Pers sebagai tonggak terpenting abad ini, sulit
terbantahkan. Bahkan pers atau media massa menjadi bagian terpenting bagi
hancurnya otoritarianisme dan menguatnya transparansi serta menyebarnya virus
demokrasi di berbagai pelosok negri. Namun karena pers pula, derasnya informasi
terjadi dan perubahan kata seakan menjadi nyata. Inilah dunia simulakra yang
menyulap wacana menjadi fakta.
Melihat peran strategis media massa tak
berlebihan apabila semua orang punya harapan melebihi harapan media massa itu
sendiri. Namun tak jarang harapan berbuah kekecewaan karena media massa kadang
mengaburkan batas antara dunia maya dan dunia nyata, atara kata dan fakta. Ada
berita yang sesungguhnya hanya berdasar kata, tapi seakan hadir dalam dunia
nyata karena rekayasa berita.
Produksi kata atau berita tanpa fakta sering
disebut rumor, gosip, atau desas-desus karena tidak terjamin kebenarannya (cannot be verified and is of doubtful
accuracy). Berita yang berdasarkan rumor bisa dianggap angin lalu, tapi
bisa juga menjadi sebuah teror. Orang-orang istana dibuat repot dan kelabakan
karena rumor mobil jaguar, afganistan digempur amerika karena rumor osama bin
laden ada di sana, dan seorang suami membunuh istrinya karena rumor perselingkuhan.
Inlah jagad simulakra yang memprovokasi kata menjadi nyata.
Rumor biasanya muncul karena keterbatasan
pengetahuan dan ketidakpastian infomasi yang dirumorkan. Dunia artis,
lingkungan istana, dan dunia kaum elit merupakan lahan subur munculnya rumor
Rumor menjadi semakin krusial ketika secara intens
didistribusikan melalui media massa, termasuk pers yang secara intens diikuti
oleh pembacanya. Sehingga kemungkinan terjadi distorsi terhadap berita (teks)
menjadi sangat terbuka dan sekaligus mengeruhkan rumor. Kondisi ini dengan
sendirinya semakin mendistorsi dan menderivasi kenyataan berdasarkan rumor
tersebut. Bahkan melalui rekayasa berita, rumor seakan menjadi lebih dramatik
daripada kenyataan yang sesungguhnya.
Baca juga : OPINI TERHADAP MAHASISWA
Pada akhirnya rumor tersebut menjadi orbitasi
realitas. Ia membentuk semacam orbit yang berputar-putar di atas panggung imajiner
para pembacanya. Dan secara perlahan tapi pasti ia merasuk dalam kesadaran
untuk kemudian meyakinkan bahwa ia betul-betul ada.
Terorisme
rumor
Rumor pada awalnya mungkin dianggap sepele dan main-main, karena
setiap orang bisa memproduksinya tanpa biaya dan analisa. Tetapi konsekuensi
yang ditimbulkannya bisa sangat fatal. Dalam skala nasional, persoalan rumor
sering menjadi pematik kekacauan, kerusuhan,
demontrasi, konflik, dan tawuran. Dan ia menjadi bara dalam sekam yang sulit
dipadamkan karena tidak memiliki pijakan, tetapi terlanjur memprovokasi
kesadaran masyarakat. Warga antar kampung tawuran karena rumor bahwa temannya
dianiaya oleh warga kampung lainnya. Kerusuhan bernuansa SARA meledak karena
isu pelecehan terhadap unsur SARA. Begitu juga di bidang ekonomi, para pialang
di pasar modal panik dan bingung karena rumor yang mengancam harga saham.
Bahkan berawal dari rumor pula, seorang richard M nixon harus lengser dari
jabatannya sebagai presiden amerika serikat. Pada titik ini, rumor telah
menjadi teror yang mengancam kesadaran publik. Sekali lagi, pers menjadi media
yang paling ampuh untuk menempatkan rumor secara proporsional dan berimplikasi
positif.
Rumor merupakan
bagian dari sumber informasi. Revolusi informasi yang menandai abad ini telah
memaksa setiap orang untuk menyergap sebanyak-banyaknya informasi. Kemampuan
menguasai informasi menjadi modal menguasai abad ini. Itulah sebabnya orang
maupun institusi negara berlomba-lomba menguasai informasi, dengan segala cara,
termasuk dari rumor. Bahkan amerika di bawah kendali george w. Bush mengambil
kebijakan menyerang irak berdasarkan rumor tentang adanya senjata pemusnah
massal yang tak pernah terbukti, kecuali korban kemanusiaan dan peradaban yang
tak terkira.
Begitu kuatnya godaan informasi, sehingga
merangsang orang mencarinya melalui berbagai sumber. Ketika sumber formal
informasi tak lagi tersedia, ia akan mencari katup informasi lain yang informal
dan liar. Dari sini rumor diproduksi dan direproduksi. Reproduksi rumor secara
kontinu akan menciptakan sebuah kesadaran untuk kemudian menggerakan tindakan
dan keyakinan.
Ketika rumor telah masuk pada ambang batas
keyakinan, maka disinilah problem sosiologis-politik bisa memuncah. Ia akan
menjelma menjadi teror yang siap meruntuhkan pamor yang terlibat dalam rumor
(perumor atau yang dirumorkan). Ketika rumor tak terbukti, maka dengan
sendirinya ia akan meruntuhkan pamor perumor. Sebaliknya ketika rumor terbukti,
maka rumor bermetamorfosis menjadi fakta.
Oleh sebab itu untuk meminimalkan terorisme
rumor diperlukan tata komunikasi sosial yang egaliter, transparan, dan rasional
sehingga rumor tak memiliki ruang aktualisasi. Kalau pun rumor tersebut
dipaksakan untuk didistribusikan dan disebarkan di tengah masyarakat yang
semakin terbuka, maka ia dengan sendrinya akan hilang dan sia-sia. Di sinilah
peran pers dan media massa untuk menjadikan dirinya sebagai penyibak dunia
rumor, bukan sekedar pendistribusi tanpa seleksi. Peran transformatif pers
harus dipertaruhkan bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Pers tidak
bisa hanya sekedar media pendistribusi informasi. Di dalamnya perlu
keberpihakan bagi terciptanya masyarakat yang terbuka (open society). Semoga
No comments:
Post a Comment