Saturday, April 9, 2016

PERS, RUMOR, DAN TEROR




Pers sebagai tonggak terpenting abad ini, sulit terbantahkan. Bahkan pers atau media massa menjadi bagian terpenting bagi hancurnya otoritarianisme dan menguatnya transparansi serta menyebarnya virus demokrasi di berbagai pelosok negri. Namun karena pers pula, derasnya informasi terjadi dan perubahan kata seakan menjadi nyata. Inilah dunia simulakra yang menyulap wacana menjadi fakta.

Melihat peran strategis media massa tak berlebihan apabila semua orang punya harapan melebihi harapan media massa itu sendiri. Namun tak jarang harapan berbuah kekecewaan karena media massa kadang mengaburkan batas antara dunia maya dan dunia nyata, atara kata dan fakta. Ada berita yang sesungguhnya hanya berdasar kata, tapi seakan hadir dalam dunia nyata karena rekayasa berita.

Produksi kata atau berita tanpa fakta sering disebut rumor, gosip, atau desas-desus karena tidak terjamin kebenarannya (cannot be verified and is of doubtful accuracy). Berita yang berdasarkan rumor bisa dianggap angin lalu, tapi bisa juga menjadi sebuah teror. Orang-orang istana dibuat repot dan kelabakan karena rumor mobil jaguar, afganistan digempur amerika karena rumor osama bin laden ada di sana, dan seorang suami membunuh istrinya karena rumor perselingkuhan. Inlah jagad simulakra yang memprovokasi kata menjadi nyata.

Rumor biasanya muncul karena keterbatasan pengetahuan dan ketidakpastian infomasi yang dirumorkan. Dunia artis, lingkungan istana, dan dunia kaum elit merupakan lahan subur munculnya rumor
Rumor menjadi semakin krusial ketika secara intens didistribusikan melalui media massa, termasuk pers yang secara intens diikuti oleh pembacanya. Sehingga kemungkinan terjadi distorsi terhadap berita (teks) menjadi sangat terbuka dan sekaligus mengeruhkan rumor. Kondisi ini dengan sendirinya semakin mendistorsi dan menderivasi kenyataan berdasarkan rumor tersebut. Bahkan melalui rekayasa berita, rumor seakan menjadi lebih dramatik daripada kenyataan yang sesungguhnya.


Pada akhirnya rumor tersebut menjadi orbitasi realitas. Ia membentuk semacam orbit yang berputar-putar di atas panggung imajiner para pembacanya. Dan secara perlahan tapi pasti ia merasuk dalam kesadaran untuk kemudian meyakinkan bahwa ia betul-betul ada.

Terorisme rumor

Rumor pada awalnya mungkin dianggap sepele dan main-main, karena setiap orang bisa memproduksinya tanpa biaya dan analisa. Tetapi konsekuensi yang ditimbulkannya bisa sangat fatal. Dalam skala nasional, persoalan rumor sering menjadi pematik kekacauan,  kerusuhan, demontrasi, konflik, dan tawuran. Dan ia menjadi bara dalam sekam yang sulit dipadamkan karena tidak memiliki pijakan, tetapi terlanjur memprovokasi kesadaran masyarakat. Warga antar kampung tawuran karena rumor bahwa temannya dianiaya oleh warga kampung lainnya. Kerusuhan bernuansa SARA meledak karena isu pelecehan terhadap unsur SARA. Begitu juga di bidang ekonomi, para pialang di pasar modal panik dan bingung karena rumor yang mengancam harga saham. Bahkan berawal dari rumor pula, seorang richard M nixon harus lengser dari jabatannya sebagai presiden amerika serikat. Pada titik ini, rumor telah menjadi teror yang mengancam kesadaran publik. Sekali lagi, pers menjadi media yang paling ampuh untuk menempatkan rumor secara proporsional dan berimplikasi positif.

            Rumor merupakan bagian dari sumber informasi. Revolusi informasi yang menandai abad ini telah memaksa setiap orang untuk menyergap sebanyak-banyaknya informasi. Kemampuan menguasai informasi menjadi modal menguasai abad ini. Itulah sebabnya orang maupun institusi negara berlomba-lomba menguasai informasi, dengan segala cara, termasuk dari rumor. Bahkan amerika di bawah kendali george w. Bush mengambil kebijakan menyerang irak berdasarkan rumor tentang adanya senjata pemusnah massal yang tak pernah terbukti, kecuali korban kemanusiaan dan peradaban yang tak terkira.

Begitu kuatnya godaan informasi, sehingga merangsang orang mencarinya melalui berbagai sumber. Ketika sumber formal informasi tak lagi tersedia, ia akan mencari katup informasi lain yang informal dan liar. Dari sini rumor diproduksi dan direproduksi. Reproduksi rumor secara kontinu akan menciptakan sebuah kesadaran untuk kemudian menggerakan tindakan dan keyakinan.

Ketika rumor telah masuk pada ambang batas keyakinan, maka disinilah problem sosiologis-politik bisa memuncah. Ia akan menjelma menjadi teror yang siap meruntuhkan pamor yang terlibat dalam rumor (perumor atau yang dirumorkan). Ketika rumor tak terbukti, maka dengan sendirinya ia akan meruntuhkan pamor perumor. Sebaliknya ketika rumor terbukti, maka rumor bermetamorfosis menjadi fakta.

Oleh sebab itu untuk meminimalkan terorisme rumor diperlukan tata komunikasi sosial yang egaliter, transparan, dan rasional sehingga rumor tak memiliki ruang aktualisasi. Kalau pun rumor tersebut dipaksakan untuk didistribusikan dan disebarkan di tengah masyarakat yang semakin terbuka, maka ia dengan sendrinya akan hilang dan sia-sia. Di sinilah peran pers dan media massa untuk menjadikan dirinya sebagai penyibak dunia rumor, bukan sekedar pendistribusi tanpa seleksi. Peran transformatif pers harus dipertaruhkan bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Pers tidak bisa hanya sekedar media pendistribusi informasi. Di dalamnya perlu keberpihakan bagi terciptanya masyarakat yang terbuka (open society). Semoga

No comments:

Post a Comment

Popular Posts