Thursday, June 2, 2016

Prinsip-Prinsip Komunikasi

Seperti fungsi dan definisi komunikasi, prinsip-prinsip komunikasi juga diuraikan dengan berbagai cara oleh para pakar komunikasi. Mereka ada kalanya menggunakan istilah-istilah lain untuk merujuk pada prinsip-prinsip komunikasi ini. Misalnya, William B. Gudykunst dan Young Yun Kim menyebutnya asumsi-asumsi komunikasi, sedangkan Cassandra L Book, Bert E. Bradley, Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Sarah Trenholm dan Arthur Jensen: menyebutnya karakteristik-karakteristik komunikasi. Diilhami oleh pembahasan prinsip-prinsip komunikasi dalam sumber-sumber di atas, juga dalam karya-karya penulis lain seperti John R. Wenburg dan William W. Wilmot, Kenneth K Sereno dan Edward M. Bodaken, Gordon I Zimmerman er al Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson, Dan B. Curtis et al. dan Joseph A. DeVito, saya mencoba membuat “ramuan baru” mengenai prinsip-prinsip komunikasi berikut dengan menggunakan contoh-contoh yang bersumber dari pengalaman dan pengamatan pribadi serta rujukan lain yang relevan. Prinsip-prinsip komuniasi tersebut pada dasarnya merupakan penjabaran lebih jauh dari definisi atau hakikat komunikasi


PRINSIP 1


Komunikasi Adalah Proses Simbolik

Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti dikatakan Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, dan itulah yang membedakan dengan makhluk lainnya. Ernst Cassirer mengatakan bahwa keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah keistimewaan mereka sebagai animal symbolicum.


Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan kecintaan kepada negara. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (baik nyata ataupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikan nya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Misalnya patung Soekarno adalah ikon Soekarno, dan foto Anda pada KTP Anda adalah ikon Anda. Rambu-rambu lalu-lintas di jalan raya yang menunjukkan arah, adanya pom bensin, masjid atau rumah makan di depan, atau kondisi jalan (berbelok, menanjak, atau menurun) juga termasuk ikon. Belakangan ini ikon dan lambang sering di pertukarkan. Kita sering menggunakan istilah ikon untuk tanda-tanda pada layar monitor komputer yang merepresentasikan program-program tertentu, padahal sebagian dari tanda-tanda tersebut mungkin lebih tepat disebut lambang. Contoh lain adalah kalimat “Putri Diana adalah ikon (lambang) kecantikan” atauSoeharto adalah ikon (lambang) kekuasaan” saya berpendapat kata lambang juga sesuai untuk tersebut kita dapat mengatakan misalnya bahwa Albert Einstein, Franklin Delano Roosevelt dan Mahatma Gandhi yang dinobatkan majalah time edisi internasional tanggal 31 Desember 1969 sebagai tokoh pertama, kedua, dan ketiga abad ke-20 adalah lambang ilmu pengetahuan, lambang kemenangan demokrasi atas fasisme dan komunisme, dan lambang penegakan hak asasi manusia Gambar Soeharto pada uang kertas lima puluh ribuan adalah ikon Soeharto, namun Soeharto sendiri sebagai manusia adalah lambang kekuasaan pada zaman ia masih berkuasa, sementara uang secara umum adalah lambang kepemilikan (kekayaan) dan sering juga kekuasaan.

Berbeda dengan lambang dan ikon, indeks adalah tanda yang secara alamiah merepresentasikan objek lainnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk indeks adalah sinyal (signal,) yang dalam bahasa sehari-hari disebut juga gejala (rymptom). Indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi. Misalnya awan gelap adalah indeks hujan yang akan turun, sedangkan asap merupakan indeks api. Namun bila asap itu disepakati sebagai tanda bagi masyarakat untuk berkumpul misalnya, seperti dalam kasus suku primitif, maka asap menjadi lambang karena maknanya telah disepakati bersama Di dunia modern, asap hitam yang keluar dari cerobong Basilika Santo Pertrus di Vatikan menandakan bahwa Paus baru belum terpilih (setelah meninggalnya Paus lama), sedangkan asap putih menandakan bahwa Paus baru telah terpilih.

