini muncul dan
disematkan bagi tokoh yang dianggap berhasil mencetuskan reformasi. Inilah yang
dibutuhkan kita pada saat ini.
Pertanyaannya
ke mana para reformis tersebut pada saat ini, ke mana para idealis yang mengguncang-gunjing
senayan demi menuntut adanya suatu perubahan yang fundamental. Ke mana perginya
para pemuda yang menuntut perubahan ekonomi demi terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Para penggagas reformasi yang berani melawan rezim diktator pada masa itu tidak
berdaya melawan godaan di tengah euforia reformasi itu sendiri. Saat ini
terjadi kebebasan yang memaksa para idealis reformis terjebak dalam kepentingan
pribadi dan golongan. Dan rakyat hanya menjadi sebuah alat demi menghancurkan
rezim pada saat itu.
Namun
melihat carut marut para tokoh politik, termasuk orang yang di klaim sebagai
reformis, dalam polemik kenegaraan saat ini, masih jauh panggang dari api.
Bahkan sebagian kaum reformis secara tidak sengaja menelanjangi atribut
reformis yang disematkan pada dirinya. Apabila fenomena ini terus berlangsung,
maka masyarakat yang berada dalam gerbong reformasi nya, akan kehilangan
orientasi kenegaraan dan bertindak atas nama pribadi dan kelompok
masing-masing.
Akibatnya
reformasi yang telah mengantarkan masyarakat pada euforia kebebasan akan sampai
pada ujung kematiannya, karena masing-masing bertindak diluar koridor reformasi
yang tertib dan konstitusional. Kalau demikian, kita patut berduka karena
reformasi saat ini mati akibat ulah para reformis nya sendiri.
Jika
melihat pada realitas saat ini, pembangunan yang menjadi tolak ukur untuk
kesejahteraan rakyat, bertolak belakang dengan realitas masyarakat. Banyak
penyimpangan yang melanggar konstitusi terjadi, akibatnya rakyat menjadi susah
dan pemerintah seakan mengabaikan. Di sinilah peran negarawan yang dibutuhkan,
negarawan yang idealis yang terlepas dari kepentingan parpol dan kepentingan
pribadi.
Sudah
saatnya kita sadar sebagai generasi yang akan datang, yang nanti akan mengambil
estafet pemerintahan harus siap demi membela kepentingan rakyat dan bukan
kepentingan golongan dan mempertebal dompet pribadi. Semoga,
No comments:
Post a Comment