Sunday, May 1, 2016

REFORMASI ATAS NAMA DEMOKRASI

Dasa Lukman

reformasi atau mati


Sudah hampir delapan belas tahun berjalan, praktik demokrasi di era reformasi mulai menuai gugatan dan pertanyaan kritis. Ada sebagian pihak yang berpandangan bahwa praktik demokrasi yang dijalankan telah membangkitkan semangat kedaerahan, memperlemah persatuan nasional, serta tidak mampu mewujudkan pembangunan ekonomi yang menyejahterakan rakyat.


Gugatan demikian terjadi dikarenakan ketidakpercayaan terhadap demokrasi yang menjanjikan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat dan tidak terwujud. Kondisi serupa itu pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama yang berakhir dengan diterapkannya demokrasi terpimpin. Pengalaman itu juga yang melatarbelakangi generasi setelahnya dengan memilih pilihan pembatasan demokrasi di era Orde Baru demi berjalannya pembangunan ekonomi, namun berakhir dengan anarki yang menginginkan reformasi.


Yang di khawatirkan saat ini di era reformasi ketika masyarakat dalam naungan demokrasi tidak mendapatkan kesejahteraan ekonomi, otomatis akan menggerus kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri. Yang lebih parah lagi ketika demokrasi tidak mampu menjadi solusi atas permasalahan rakyat, maka akan muncul suatu kesadaran bahwa demokrasi tidak relevan dengan kehidupan bangsa. Di sinilah eksistensi demokrasi di pertaruhan.


Pandangan menurut Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1998, yang mengatakan demokrasi bukan sekadar suatu mekanisme, melainkan sistem yang membutuhkan kondisi-kondisi tertentu (Amartya Sen; 1999). Kondisi tersebut merupakan wujud dari nilai dan prinsip dasar demokrasi itu sendiri.


Demokrasi tidak hanya berupa mekanisme pemilihan dan penghormatan atas hasil pemilihan semata, melainkan juga meliputi perlindungan terhadap kemerdekaan dan kebebasan, penghormatan terhadap aturan hukum, dan adanya jaminan terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan mendapatkan penghidupan yang layak.


Semua itu sudah tercantum dalam kontrak sosial bersama yaitu konstitusi, apabila saat ini pemerintah dengan sengaja dan mengabaikan rakyatnya dalam kondisi yang miskin dan tidak layak untuk hidup maka secara tidak langsung pemerintah mengingkari konstitusi itu sendiri. Bercermin kepada UUD 1945 pasal 33 yang menyatakan perekonomian berdasarkan demokrasi seharusnya mampu membawa indonesia ke arah yang lebih baik.


Dari sisi praktik, Sen menunjukkan bahwa tidak ada musibah kelaparan yang terjadi di negara merdeka yang demokratis. Sebaliknya, kelaparan terjadi di negara- negara dengan rezim diktator seperti Ethiopia dan Somalia. Perbedaan itu terjadi karena negara demokratis terdapat hak sipil dan politik yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menuntut perhatian dan tindakan nyata dari pemerintah.

Matinya Reformasi


Dalam masyarakat yang masih kental dengan communalities nya, eksistensi tokoh masyarakat sangat menentukan. Dalam konteks negara, keberadaan tokoh nasional yang sering disebut negarawan sangat dibutuhkan bagi mobilisasi dan stabilisasi bangsa. Dengan kata lain, keberadaan para negarawan sangatlah strategis bagi transformasi masyarakat.


Eksistensi dan fungsi negarawan lebih didasarkan pada peran yang telah dimainkan, bukan pada simbol-simbol ke negarawan itu sendiri. Orang disebut negarawan apabila di dalam dirinya tercermin komitmen untuk membantu dan memperbaiki kehidupan bangsa secara tulus. Begitu juga dengan reformis. Identitas ini muncul dan disematkan bagi tokoh yang dianggap berhasil mencetuskan reformasi. Inilah yang dibutuhkan kita pada saat ini.


Pertanyaannya ke mana para reformis tersebut pada saat ini, ke mana para idealis yang mengguncang-gunjing senayan demi menuntut adanya suatu perubahan yang fundamental. Ke mana perginya para pemuda yang menuntut perubahan ekonomi demi terciptanya masyarakat yang sejahtera. Para penggagas reformasi yang berani melawan rezim diktator pada masa itu tidak berdaya melawan godaan di tengah euforia reformasi itu sendiri. Saat ini terjadi kebebasan yang memaksa para idealis reformis terjebak dalam kepentingan pribadi dan golongan. Dan rakyat hanya menjadi sebuah alat demi menghancurkan rezim pada saat itu.


Namun melihat carut marut para tokoh politik, termasuk orang yang di klaim sebagai reformis, dalam polemik kenegaraan saat ini, masih jauh panggang dari api. Bahkan sebagian kaum reformis secara tidak sengaja menelanjangi atribut reformis yang disematkan pada dirinya. Apabila fenomena ini terus berlangsung, maka masyarakat yang berada dalam gerbong reformasi nya, akan kehilangan orientasi kenegaraan dan bertindak atas nama pribadi dan kelompok masing-masing.


Akibatnya reformasi yang telah mengantarkan masyarakat pada euforia kebebasan akan sampai pada ujung kematiannya, karena masing-masing bertindak diluar koridor reformasi yang tertib dan konstitusional. Kalau demikian, kita patut berduka karena reformasi saat ini mati akibat ulah para reformis nya sendiri.


Jika melihat pada realitas saat ini, pembangunan yang menjadi tolak ukur untuk kesejahteraan rakyat, bertolak belakang dengan realitas masyarakat. Banyak penyimpangan yang melanggar konstitusi terjadi, akibatnya rakyat menjadi susah dan pemerintah seakan mengabaikan. Di sinilah peran negarawan yang dibutuhkan, negarawan yang idealis yang terlepas dari kepentingan parpol dan kepentingan pribadi.


Sudah saatnya kita sadar sebagai generasi yang akan datang, yang nanti akan mengambil estafet pemerintahan harus siap demi membela kepentingan rakyat dan bukan kepentingan golongan dan mempertebal dompet pribadi. Semoga,

No comments:

Post a Comment

Popular Posts