http://www.floresa.co/ |
Keikutsertaan
kita dalam pemilihan umum merupakan salah satu bentuk partisipasi minimal warga-negara dalam politik. Tetapi
dampak yang diakibatkan apabila kita tidak ikut serta dalam pemilu adalah terhambat
nya demokratisasi di bumi pertiwi. Bukankah demokrasi itu adalah suatu sistem
yang berkedaulatan Rakyat yang berdasarkan asas Pancasila dan bercirikan jati
diri bangsa. Tetapi jika rakyatnya sendiri tidak ikut dalam pemilu yang bisa di
bilang salah satu partisipasi minimal warga-negara. Lantas mau dibawa ke mana
sistem demokrasi kita jika warga-negaranya sendiri apatis dalam menentukan
pemimpinnya untuk lima tahun ke depan. Inilah mengapa demokratisasi kita hanya
sebatas prosedural, tanpa partisipasi demokrasi hampa substansi.
Kalau
dibandingkan dengan negara-negara yang sudah mapan demokrasi nya, tingkat
partisipasi pemilih dalam pemilu memang masih cukup tinggi tetapi mengingat
Indonesia sedang menapaki proses
demokratisasi, kecenderungan menurunnya partisipasi pemilih patut menjadi
perhatian. Dalam pandangan Anthony Giddens, di samping terdapat fenomena
demokratisasi yang meluas, negara-negara yang sebelumnya otoriter atau
totaliter berubah menjadi lebih demokratis, tetapi di negara-negara yang
demokrasi nya sudah mapan justru terdapat fenomena disillusionment (kekecewaan) terhadap demokrasi (Giddens, 2000: 90)
Dalam
pandangan Giddens tersebut kita dapat menyimpulkan betapa Ironis nya demokrasi
Indonesia. Di satu pihak kita sudah lepas dari sistem otoriter dan menapaki
demokrasi yang baru selama delapan belas tahun lamanya, tetapi di satu pihak
lagi kita sebagai warga-negara merasa sudah kecewa dengan demokrasi yang kita
bangun sendiri. Sungguh ironis, melihat kita tidak ikut andil dalam pemilu dan
membuang hak suara kita. Lantas untuk apa reformasi itu kita perjuangkan?
Bukankah reformasi itu terjadi karena kita sudah bosan dengan penindasan, dan
menginginkan kesejahteraan dan mengembalikan kedaulatan Rakyat.
Faktanya
jika melihat hasil pemilu 2004, pilpres, dan pilkada, terdapat kecenderungan
meningkatnya para pemilih yang tidak menggunakan haknya. Bahkan dari
pilkada-pilkada yang dilakukan sejak 1 Juni 2005, angka golput lebih tinggi
pada pileg dan pilpres (LSM, 2007; Marijan, 2006). Inilah bentuk kekecewaan Rakyat
terhadap pemimpin dan para wakilnya yang di beri amanat tetapi malah
menyalahgunakan nya demi kepentingan pribadi dan golongan. Itulah sebabnya
warga negara ‘kecewa’ dan ‘bosan’ dengan tingkah laku mereka dan
melampiaskannya dengan apa yang disebut oleh kita Golongan Putih.
Oleh
sebab itu kita seharusnya sebagai warga-negara bisa menjadi pengawas sekaligus
penjaga roda pemerintahan dengan ikut berpartisipasi dalam pemilu yang
luber-jurdil. Walaupun kita kecewa dan bosan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
para pemimpin kita, tetapi masih ada KPK yang siap memberantas mereka. Walaupun
kita salah memilih pemimpin kita dan kecewa terhadapnya yang tidak menjalankan
janji-janjinya tetapi kita harus percaya bahwa selama lima tahun berikutnya
pasti ada harapan dalam pembaharuan pemimpin yang lebih baik. Karena saya
percaya di luar sana terdapat pemimpin yang bisa diberi amanat dan dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, mungkin pemimpin itu bisa jadi adalah anak
Anda, saudara Anda, orang tua Anda, atau bahkan bisa jadi diri Anda sendiri.
Oleh
karena itu mari kita wujudkan iklim demokrasi yang lebih baik, dengan
memulainya dengan ikut serta dalam pemilu, dan menggunakan hak pilih kita
sebagai warga-negara. Jangan sia-siakan pilihan kita dengan acuh dan apatis terhadap
masa depan Indonesia. Satu suara untuk Indonesia yang lebih baik dari
sebelumnya. smoga