Contoh lain, menguap adalah gejala ngantuk atau bosan; sedangkan berkeringat adalah gejala kepanasan, kecapekan, atau kegugupan: tertawa sebagai gejala senang atau gembira; dan menangis sebagai gejala sakit, sedih, terharu, atau bahagia. Kontroversi bisa saja muncul mengenai perilaku yang tidak disengaja, seperti muka yang merah karena rasa malu atau suara keras dan tinggi karena marah. Apakah perilaku-perilaku tersebut indeks atau lambang? Ekspresi muka yang merah atau suara keras dan tinggi itu tampaknya lebih tepat disebut indeks atau isyarat alamiah (natural gesture), namun sering juga dianggap lambang karena orang-orang sepakat bahwa wajah yang bersemu merah biasanya menunjukkan rasa malu, sedangkan suara yang keras dan tinggi menunjukkan kemarahan.

Lambang mempunyai beberapa sifat seperti berikut ini:

Lambang bersifat sebarang, manasuka, atau sewenang-wenang. 
Apa saja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama Kata-kata (lisan atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan dan cara makan, tempat tinggal, jabatan (pekerjaan) ,olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat (artefak) angka, bunyi waktu, dan sebagainya. Semua itu bisa menjadi lambang.

Lambang hadir di mana-mana dan tidak henti-hentinya menerpa kita: gosip antar tetangga, tagihan listrik, buku yang kita baca, lagu lewat radio, berita Tw, suara azan, spanduk di pinggir jalan, stiker bertuliskan Kopassus di kaca belakang sebuah mobil. lampu lalulintas, bunyi peluit polisi. gerutuan pengamen jalanan.Tangisan bayi dalam gendongan pengemis, kalung bertanda salib yang dikenakan seorang wanita Tionghoa, blus putih dan rok abu-abu yang dikenakan seorang remaja putri, rayuan pelayan toko, dan sebagiannya. Namun alam tidak memberikan penjelasan kepada kita mengapa menggunakan lambang-lambang tertentu untuk untuk merujuk pada hal-hal tertentu, baik yang konkret ataupun yang abatrak. Kita tidak punya alasan mengapa kita menyebut hewan yang mengeong itu kucing,bukan kambing atau gajah. Penyebutan itu semata-mata berdasarkan kesepakatan saja. Karena itu kita pun bisa menyepakati huruf X yang merepresentasikan pria dan huruf Y yang merepresentasikan wanita. Atau menyepakati angka 1 yang merepresentasikan suku sunda, angka 2 suku Jawa, dan angka 3 suku Minang. Lambang-lambang partai politik, misalnya kepala banteng untuk PDI-Perjuangan, pohon beringin untuk Partai Golkar, dan matahari untuk Partai Amanat Nasional (PAN) juga tercipta dan tersosialisasikan berdasarkan prinsip itu. Partai-partai itu boleh saja bertukar lambang kalau mereka sepakat melakukan hal itu. Sebagian pembeli pakaian bekas di Bandung, tahu bahwa label L, S, M, dan XL pada pakaian yang mereka tawar, berarti Large (besar), small (kecil), Medium (sedang) dan Extra Large (ekstra besar). Namun para pembeli dan penjual pakaian itu sah-sah saja, berdasarkan kesepakatan, memelesetkan keempat label itu menjadi Logor (longgar), Sereg (sempit), Mahi (cukup) dan Ekstra Logor (ekstra longgar), kata-kata Sunda yang artinya mendekati makna asli label-label tersebut.


Makanan saja bersifat simbolik Banyak orang makan Mc Donald's burger atau Kentucky fried chicken di restoran cepat saji, bukan karena mereka benar-benar menyukai makanan itu, namun karena makan di tempat itu memberi mereka status tertentu. Padahal di kota-kota besar Amerika justru orang-orang kelas menengah. 
ke bawah lah yang gemar makan di restoran restoran itu. Seperti buruh pabrik, sopir angkot atau tukang sapu jalan. Kelas menengah atasnya malah enggan makan di tempat-tempat itu karena makanan itu mereka anggap “makanan sampah” (junkfood) Di negara kita buah-buahan impor, seperti anggur, pear, apel dan jeruk (sunkist) berkonotasi buah-buahan kelas tinggi yang hanya dikonsumsi kaum kaya. Oleh karena itu, sinetron sinetron kita yang mempromosikan kehidupan mewah hampir selalu menggunakan buah-buahan tersebut ketika karakter-karakter sinetron sedang bersantap. Anda takkan menemukan buah pepaya, pisang, kedondong, atau manggis.

