Negara sebagai sebuah teritorial sudah final. Gugusan pulau-pulau bersatu dalam sebuah ikatan yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun negara sebagai rangkaian dinamis sejumlah entitas sangatlah labil. Nation as imagined community semakin tua. Tua bisa menjadi simbol semakin dewasa, tapi juga simbol lupa karena renta. Keduanya tergantung pada cara memupuk ragam entitas yang hadir di negeri ini.
Semakin kuat transenden primordialitas
masing-masing entitas, menunjukkan negara ini berhasil memupuk warganya yang
beragam. Sebaliknya ketika tuntutan-tuntutan primordial stik mencengkeram, imagined community akan semakin
terancam. Dalam kacamata demokrasi, kedewasaan sebuah bangsa ditentukan oleh sejauh
mana negara mampu menyuburkan keragaman dalam bingkai kebersamaan dan penegakan
kebersamaan tanpa merobek keragaman
Proses
pendewasaan yang salah kaprah terhadap negara dapat mempercepat kepikunan
negara. Orde baru memperlakukan negara sebagai monster yang totaliter demi
stabilitas nasional. Hasilnya bukan stabilitas negara, justru menyiram bensin
pada altar primordialisme. Tidak heran apabila lempengan primordial mulai
bergerak mengancam negara saat euforia menjadi berhala.
Ada
yang tergerak untuk menguatkan kembali eksistensi negara bangsa (nasionalisme),
sebagian lagi begitu asyik membangun demarkasi berdasarkan kepentingan
primordialnya. Primordialisme dan nasionalisme merupakan dua kata yang tak
mungkin kompromi. Primordialisme mengacu pada exclusivities dan homogenitas,
sementara nasionalisme mengagungkan inklusivitas dan pluralitas. Kompromi hanya
mungkin melalui proses transenden. Di sinilah political will kebangsaan, sebagaimana di gagas presiden SBY
menjadi penting karena politik di negeri ini telah menorehkan sejarah yang
centang perenang akibat personifikasi kekuasaan. Kebangsaan hanya menjadi khotbah
yang di kumandang kan setiap agustusan. Setelah itu, kita seakan kembali hidup
di negeri tak bertuan.
Secara
historis negeri ini berdiri di atas lempengan-lempengan primordialisme, baik
atas nama suku, agama, maupun lainnya. Rekaman sejarah politik kita menunjukkan
citra negara yang bersifat komunal-primordial, seperti negara pasundan, jawa,
borneo, negara islam indonesia (NII), dan beberapa gerakan separatis lainnya.
Herbert
Feith mengurai lempengan primordial yang menjadi pijakan bumi NKRI ini dalam
tiga kelompok masyarakat, yaitu plural, mosaik, dan multigrup. Masyarakat
plural ditandai oleh demarkasi yang begitu kuat antara warga asli dan
keturunan: Cina, Arab, dan Eurasia. Masyarakat Mosaik dicirikan oleh diversifikasi
kelompok-kelompok etnis yang ratusan jumlahnya dengan identitas
tradisionalitasnya. Sementara masyarakat multi grup ditandai oleh adanya
kelompok-kelompok yang bersatu dalam lingkungan yang lebih besar dengan anggota
yang lebih besar pula. Lempengan primordial ini tidak mungkin dibuang dari
kesadaran kita, karena ia hadir sebelum republik ini lahir. Justru kemampuan
mengelola keragaman tersebut dapat menjadi energi ekstra bagi eksistensi republik
ini.
Baca juga IDEOLOGI YANG MENGANCAM DEMOKRASI
Di
era reformasi lempengan-lempengan primordial tersebut mencair mengikuti
genderang politik yang ditabuh kaum politisi. Otonomi daerah sebagai upaya
penguatan daerah dijadikan ajang eksklusi daerah terhadap pusat. Menjamurnya
peraturan daerah yang berdasarkan keyakinan tertentu merupakan bukti konkret
yang dapat menenggelamkan imajinasi kebangsaan. Otonomi daerah yang seharusnya
menjadi media aktualisasi potensi-potensi lokal, justru melahirkan raja-raja
baru yang tak kalah eksploitasi nya dengan sistem yang centralistic.
Menguat
nya semangat pengaplingan ini disebabkan oleh orientasi liar partai politik.
