Wacana tentang ideologi mencuat kembali seiring
dengan arus globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di tanah air nasib
ideologi pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat di sakral tapi kemudian dicampakkan.
Karena itu pula, pancasila tidak membumi bagi kehidupan bangsa. Sakral sasi
telah menyebabkan pancasila seperti benda museum yang berjarak dari generasi
anak bangsa. Akibat itu pula, pancasila tidak berharga dan dianggap barang
langka yang tidak menarik untuk di aktualisasi. Ini terbukti dari semakin
sulitnya mencari generasi muda yang, paling tidak, tahu lima sila pancasila.
Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah
generasi muda dari kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar dari mereka
tidak bisa menyebutkan isi pancasila dengan lengkap. Ini menjadi indikator
sederhana dari semakin terasing nya pancasila dari napas kehidupan anak bangsa.
Pada
peringatan hari lahirnya Pancasila semua orang tersentak untuk kembali pada
Pancasila. Semua, terutama elite politik, merasa paling prihatin terhadap nasib
Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah menjadi bagian dari penyebab
“matinya” Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila hanya dijadikan payung
penyelamat untuk kepentingan politik kaum elite. Pancasila seperti agama, ia di
khotbah kan di mimbar-mimbar politik citra sebagai benteng atas ancaman
terhadap diri dan kelompoknya untuk kemudian mencari simpati agar di klaim
sebagai sosok pancasilais.
Kenyataan
ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah globalisasi yang
tak henti-hentinya menghampiri. Dan tidak berlebihan apabila seorang
intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar “the end of ideology”
“Memasarkan” Pancasila
Untuk
menjadikan Pancasila sebagai “living
ideology” merupakan fenomena yang cukup unik di tengah hampir seluruh anak
bangsa teralienasi dari Pancasila dan sebagian elite merasa sungkan untuk
“memasarkan” Pancasila. Jika dilihat dari perspektif sempit sejak presiden BJ
Habibie membuka kran ideologi selain Pancasila sebagai asas organisasi,
eksistensi Pancasila semakin terperosok. Bahkan di tengah hujatan terhadap
segala atribut orde baru, Pancasila betul-betul berada di titik nadir. Hal ini
terlihat dari TAP MPR RI nomor 18/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR nomor
2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Setelah
itu, Pancasila ramai-ramai dikubur dan para penggagas reformasi merasa berdosa
untuk menyebutkannya. Pancasila ditahbiskan sebagai monumen anti reformasi. Ini
pula yang memperpanjang daftar kegagalan para pemimpin di negeri ini untuk
menjadikan Pancasila sebagai landasan kebangsaan yang marketable bagi rakyatnya.
Baca juga: PERS, RUMOR, DAN TEROR
Kenyataan
ini secara tidak langsung menjadi ancaman bagi upaya revitalisasi dan rejuvinasi
Pancasila sebagai the way of live. Di
samping itu, tantangan lain dari revitalisasi dan rejuvinasi ideologi adalah
terbentuknya tawaran ideologi luar yang menyatu dalam arus globalisasi. Di tengah
open market democracy tawaran ideologi
semakin terbuka dan semuanya menjanjikan kesejahteraan. Di sinilah Pancasila
dipertaruhkan. Kalau secara historis bangsa indonesia tidak pernah merasakan
kesejahteraan dan kedamaian di bawah naungan ideologi Pancasila. Maka secara
logika, ia tidak akan menarik bagi kalangan generasi bangsa. Bahkan dalam
bentuk yang ekstrem bisa muncul kesadaran bahwa negara tanpa ideologi pun tetap
ada.
Dalam
kondisi demikian, yang dibutuhkan bukan proses doktrin apalagi ideologi sasi
Pancasila. Pancasila harus dijadikan medium paling mudah untuk merekat
kebersamaan yang akhir-akhir ini mulai retak. Layaknya makanan cepat saji,
Pancasila harus diturunkan menjadi tata cara hidup yang mudah (cepat) dipahami
dan enak (comfortable) dilaksanakan.
Dan hal ini bisa dilakukan melalui keteladanan para pemimpin dalam mengelola
negeri ini secara bermartabat. Langkah ini memang tidak mudah, karena para
pemimpin negeri ini belum mampu mewariskan Pancasila sebagai way of live. Mereka berhenti pada proses
ideologi sasi, sakral sasi, dan berakhir dengan politisasi.
Globalisasi dan Politik Endism
Arus
globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan proses ideologi sasi
baru. hal ini biasanya diiringi dengan politik endism. Yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi-ideologi besar
dunia akibat gerusan kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalisme
nya menyusup melalui stigma endism.
Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh para pemikir endist yang tertuang dalam berbagai karyanya, the end of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama) dan lainnya.
Dengan
kata lain, ideologi sasi globalisasi merupakan bentuk paling nyata dari upaya
pengakhiran ideologi-ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara
maju. Dan tidak menutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah
globalisasi akibat ketidak perdayaan anak bangsa merespons berbagai godaan
global.
Di
tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi Pancasila
sangat rentan terjangkit penyakit endism.
Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan
memanfaatkan seluruh potensi dan peluang (opportunity)
yang ada dalam masyarakat. Salah satu peluang tersebut adalah adanya
potensi-potensi “perlawanan” terhadap arus globalisasi yang belakangan marak
terjadi khususnya di negara-negara berkembang, termasuk indonesia. Fenomena ini
biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali budaya lokal (local wisdom) khas indonesia yang plural
dan toleran. Inilah modal penting dan cukup strategis bagi membumi nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan warga negara tanpa doktrin yang sering berbuah alienasi.
Peluang
tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara mengembalikan Pancasila
sebagai wacana publik yang toleran dan aktual, diiringi kebijakan dan perilaku
politik yang inklusif dan artikulasi. Semoga.