Dandanan dan penampilan fisik juga bersifat simbolik seperti mengenakan setelan lengkap, T shirt, sandal jepit, sarung, peci, warna kulit, jenggot atau rambut dikuncir Kulit putih dianggap berstatus lebih tinggi daripada kulit hitam, konon didambakan 87% wanita Indonesia menurut sebuah iklan kosmetik di TV swasta. Karena itu, banyak iklan krim pemutih kulit yang melukiskan bagaimana krim yang di iklankan itu secara ajaib memutihkan kulit, seperti terlihat di layar televisi. Padahal, sebenarnya, kulit sawo matang seperti kulit kebanyakan perempuan Indonesia tidak mungkin dibuat menjadi putih. Kosmetik hanya membuat kulit lebih bersih, lebih jernih, lebih bercahaya seperti mutiara.


Seperti dandanan, tempat tinggal juga bersifat simbolik. Bila Anda tinggal di Menteng atau Pondok Indah Jakarta, Anda akan di perlakukan lebih istimewa. Tinggal di apartemen di Indonesia di anggap keren dan penghuninya dianggap kaya, padahal di negara Barat tinggal di apartemen diasosiasikan dengan hidup serba sederhana, kalaupun bukan melarat. Interior rumah, seperti furnitur, pajangan, dan hiasan dinding juga dapat diberi makna. Buku-buku yang dipajang merepresentasikan bahwa penghuni rumah adalah intelektual atau pecinta pengetahuan (dosen atau peneliti) misalnya, atau ingin dipandang seperti itu, sehingga ada juga orang-orang yang memajang benda-benda terbuat dari kertas yang kalau dilihat dari kejauhan seperti deretan buku tebal Botol-botol minuman keras yang dipajang di kamar tamu, meskipun kosong, juga merepresentasikan cita rasa modern penghuninya. Poster-poster selebritis dunia bintang film (Tom Cruise, Jodie Foster), penyanyi (Michael Jackson. Madonna. Breatney Spears, Avril Lavigne), olahragawan (Michael Jordan, David Beckham, Martina Hingis) yang dipasang di kamar seorang remaja, juga menggambarkan dunia simbolik  remaja tersebut. Tidak terlalu salah bila ada ungkapan “You are what you read”  (Anda adalah apa yang Anda baca), siapa Anda dapat diketahui dari jenis bacaan Anda. Kita bisa membedakan dunia simbolik (pendidikan, pengalaman, selera) orang yang membaca Times, The Jakarta Post atau Kompas, dengan orang yang membaca Pos Kota, meskipun pembedaan itu sekadar dugaan. Memang orang bisa saja berpura-pura menyukai musik jazz, rock atau musik klasik di depan teman-temannya, agar dianggap modern atau borjuis, padahal di kamar sendiri ia sebenarnya menyukai dangdut.


Bicara soal tempat tinggal, sebagian orang mempercayai bahwa rumah tusuk sate (terletak persis di ujung jalan pada suatu pertigaan) adalah rumah yang tidak akan membawa keberuntungan, karena itu harganya lebih murah dan konon  sulit dijual. Seorang sejawat saya di fakultas pernah mengajukan lamaran untuk pindah Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Namun karena rumahnya itu yang akan dijadikan agunan rumah tusuk sate, bank menolak lamaran tersebut, meskipun tadinya menyetujuinya. Ketika kawan saya menanyakan alasan penolakan itu, pegawai yang bertugas tidak menjelaskannya. Ia hanya mengatakan bahwa itulah kebijakan bank. Padahal, menurut kawan saya itu, rumahnya telah mendatangkan rezeki. Konon orang padang sangat menyukai rumah tusuk mate, karena bisa dijadikan rumah makan yang letaknya strategis.


Pekerjaan juga sering bersifat simbolik. Satu di antaranya adalah sekretaris. Pekerjaan yang lazim dilakukan wanita ini secara konvensional memberikan status sosial lebih tinggi kepada majikan. Mereka diharapkan menjadi bunga-bunga atau pajangan yang membuat suasana kantor lebih ceria, lebih segar, dan lebih indah. Sekretaris juga adalah lambang kekuasaan yang menegaskan bahwa atasannya benar-benar seorang bos, orang yang mendikte dan memerintah orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan. Citra simbolik ini sekarang pun masih terasa. Ada kesan bahwa semakin banyak sekretaris yang dipekerakan, dan semakin indah mereka dipandang, semakin bonafidlah perusahaan yang bersangkutan

No comments:

Post a Comment

Popular Posts