Partai politik saat ini secara de facto tampil
sebagai kekuatan sangat menentukan warna-warni kekuasaan. Di sinilah dilema
muncul. Negara yang seharusnya berdiri kuat di atas pluralitas ter segmentasi
oleh kepentingan pragmatis partai politik. Munculnya perda-perda bercorak
keagamaan lebih mencerminkan kepentingan pragmatis parpol untuk menarik
simpati-emosional massa daripada upaya pemberdayaan politik secara rasional.
Padahal keputusan tersebut menjadi lahan subur bagi exclusivities yang mengubur
kebersamaan, menebalkan pengelompokan (kami) dan menegasikan yang lain (the others)
Partai
politik telah membawa kebijakan otonomi sebagai kesempatan untuk mengebiri
kekuasaan pusat. Otonomi daerah sering dipahami sebagai kebebasan
memperjuangkan kepentingan melampaui altar kebangsaan. Konsekuensinya siapa
mayoritas dialah yang menang. Fenomena ini dapat menjadi preseden buruk bagi
kebersamaan dan pluralitas yang sampai saat ini mampu dipertahankan walau hanya
melalui imajinasi tentang negara bangsa.
Belum
ada parpol yang secara konsisten mengaktualisasikan platform nya yang bersifat
spesifik, seperti masalah lingkungan, buruh, petani, atau identitas spesifik
lainnya. Kalau pun ada parpol yang mengidentifikasi dirinya pada salah satu isu
tersebut, biasanya lebih bersifat simbolik dan karitatif. Konsentrasi dan orientasinya
tetap pada kekuasaan, bukan pada pemberdayaan isu-isu spesifik tersebut. Fakta
politik di negeri ini menunjukkan orientasi kekuasaan lebih menonjol daripada
orientasi kebangsaan. Paling tidak dari wacana yang sering dilontarkan oleh
para politisi memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah segalanya. Isu reshuffle kabinet (baik perampingan maupun penambahan
menteri muda), perlunya perdana menteri, percepatan pemilu dan isu kekuasaan
lainnya lebih dominan daripada wacana sosial kemasyarakatan. Bahkan warna-warni
partai yang melingkupi kabinet indonesia bersatu di sebabkan sebagai pemicu
lambannya kinerja kabinet. Masing-masing terbebani oleh kepentingan partainya.
Lemahnya
pijakan platform ini berimplikasi pada rentan nya soliditas
parpol. Parpol mudah pecah dan bergulat dalam konflik yang berkepanjangan.
Dalam kondisi demikian, agenda pemberdayaan politik jelas hanya mimpi. Wajar
kiranya apabila parpol sulit mendapat tempat di hati rakyat. Anehnya di tengah
harga diri parpol terus menurun di mata rakyat, sebagian orang berlomba
mendirikan partai politik atas nama kepentingan rakyat.
Kenyataan
tersebut merupakan tantangan bagi konsolidasi demokrasi di negeri ini. Realitas
parpol yang rapuh karena tidak berpijak di hati rakyat dapat mengancam
eksistensi demokrasi. Belum lagi personifikasi kekuasaan yang dilakukan parpol.
Terjadinya personifikasi jabatan berdasarkan parpol dapat terdistorsi public service sebagai misi utama
jabatan. Dan hal ini tampaknya sulit dielakkan di tengah orientasi kekuasaan
yang begitu kuat dan lemahnya visi kebangsaan. Apalagi menjelang pemilu
konsolidasi kader partai politik yang ada di legislatif dan eksekutif akan
gencar dilakukan untuk kepentingan mobilisasi massa.
Kapling
politik yang dilakukan parpol ini menjadi pembuka bagi pengaplingan ranah
publik lainnya. Masing-masing politisi berjuang untuk memperoleh sumber ekonomi
sebesar-besarnya untuk kepentingan kelompoknya. Isu percaloan yang melibatkan
beberapa anggota DPR merupakan puncak gunung es problem orientasi kebangsaan.
Masing-masing menggerek bendera partai politiknya demi fasilitas kelompoknya.
Akibat distorsi orientasi kebangsaan pula anggota DPR menggunakan dana serap
aspirasi hanya untuk memperkuat konstituen partainya dan eksistensi dirinya,
bukan untuk pemberdayaan politik warga bangsa tanpa kasta. Semakin lengkaplah
pengaplingan negara ini. Mudah mudahan ini bukan gejala munculnya Negara
Kapling Republik Indonesia (NKRI)
Tulisan ini tidak menyebutkan sumbernya. Ini tulisan pernah dimuat di Media Indonesia 2006 atas nama orang lain. Tanpa menyebutkan nama penulisnya, ini sama dengan plagiaris.
ReplyDelete