Erat kaitannya
dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian
ataupun dalam kelompok.
Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun
dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut
menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita.
Perasaan-perasaan tersebut di komunikasi an terutama melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan
sayang, peduli, rindu, simpati,
gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-katanamun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih
sayangnya dengan membelai kepala
anaknya. Seorang atasan menunjukkan simpatiknya
kepada bawahannya yang istrinya baru meninggal dengan menepuk bahunya.
Orang dapat menyalurkan kemarahan
dengan mengumpat, berkecak
pinggang, mengepalkan tangan seraya memelototkan matanya. Mahasiswa memprotes kebijakan penguasa
negara atau penguasa kampus
dengan melakukan demonstrasiunjuk rasa mogok makan atau aksi diam. Chauhadry Tahir, seorang penjaga
toko, membakar dirinya di jalan utama di
Islamabad hari Sabtu, 17 April
1999, sebagai aksi protes terhadap pengadilan yang mengusirnya dari toko tempat
ia mencari nafkah.
Perasaan bahkan juga bisa
diungkapkan dengan memberi bunga, misalnya sebagai tanda cinta atau kasih
sayang atau ketika kita ingin
menyatakan selamat kepada orang yang berulang tahun, lulus menjadi
sarjana, atau menikah, atau juga
menyatakan simpati dan duka cita
kepada orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Akan tetapi, kita harus hati-hati
dengan jenis bunga yang kita bawa. Di Austria
mawar merah adalah lambang
cinta romantik. Di negara kita bunga kemboja
sering diasosiasikan dengan bunga kuburan
sehingga tidak banyak orang
menanamnya di halaman rumah, apa lagi diberikan kepada orang yang sedang ulang tahun, meskipun di
Bali bunga ini lazim ditanam di
halaman rumah dan juga digunakan untuk sesaji.
Emosi kita
juga dapat kita salurkan lewat bentuk-bentuk
seni seperti puis novel, musik, tarian, atau lukisan Puisi "Aku" karya Chairil Anwar mengekspresikan kebebasannya dalam
berkreasi Novel saman karya Ayu ami mengekspresikan
semangat anak muda yang banyak
terlibat dalam Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) cerpen-cerpen
Helvy Tiana Rosa bernapaskan Islam yang dimuat dalam antologi cerpennya Ketika Mas Gagah Pergi dan dalam Sembilan
Mata Hati mengekspresikan keprihatinan nya akan nasib umat
Islam yang tertindas di berbagai pelosok dunia dan semangat jihad nya yang menggelegak
Baca Juga: FUNGSI KOMUNIKASI SOSIAL
Harus diakui, musik juga dapat
mengekspresikan perasaan kesadaran,
dan bahkan pandangan hidup (ideologi)
manusia. Itu sebabnya
pertunjukan musik Iwan Fals yang lirik-liriknya bermuatan kritik atau sindiran
terhadap penguasa sering dilarang pihak berwajib selama era Orde Baru. Orang memang telah menggunakan
sarana hiburan berabad-abad untuk tujuan
propaganda. Selama revolusi
Prancis, misalnya, digunakan
juga musik, selain teater permainan,
festival dan surat kabar, untuk menggalang kekuasaan. Lagu-lagu perjuangan Indonesia, meskipun menghibur
dan estetis juga mengandung
imbauan kepada rakyat untuk berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Lagu “Maju Tak Gentar” dan “Halo Halo Bandung” khususnya, mengekspresikan
perjuangan dan semangat kepahlawanan. Belakangan, di kalangan masyarakat ada gurauan bahwa lagu “Maju Tak Gentar,” “Padamu
Negeri,” dan “Dsini Benang” (atau “Sorak Sorai Bergembira”)
berturut-turut merupakan “lagu kebangsaan” (ekspresi) tentara berpangkat rendah (tamtama, prajurit), perwira menengah, dan perwira
tinggi TNI. Menarik pula bahwa
ternyata ke tujuh belas pupuh Sunda melambangkan suasana hati yang berlainan. Asmarandana melambangkan rasa
berahi, dangdanggula
melambangkan kegemaran; kinanti melambangkan penantian, maskumambang melambangkan kesedihan, pangkur melambangkan kemarahan; sinom melambangkan asmara.
Lukisan pun sering
mengekspresikan perasaan pelukisnya. Anda masih ingat lukisan-lukisan Raden Saleh yang
warna-warna nya suram. Para
pengamat menafsirkan warna-warna itu menggambarkan suasana kejiwaan
Raden Saleh yang “prihatin dan tertekan”
dalam mengalami masa penjajahan dan menyaksikan
kaumnya tertindas oleh penjajah (abad ke-19), sementara lukisan-lukisan karya pelukis
abad ke-20 Affandi dengan polesan-polesan yang “melotot” dan didominasi warna-warna dasar yang menyala mengekspresikan nuansa jiwanya yang impulsif, dinamis dan dalam pencarian makna hidup tak berkesudahan. Bentuk-bentuk seni itu jelas mengekspresikan suasana
kejiwaan dan semangat zaman
pelukisnya.
Akan halnya tari-tarian, salah
satu tarian yang secara simbolik mengekspresikan kesadaran atau perasaan penarinya adalah Tari Baluse,
yakni tarian perang ala nias yang dilakukan sekelompok pria. Tarian ini sebenarnya merupakan simbol
perlawanan terhadap penjajah dan
ketidakadilan. Tarian ini pernah ditampilkan sekitar 30 orang di Gedung DPRD dan Kantor Gubernur Sumatera
Utara, Medan, Desember 1999,
sebagai ungkapan rasa rakyat Nias untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan bebas dari keterbelakangan,
menyertai unjuk rasa yang dilakukan 150 orang Nias dari Gunung Sitoli (Kabupaten nias) dan dari Medan. Dengan mengenakan busana perang, masing-masing penari
menggenggam sebilah pedang di
tangan kanan dan perisai di tangan kiri dan mengayun-ayunkan pedang tersebut sambil melompat
tiga langkah ke belakang, tiga depan. langkah ke Sementara itu, seorang lain melantunkan lagu
perang Nias, disahut oleh semua penari, sekali-sekali ditimpali hentakan kaki yang mengikuti irama lagu yang dinyanyikan
Teater yang disutradarai W.S.
Rendra, N. Riantiarno,
atau Ratna Sarumpaet dalam tiga
dekade terakhir abad ke-20 tidak jarang
mengekspresikan protes atau kritik masyarakat, misalnya rakyat kecil yang ditindas penguasa, Mereka berkali
kali tidak memperoleh izin untuk
mengadakan pertunjukan drama mereka W.S.
Rendra khususnya mengekspresikan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan kritiknya terhadap penguasa lewat
sejumlah drama (misalnya
“perrjuangan Suku Naga” “Panembahan Reso”
“Menunggu Godot,” dan “Mastodon dan Burung
Kondor”) sebuah drama kontemporer yang menyatakan keprihatinan rakyat berjudul “Ketika kita Kaku” karya Arman Dewartiyang dipertunjukkan dalam Makassar Arts Forum 1999 di Makassar menggambarkan nasib perempuan yang selalu menjadi korban ter parah dari tindak kekerasan
yang terjadi di berbagai tempat, karena mereka juga kehilangan martabat sebagai manusia selain kehilangan harta benda.
No comments:
Post a Comment